Kamis, 11 Desember 2014

Perahu Tradisional Papua

Perahu Tradisonal Papua3.jpg
PERAHU TRADISIONAL PAPUA
Sebagian daerah pantai Papua merupakan daerah yang paling cocok untuk pemukiman penduduk. Beberapa masyarakat di pantai utara Papua tinggal dalam kelompok-kelompok masyarakat dengan tempat tinggal di atas air. Mereka tinggal di rumah-rumah dari papan kayu atau perahu. Perjalanan antara rumah linggal satu dan lainnya biasanya dipergunakan jembatan-jembatan papan yang menghubungkan rumah satu dan lainnya. Pada waktu mereka harus keluar atau ke desa lain maka mereka harus mempergunakan perahu.
Perahu-perahu yang menghubungkan antara rumah satu dan lainnya dilubangi sehingga terbentuk rongga muatan yang memanjang, Perahu-perahu di daerah Papua dibedakan menjadi perahu-perahu yang tnemiliki cadik pada salah satu sisinya, yang diperuntukkan sebagai penjaga keseimbangan. Perahu semacam ini biasa disebut sebagai perahu laki-laki. Sedangkan yang lain adalah jenis jukung yang tidak bercadik (perahu perempuan). Tetapi di teluk Cendrawasih perahu-perahu dengan cadik tunggal atau cadik ganda (di kedua sisi) dijumpai.
Menurut beberapa ahli yang berbeda-beda ada yang mengatakan bahwa pola-pola hias pada perahu baik dalam bentuk antropomorfik atau binatang mempunyai makna sebagai simbol kematian. Tetapi Annamarie, L Rice mengatakan bahwa perahu-perahu di Papua dilengkapi dengan pahatan burung, ikan dan arca-arca nenek moyang yang kesemuanya itu dipergunakan sebagai sarana untuk menjaga keselamatan (L Rice, 1991: 268P Beyond ihe Java Sea).
Perahu-perahu Papua mempunyai fungsi sebagai sarana transportasi (angkutan dari tempat satu ke tempat lain), disamping itu dipergunakan juga untuk berdagang, untuk menangkap ikan dan untuk upacara-upacara. Sebelum pelaksanaan penangkapan ikan, Biasanya terlebih dahulu diadakan upacara khusus untuk ditujukan kepada kekuatan yang menguasai ikan agar dalam penangkapan ikan dapat memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya.
Dalam hal perdagangan perahu-perahu Irian dapat mencapai ke daerah- daerah lain seperti di daerah Pasifik bagian Barat, Maluku dan daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Penduduk Papua biasanya memperdagangkan hasil buminya berupa damar, kayu, burung, Cendrawasih, kulit binatang, ikan kering dan lain-lain.
Di Museum Negeri Propinsi Papua banyak dijumpai perahu miniatur yang dijadikan koleksi di sana. Dari koleksi tersebut dapat diketahui bahwa daerah Indonesia paling timur ini memiliki kekayaan perahu tradisional yang sangat bermacam-macam. Pada perahu Papua banyak dijumpai pahatan-pahatan atau lukisan yang dipergunakan sebagai penghias dengan maksud untuk mengusir roh- roh jahat. Pola-pola hias pada perahu Papua tidak hanya dijumpai pada bagian depan (haluan) dan pada bagian belakang (buritan), tetapi banyak pula yang dijumpai pada bagian badannya. Pola hias yang berupa tanaman (sulur) dijumpai pula di Papua. Juga pola hias binatang seperti misalnya ditempatkan baik di bagian depan dan belakang kapal serta di bagian badan.
Perahu tradisional Papua ada yang tanpa cadik, bercadik tunggal dan ada yang bercadik ganda. Keuntungan dari cadik ganda yaitu mempunyai keseimbangan lebih banyak dan tidak mungkin akan terbalik. Cadik ganda maupun tunggal rata-rata dibuat dari kayu atau bambu. Selain ada bentuk yang pendek, perahu Papua rata-rata mempunyai bentuk ramping dan panjang dan dibuat dari satu batang kayu.
Perahu Papua dihias dengan cara dilukis dan ada pula yang dipahat baik membentuk dua dimensi (dalam bentuk arca) serta pola hias terawangan (tembus). Pola hias dengan cat warna merah, hijau, hitam, kuningi dan lain-lain banyak menggambarkan jenis burung dan bentuk sejenis tanaman, Demikian pula pola hias sulur dalam bentuk lingkaran, atau lingkaran memusat (ikal), setengah lingkaran. Pola-pola hias sulur dalam bentuk lingkaran, atau lingkaran memusat banyak dijumpai pada benda-benda dari masa prasejarah yaitu pada masa perunggu-besi (bronze-iron age) (Van der Hoop, 1941, Van Heekeren, 1958).
Pola- pola hias dalam bentuk arca manusia, burung dan tumbuh-tumbuhan biasanya berperan dan berfungsi sebagai pengusir pengaruh jahat yang akan datang disamping sebagai simbol dari kesuburan baik untuk tanaman, ternak, manusia atau rezeki (keuntungan). Burung kadang-kadang dibuat dengan kepala antropomorfik disamping ditemukan pola hias tokoh manusia sedang mengen-darai perahu.
Seni pahat dari Papua yang terpampang pada perahu-perahu tradisional telah diungkapkan oleh Amir Sutaarga yang mengatakan:
"Sebagai bentuk peralihan dari seni dua dimensi ke arah seni plastis kita jumpai ungkapan-ungkapan antropomorfis pada hiasan-hiasan haluan perahu dan bentuk-bentuk yang masih kasar sampai kepada ungkapan-ungkapan seni yang tiada tara indahnya dan halusnya dengan gaya ekspresif dan dinamis pada hiasan-hiasan haluan perahu. Pada hiasan haluan perahu, dijumpai sebuah kepala orangi dan di atas tubuhnya terdapat tiga ekor kepiting hermit, yang oleh orang-orang Asmat sering diasosiasikan dengan sebab-sebab kematian” (Sutaarga, 1974: 34).
Salah satu kebudayaan di daerah Teluk Sarera di Papua ini adalah budaya perahu. Alat-alat angkut yang pokok adalah perahu. Daerah Papua yang sebagian terdiri dari air memungkinkan masyarakat di sana untuk mengembangkan budaya perahu dan muncul perahu-perahu dalam berbagai bentuk maupun pola- pola hiasnya.
Perahu-perahu Papua yang dikembangkan oleh orang-orang Biak mengalami kemajuan pesat. Dengan perahu-perahunya itu orang Biak dapat mencapai Maluku Utara (Halmahera), pulau Sarana dan Ambon (Maluku Selatan). Demikian juga penduduk pantai Irian Utara yaitu di Teluk Tanah Merah dan Jayapura adalah pendukung-pendukung kebudayaan perahu atau merupakan pelaut-pelaut yang ulung. Ragam-ragam hias yang dipergunakan di sekitar Danau Sentani yaitu ragam hias geometris berupa pilin berganda, cukilan-cukilan (Sutaarga, 1974).
Selain bentuk-bentuk perahu yang ditemukan di pantai Papua dan di Danau Sentani ditemukan juga gambar-gambar atau lukisan perahu yang begitu unik dijumpai oleh para ahli antropologi dan arkeologi di gua-gua karang Papua. Bentuk-bentuk perahu yang dibuat sebagai lukisan ini dengan stilir indah.
Sebuah perahu dilukiskan dengan haluan {bagian depan) yang mencuat ke atas dan sebuah lukisan berbentuk seperti dayung ada di bagian belakang (buritan). Perahu-perahu yang dilukiskan di gua telah diteliti oleh Holt (1967), dan Rosenfeld (1988). Gambar-gambar manusia yang menumpang pada perahu dibuat dengan bentuk sederhana,, skematis, dan kaku (skeptis). Sebuah perahu pendek melengkung digambarkan dengan 3 orang penumpang yang masing-masing memegang dayung.
Perahu dari gua-gua di daerah Papua tampaknya jauh lebih muda dibandingkan dengan perahu-perahu yang dibuat dengan warna cat merah dari Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Estimasi ini berdasarkan penampilan bentuk lukisan di mana di Papua bentuk lukisan telah begitu maju dengan bentuk- bentuk yang lebih raya dan daya cipta yang tinggi ¡penuh variasi. Sementara bentuk lukisan perahu di Sulawesi jauh lebih sederhana.

0 komentar:

Posting Komentar