TARI RAKYAT RONGGENG GUNUNG
Mendengar nama ronggeng, maka terbayang suatu tontonan rakyat yang
menampilkan gadis-gadis cantik dengan pasangan pria menari mengikuti
irama khas Jawa Barat. Ronggeng yang akan ditampilkan di sini adalah
ronggeng yang lain, yaitu ronggeng gunung, suatu tari rakyat yang hidup
dan berkembang di daerah Ciamis bagian selatan. Ini bukan berarti di
daerah lain tidak ada kesenian rakyat, sejenis. Di daerah lain dikenal
dengan nama berbeda, misalnya ketuk tilu, banjet, ronggeng topeng dan
sebagainya.
Banyak keterangan tentang asal-usul ronggeng gunung. Ada dua versi
yang bersumber pada legenda yang terkenal di kalangan penduduk.
Versi pertama mengatakan bahwa ronggeng gunung timbul ketika kerajaan
Galuh kacau balau karena serangan musuh. Raja terpaksa mengungsi ke
tempat yang aman dari kejaran musuh. Raden Sawung Galing datang sebagai
penyelamat dan atas jasanya Raden Sawung-galing dinikahkan dengan Putri
Galuh. Ketika Raden Sawung Galing memegang tampuk pemerintahan,
dihidupkan kembali kesenian ronggeng gunung sebagai hiburan resmi di
istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul
mempunyai kemampuan menari, menyanyi dan berparas cantik. Dengan
demikian ketika itu ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan
masyarakat.
Versi kedua berkisah tentang seorang putri yang ditinggal mati oleh
kekasihnya. Siang dan malam sang putri meratapi terus kematian orang
yang dicintainya. Selagi sang putri menangisi jenazah kekasihnya yang
sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampiri sang putri
dengan maksud menghibur. Pemuda-pemuda tersebut menari sambil menutup
hidung karena bau busuk mayat. Sang putri pun akhirnya ikut menari dan
menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang
menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan ronggeng gunung saat
ini.
Memasuki periode tahun 1940 sampai tahun 1945, banyak terjadi
pergeseran nilai dari sebelumnya. Pergeseran nilai tersebut meresap pula
dalam kesenian ronggeng gunung, misalnya dalam cara menghormat yang
semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman.
Bahkan akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana
penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman
melainkan bertindak lebih jauh seperti mencium dan sebagainya.
Kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai
dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian ronggeng gunung
dilarang dipertunjukkan untuk umum.
Baru pada tahun 1950 kesenian ronggeng gunung dihidupkan kembali
dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam
pengorganisasian sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat
dihindarkan.
Persebaran Ronggeng Gunung
Desa-desa di Ciamis selatan yang memiliki kesenian ronggeng gunung
adalah desa Panyutran, Ciparakan, Burujul dan menyebar ke arah selatan,
yaitu di Kawedanaan Pangandaran sampai ke Kecamatan Cijulang. Dalam
beberapa generasi ronggeng gunung mampu mempertahankan ciri-ciri khas
yang dimiliki.
Namun demikian ditemukan pula tarian dalam bentuk yang hampir sama di
daerah lain seperti banjet di Krawang, dombret di Subang. Perbedaan
masih tetap nyata. Jika banjet dan dombret sudah banyak mempergunakan
lagu-lagu populer, ronggeng gunung tetap mempergunakan lagu-lagu yang
bersifat buhun (lama). Dombret dan banjet sudah banyak dipengaruhi oleh
budaya dari luar Sunda, seperti Jawa, Bugis Makasar, Lampung dan juga
Madura melalui pergaulan antara para nelayan.
Seperti tari-tari lain sejenisnya, ronggeng gunung juga merupakan
tari hiburan dan pakaian yang dikenakan sesuai dengan tradisi setempat.
Segi lain yang menarik dari pertunjukan ini adalah pada saat pertunjukan
berlangsung, yaitu dengan sering tampilnya para penonton untuk menemani
penari ronggeng menari. Seringkah tingkah "penari penonton" ini membuat
geli orang-orang yang menyaksikan, sehingga suasana pun berubah menjadi
riuh dan bergembira. Suasana yang ditampilkan tersebut menunjukkan ciri
khas suatu kesenian rakyat, yaitu akrab dimana penari dan penonton
berbaur tanpa batas yang jelas.
Pada masa pemberontakan DI/TII berkecamuk di Jawa Barat, kesenian
ronggeng gunung hampir-hampir lenyap karena seringnya terjadi gangguan
terhadap pertunjukan yang sedang berlangsung. Setelah gerombolan DI/TII
ditumpas, pertunjukan ronggeng gunung yang sangat digemari oleh
masyarakat itu pun muncul kembali.
Alat Penerangan
Umumnya kesenian ronggeng dipanggil untuk kepentingan suatu perayaan,
misalnya pesta perkawinan, khitanan, penghormatan terhadap tamu dan
sebagainya. Namun disamping itu tidak jarang pula kesenian ronggeng
dipanggil untuk memenuhi pernyataan kaulnya.
Sekarang dalam berbagai acara resmi yang diselenggarakan oleh
pemerintah, dapat pula ronggeng dipergunakan sebagai alat penerangan
yang efektif. Ronggeng gunung dapat digunakan untuk mengumpulkan
penduduk. Setelah penduduk berkumpul maka kesempatan ini "dipergunakan
untuk menyampaikan sesuatu yang penting diketahui oleh masyarakat.
Misalnya penerangan keluarga berencana, penyuluhan pertanian dan
sebagainya
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian ronggeng gunung
ini biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian
dapat pula tukar menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain.
Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu,
yaitu wanita yang sudah berumur agak lanjut tetapi mempunyai kemampuan
yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan
lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa.
Pementasan ronggeng gunung ini memakan waktu cukup lama,
kadang-kadang baru selesai menjelang subuh. Oleh karena itu pada setiap
pementasan harus disediakan tempat istirahat sehingga penampilan mereka
tetap baik.
Sebelum pertunjukan dimulai juga diadakan sesajen untuk persembahan
kepada para leluhur dan roh yang ada di sekitar tempat tersebut, agar
menjaga keselamatan para nayaga dan juga ronggeng. Bentuk sesajen ini
terdiri dari kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas,
sebuah cermin, sisir dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap
sesaji.
Pementasan ronggeng gunung biasanya dilakukan agak malam dan berakhir
dini hari. Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang
hampir punah ini diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan
pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang
dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang
penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk
menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik
dengan wanita yang senang menggoda laki-laki.
Pementasan ronggeng gunung hingga saat ini tetap merupakan kesenian
yang digemari oleh penduduk. Apabila kesenian rakyat ini ditampilkan,
dapat dipastikan tempat yang sebelumnya sunyi sepi akan berubah menjadi
ramai, seakan-akan suatu pasar malam. Meskipun pementasan dilakukan agak
malam penonton telah datang sejak sore saat matahari mulai tenggelam.
Pendek kata desa yang sunyi sepi akan berubah menjadi meriah dan
menggembirakan.
Bila ayam jantan telah berkokok tanda menjelang pagi, barulah satu persatu mereka mengundurkan diri dari tempat keramaian. Mereka telah menikmati kegembiraan semalam suntuk.
0 komentar:
Posting Komentar