Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti
Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab
Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang
ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Dalam
masyarakat Baduy ada pola atau sistem kekerabatan dalam lingkungan
masyarakat Baduy. sistem kekerabatan masyarakat Baduy menitikberatkan
pada wilayah tempat tinggal. Lokasi tempat tinggal masyarakat Baduy
menandakan pada kedudukan mana terletak sebagai seorang keturunan para
Batara. Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi yaitu pertama,
kampung Tangtu. Kedua, kampung Panamping. Ketiga, Pajaroan. Dalam hal
itu, seluruh masyarakat Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa
Baduy adalah “Tangtu Teulu Jaro Tujuh” yang memiliki arti
seluruh penduduk di wilayah Kanekes Baduy merupakan satu kerabat yang
berasal dari satu nenek moyang. Adapun perbedaan itu terletak pada sisi
generasi antara tua dan muda. Dalam kekerabatan orang Baduy, orang
Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang
termuda.
Selain
itu, dalam masyarakat Baduy sistem kekerabatan merujuk pada nama ibu
(suku kata) contoh seorang ibu bernama Sarimin maka nama anak
laki-lakinya adalah bisa Saripin, Sarpin¸ atau anak perempuannya Sartin.
Cara panggilan masyarakat Baduy terbilang unik, seseorang memanggil
kepada seseorang dengan nama anak. Contoh, ayah Mursyid karena nama anak
laki-lakinya Mursyid jadi ia dipanggil ayah Mursyid padahal nama
aslinya adalah Alim.
Perkembangan
selanjutnya masyarakat Baduy dalam sistem perkawinan adalah sistem
perkawinan Monogami. Seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih
dari seorang dan perkawinan Poligami merupakan suatu hal yang tabu.
Selain itu, perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu
garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis
keturunan yang lain. Hal penting dalam sistem perkawinan masyarakat
Baduy adalah seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum
kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam
prakteknya, masyarakat Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu
persamaan dan antarsepupu sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan
itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai
dengan sepupu tingkat keempat. istilah Orang Baduy menyebut dengan
baraya.
Dalam
sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak ada tradisi berhubungan
sebelum menikah (pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan
memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing. Setelah ada kesepakatan,
dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran yaitu:
- Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.
- Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
- Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Pelaksanaan
akad nikah dan resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai
Adat yang dipimpin oleh Pu’un untuk menyahkan pernikahan tersebut. Dalam
ketentuan sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak mengenal poligami
dan perceraian.
Semua
sistem yang ada di masyarakat Baduy termasuk sistem perkawinan
berlandaskan “Pikukuh”, sebuah aturan yang sudah ada sejak leluhur
masyarakat Baduy. “pikukuh” adalah aturan dan ajaran yang harus
dijalankan oleh masyarakat Baduy. aturan tersebut mengatur mengenai apa
saja yang diperbolehkan da apa saja yang dilarang. Peraturan ini juga
mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima,
keenam dan ketujuh.
Selain
itu, dalam urusan waris masyarakat Baduy menyatakan bahwa pembagian
waris untuk anak laki-laki dan perempuan saja. Pembagian waris pada
masyarakat Baduy terbagi rata antara anak perempuan dan anak laki-laki.
Harta yang ditinggalkan berupa rumah, perhiasan, uang dan alat-alat
rumah tangga lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar