Rabu, 03 Desember 2014

Almitra:Sajak Butiran Pasir


Seorang Almitra dari suku Gaia Sasmita berjalan menyusuri jejak-jejak sungai yang telah mengering. Di saat telapak kakinya menyentuh tanah tandus berpasir itu, ia seperti merasakan adanya aliran air yang sejuk berputar di sekitar kakinya. Ia pun mengambil segenggam pasir kemudian menebarkannya, hembusan angin menyambut setiap butiran pasir dan cahaya matahari yang menembusnya menciptakan kemilau cahaya yang indah, ternyata di dalam setiap butiran pasir masih tersimpan jejak-jejak air di dalamnya. Dari kemilau cahaya itu kemudian Almitra ditunjukan masa lalu, masa kini dan masa depan kehidupan dalam butiran-butiran pasir.

Dulu sebelum menjadi aliran sungai, aku adalah tetesan-tetesan hujan yang turun dari langit. Ketika terlahir melalui Gemuruh Guntur aku menangis keras. Saat tetesan-tetesan air menyentuh bumi dan berbenturan dengan dunia, saat itulah pertama kalinya aku mulai belajar bersuara, belajar untuk mengenal lingkungan sekitarku, belajar untuk mencintai, memberi hidup dan kehidupan. Seiring bertambah besarnya aliran air kehidupan, semakin melekat diriku dengan bumi bahkan menggerus dasarnya sampai menjadi semakin dalam. Dan kini ketika perjalanan hidupku sudah cukup lama dan panjang, kekuatanku semakin surut dan mengecil. Beruntung dalam perjalanan ini aku berteman dengan banyak hal disekitarku dan selalu berbagi dengan mereka.

Dari ikan koi berwarna merah aku belajar bagaimana untuk senantiasa hidup mengalir dalam limpahan rasa syukur dan terima kasih. Semenjak saat itu keberuntungan selalu menyertaiku. Dari bebatuan sungai aku belajar untuk menjadi kuat dan tegar menghadapi berbagai terpaan dan cobaan. Dan yang paling indah adalah pelajaran yang kudapat dari bunga teratai. Bunga ini telah mengenalkanku segala sesuatu tentang Siddharta Gautama, manusia tercerahkan yang telah mencapai Buddha. Sejak saat itu aku mulai mengalami secercah cahaya kesadaran, kehidupanku setelahnya hanya berbalut dengan keikhlasan total.

Ketika tiba saatnya kekuatanku semakin surut, cahaya matahari terakhir menyinari sisa-sia air dalam setiap butiran pasir, maka saat itu juga aku meninggalkan tubuh airku. Menyatu dengan cahaya yang hangat, sahabat baikku angin menyambut, memeluk dan membawaku naik semakin tinggi. Dari sahabatku ini belajar bahwa ketika di dalam tubuh angin ini masih terdapat beban, masih terdapat keinginan-keinginan tentang pengalaman dunia, maka tubuh ini akan mulai berkumpul, saling tarik menarik dan menjadi satu dengan yang lainnya membentuk gumpalan awan. Dari gumpalan awan yang sama inilah nantinya aku dapat turun kembali mengambil wujud tetesan hujan, mengulangi lagi perjalanan yang sama.

Sebaliknya jika tubuh anginku semakin ringan, semakin ikhlas melepas segala sesuatunya, maka semakin tinggi diriku dibawanya. Menuju ke tempat asalku yang sejati, melampaui semua gumpalan awan, menuju ke tempat yang sangat tingggi dimana semuanya tampak jelas, bulat dan utuh. Tempat dimana diriku lenyap tak berbekas, dimana yang ada hanya kekosongan tak terbatas yang melingkupi segala sesuatunya. Di tempat itu tidak ada lagi diriku sebagai air, diriku sebagai angin atau diriku sebagai cahaya. Tidak ada lagi bahasa, suara dan kata-kata. Yang ada hanyalah moment keheningan total alam semesta yang tak bisa digambarkan dan dilukiskan.

0 komentar:

Posting Komentar