Kamis, 11 Desember 2014

Pola Pemukiman Dan Tata Ruang Suku Jambi


POLA PEMUKIMAN DAN TATA RUANG SUKU MELAYU JAMBI

Kota Jambi alias kota istana terbentuk semenjak hadirnya kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-18, di pinggiran sungai Batanghari. Kota Jambi pun dikenal sebagai kota sungai (riverfront city), yang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut timbul karena keberadaan Sungai Batanghari yang membelah kota Jarnbi menjadi dua bagian kota, yaitu: kota yang bekembang dan daerah seberang yang merupakan kantung (enclave) orang Melayu Jambi.
Kondisi tersebut menjadikan Kota Jambi seperti dua sisi mata koin; antara perkembangan peradaban dan pelestarian budaya lokal dengan sungai Batanghari sebagai batasnya. Hal ini terjadi karena Kota jambi dibentuk oleh kebudayaan material dan spiritual dari berbagai etnik, strata sosial, ekonomi dan sistem pemerintahan pada masa lalu, yang dapat kita lihat pada bentuk-bentuk bangunan dengan suasana, rona, serta tata ruang pemukiman yang menyesuaikan dengan lingkungan pinggiran sungai.
Keberadaan masyarakat asli Melayu Jambi di daerah seberang dalam suatu kantung tersendiri dimungkinkan justru karena kondisinya yang berawa-rawa sehingga tidak perlu untuk dikembangkan menjadi kota. Infrastruktur juga tidak perlu dikembangkan. Di satu sisi menjadi tidak berkembang namun di sisi lain justru merupakan wilayah yang masih terjaga keasliannya. Tidak adanya jembatan penghubung makin memperkuat keaslian orang melayu Jambi di daerah seberang.
Karena kondisi di atas, kemudian pola tata ruang pada kawasan Jambi menjadi terbagi tiga, yaitu pola mengelompok, pola menyebar, dan pola memanjang. Dengan pola tata ruang permukiman yang terbentuk terbagi menjadi dua, yaitu pola lahan permukiman pinggiran sungai membentuk pola linier dan pola lahan permukiman pada kawasan darat berbentuk grid yang orientasi permukimannya cenderung mengarah pada jalan lingkungan. Masa dan bentuk bangunan terbagi dua yaitu pola linier yang dibentuk oleh susunan permukiman yang berkembang di pinggiran sungai Batanghari bagi masyarakat Melayu Jambi, sedangkan pola grid dibentuk oleh pengaturan deret bangunan permukiman dan pertemuan jalur-jalur sirkulasi pada kawasan darat.
Seluruh kampung di Daerah Seberang merupakan daerah rawa sehingga bentuk rumah penduduknya berupa rumah panggung dibuat dari bahan kayu, walaupun saat ini ada beberapa yang sudah berubah dengan menggunakan bahan baku permanen: batu merah, batako, dll.
Dengan kontruksi tanah yang cenderung rawa, maka pola tata ruang permukiman Melayu Jambi terbentuk dengan adanya jalan sungai, pohon-pohon, bambu, atau pohon kelapa, dan jalan darat sebagai batas. Lapangan dan mesjid sebagai tempat berkumpul masyarakat biasanya terdapat pada pusat desa.
Keberadaan sungai Batanghari selain menjadi batas kebudayaan, bagi masyarakat Melayu Jambi, menjadi sandaran sarana transportasi yang efektif guna menyokong aktivitas perekonomian mereka. Rata-rata aktivitas perekonomian Mayarakat Melayu Jambi bergerak di bidang, pertanian, perikanan, kerajinan, berdagang, dll.
Setiap daerah di Provinsi Jambi memiliki potensi dan kearifan lokal tersendiri dalam pengolahannya. Meskipun demikian tidak ada istilah pembangunan tidak merata yang sampai pada titik ekstrim, karena kondisi ekonomi masyarakat jambi secara keseluruhan di dukung oleh sektor yang berbeda namun memiliki potensi yang sama kuat. Dan perbedaan kontruksi, tata ruang dan infra struktur di Jambi bukanlah karena adanya diskriminasi pembangunan, melainkan kerena sikap dan pemahaman masyarkaat Melayu Jambi yang kuat memegang adat dan budaya nenek moyangnya.
Sehingga kita bisa memahami perbedaan drastis tersebut. Dan kita harus belajar dari masyarakat Melayu Jambi dalam mengatur tata ruang dan bentuk bangunan mereka yang tidak hirau dengan perkembangan budaya di sebrang sungai Batanghari (kota Jambi). Karena masyarakat Melayu Jambi memang telah mempertimbangkan dan arif menyikapi kondisi alam dan lingkungan sosial budayanya.

0 komentar:

Posting Komentar