Dulu, saya bekerja di sebuah kantor yang punya "budaya" bergosip. Yang digosipkan adalah teman-teman sendiri yang sedang tidak ada di tempat. Saya tahu bergosip itu buruk. Tetapi, bergosip itu mengasyikkan dan kadang juga bisa menghilangkan stres dalam pekerjaan.
Walau bertahun-tahun belajar mengenai keburukan bergosip, saya masih suka gosip, minimal ikut mendengarkan - meski tidak berkontribusi dengan menambah cerita apa pun.
Suatu hari, saya sedang berada di luar kota untuk jangka waktu cukup lama. Seorang kawan baik di kantor menelepon saya dan mengatakan bahwa orang-orang di kantor sedang menggosipkan saya. Mereka membongkar habis kelemahan-kelemahan saya. Bukan hanya bergosip, mereka bahkan menambahkan informasi-informasi menyesatkan tentang saya.
Kejadian itu benar-benar membuat saya terpukul. Berhari-hari saya memikirkan hal ini. Saya merasa dikhianati oleh rekan-rekan sendiri. Tetapi kejadian menyakitkan ini benar-benar membuat saya berubah. Mulai saat itu, saya berhenti menggosipkan orang lain.
Siapa guru sejati yang telah berhasil membuat saya berhenti bergosip? Orangtua, guru-guru, buku-buku yang saya baca, atau Kitab Suci?
Bukan. Benar, semua itu memberi pelajaran kepada saya, tetapi pelajaran saja tidak membawa perubahan. Yang membawa perubahan adalah pengalaman yang menyakitkan. Guru sejati saya dalam hal menghentikan kebiasaan bergosip adalah teman-teman di kantor saya itu.
Orang baik-baik memberi manfaat berupa persahabatan, cinta, dan kasih sayang; sementara orang jahat memberi manfaat dalam bentuk pelajaran-pelajaran menyakitkan yang membangun spiritualitas.
Walau bertahun-tahun belajar mengenai keburukan bergosip, saya masih suka gosip, minimal ikut mendengarkan - meski tidak berkontribusi dengan menambah cerita apa pun.
Suatu hari, saya sedang berada di luar kota untuk jangka waktu cukup lama. Seorang kawan baik di kantor menelepon saya dan mengatakan bahwa orang-orang di kantor sedang menggosipkan saya. Mereka membongkar habis kelemahan-kelemahan saya. Bukan hanya bergosip, mereka bahkan menambahkan informasi-informasi menyesatkan tentang saya.
Kejadian itu benar-benar membuat saya terpukul. Berhari-hari saya memikirkan hal ini. Saya merasa dikhianati oleh rekan-rekan sendiri. Tetapi kejadian menyakitkan ini benar-benar membuat saya berubah. Mulai saat itu, saya berhenti menggosipkan orang lain.
Siapa guru sejati yang telah berhasil membuat saya berhenti bergosip? Orangtua, guru-guru, buku-buku yang saya baca, atau Kitab Suci?
Bukan. Benar, semua itu memberi pelajaran kepada saya, tetapi pelajaran saja tidak membawa perubahan. Yang membawa perubahan adalah pengalaman yang menyakitkan. Guru sejati saya dalam hal menghentikan kebiasaan bergosip adalah teman-teman di kantor saya itu.
Orang baik-baik memberi manfaat berupa persahabatan, cinta, dan kasih sayang; sementara orang jahat memberi manfaat dalam bentuk pelajaran-pelajaran menyakitkan yang membangun spiritualitas.
0 komentar:
Posting Komentar