Dalam
sejarahnya hingga hari ini, pertanian merupakan mata pencaharian utama
masyarakat Gorontalo, selain beberapa bidang pekerjaan lainnya, seperti
peternakan, perikanan (darat dan laut), perdagangan. Selain kepemilikan
pribadi, ada pula mekanisme kepemilikan tanah pertanian (sawah/ladang)
bersama yang disebut miliki atau budel, di mana
pengelolanya (bisanya kerabat dalam keluarga luas) berhak mengelolanya
secara bergantian. Tanah pertanian dengan pengelolaan sejenis ini
umumnya merupakan tanah warisan.
Masyarakat
Gorontalo mengenal dua bentuk pertanian berdasarkan jenis tempat dan
tanamannya, yakni ladang dan sawah. Ladang adalah kawasan pertanian
kering, yang umumnya ditanami sayur-sayuran, umbi-umbian, dan palawija,
sementara sawah adalah kawasan pertanian basah yang ditanami padi.
Tentang
pertanian ladang, Tumenggung, dkk. (1983:21-22) mengungkapkan bahwa
setelah tanah-tanah pertanian diolah oleh kaum laki-laki dengan
menggunakan bajak (popadeo), garu (huheidu) dan cangkul (popate),
kaum perempuan kemudian menanaminya dengan benih-benih tanaman, seperti
jagung, kacang, umbi-umbian di bagian utama ladang, dan sayur-sayuran,
tomat, cabai, merica, dan lain-lain di sekeliling ladang.
Proses
bertani di ladang dengan pola tradisional bisa memakan waktu empat
hingga lima bulan. Setelah waktu panen tiba, laki-laki, perempuan, dan
anak-anak beramai-ramai menuai hasilnya secara hyula (gotong royong). Sistem hyula, terutama dilakukan oleh orang-orang yang terikat dalam kekerabatan yang disebut ungala’a (keluarga luas).
Dalam
mengelola sawah, jika tidak sanggup mengerjakannya sendiri atau oleh
anggota keluarga, pemilik biasanya menggunakan mekanisme bagi hasil (mosawala).
Dengan bagi mekanisme tersebut, pemilik akan berbagi hasil panen dengan
penggarap sesuai dengan kesepakatan di awal kerja sama.
Di
Gorontalo, daerah-daerah persawahan dapat dijumpai di kawasan bagian
Selatan, seperti Kabila, Tamalate, Limnoto, Batuda’a, Bongomome, Isimu,
Dulumo, Tambo’o, Kota Utara, Bone Pantai, dan sejumlah lokasi lainnya.
Sebagian besar dari area-area persawahan tersebut menggunakan mekanisme
tadah hujan, dan hanya sebagian kecil yang memiliki sistem pengairan
yang teratur.
Warga,
biasanya mengolah sawahnya dua kali dalam setahun. Dalam tradisi adat
setempat, dikenal sejumlah ritual upacara adat dalam rangkaian penanaman
padi, di antaranya adalah upacara mopha huta (memberi makan tanah), baik sebelum maupun sesudah penanaman. Upacara ini dipimpin oleh panggoba (dukun), dengan sajian nasi kuning, nasi merah, telur rebus, daging, dan pisang. Sewaktu padi mulai berisi (lelo tuhelo), dilangsungkan upacara lainnya, di mana panggoba
membakar dupa atau kemenyan dan mebawanya mengelilingi sawah sembari
membaca mantra. Maksud dari ritual ini tak lain adalah agar buah padi
tidak mendapat gangguan binatang, sehingga dapat berbuah dengan baik.
Selanjutnya, pascapanen, setelah padi diolah menjadi nasi, anak-anak
adalah kalangan yang harus makan terlebih dahulu, dengan cara disuapi
oleh panggoba. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak, sekaligus seluru penghuni rumah terhindar dari penyakit.
0 komentar:
Posting Komentar