SUKU TORAJA BANGSAWAN YANG BERDIAM DI NEGERI ATAS
Suku Toraja
adalah suku pendatang yang kini menjadi penduduk asli pegunungan bagian
utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1
juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Pada
awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun
akhirnya pindah ke dataran tinggi. Proses adaptasi yang cukup ekstrim
bagi para pendatang, tentunya membuat mereka secara rasional lebih
memilih untuk pindah dari pesisir menuju dataran tinggi di utara lalu
menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang-orang inilah
yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.
Ada yang mengira bahwa tempat asal suku Toraja dari Teluk Tonkin yang terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Jika dilihat dari Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan, mereka masih mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.
Ada yang mengira bahwa tempat asal suku Toraja dari Teluk Tonkin yang terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Jika dilihat dari Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan, mereka masih mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.
Nama
Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to
riaja yang mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas
mereka yang kita kenal bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah
kolonial Belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909.
Versi
lain menyebutkan bahwasannya kata Toraja awalnya bernama toraya. Kata
tersebut merupakan gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang
dan “raya” yang berasal dari kata maraya yang berarti besar. Artinya
jika digabungkan menjadi suatu padanan makna orang-orang besar atau
bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda kehidupan lama-lama
penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara itu kata Tana
yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri. Sehingga
pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau
negeri tempat orang-orang besar berada.
Pada
masa kolonial Belanda, Tana Toraja dibagi menjadi lima daerah, yang
dipimpin oleh bangsawannya masing-masing. Daerah-daerah Makale,
Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan
yang bergelar Puang. Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bergelar
Parengi, sedangkan .daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan bergelar
Ma'dika.
Dalam
hubungan sosial, masyarakat Suku Toraja di Tana Toraja mengenal
pembagian kasta seperti yang terdapat di dalam agama Hindu-Bali. Kasta
atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat): Kasta Tana' Bulaan, Kasta Tana'
Bassi1, Kasta Tana’Karurung, Kasta Tana' Kua-kua.
Suku Toraja
menarik garis keturunan dalam kelas sosial melalui ibu atau
matrilinear. Mereka tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari
kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari
kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada
keturunan berikutnya.
Dalam
hal kepercayaan, mereka memiliki kepercayaan asli suku Toraja yaitu
Alukta atau kita kenal sebagai agama kepercayaan Aluk Todolo yang
kemudian ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama
Hindu Bali.
Mayoritas
penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya,
Aluk Todolo (60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap
dijalankan hingga hari ini. Hal ini terutama pada adat yang berpokok
pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah
yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup
terkenal.
Masyarakat
Suku Toraja memiliki pegangan dan arah hidup untuk menjadi manusia
(manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks
masyarakat toraja. Pandangan tersebut memiliki empat pilar utama yang
mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain:
Sugi' atau Kaya, Barani atau Berani, Manarang atau Pintar, dan Kinawa
dalam artian memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana.
Keempat
pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki
makna yang lebih dalam dari pada pemahaman kata secara bebas. Seorang
toraja akan menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki
dan hidup sebagai Tau.
0 komentar:
Posting Komentar