Konflik
selalu terjadi antara dua hal yang saling berlawanan. Aku merasa benar,
dan aku menganggap engkau salah. Lalu aku memaksakan apa yang kuanggap
benar. Demikian sebaliknya. Aku dan engkau lalu terlibat konflik, karena
sama-sama menganggap diri paling benar. Segala sesuatu yang menimbulkan
konflik, betapa pun orang merasa paling benar; sama-sama jahat,
sama-sama merusak.
Kebenaran
yang sesungguhnya atau Kebaikan Tertinggi tidak mempunyai lawan atau
kebalikan. Anda bisa berkonflik dengan Sang Kebaikan atau Tuhan, tetapi
Sang Kebaikan tidak mungkin berkonflik dengan Anda. Anda bisa membenci
Tuhan, tetapi Tuhan yang sesungguhnya tidak mungkin membenci Anda.
Bagaimana mungkin di dalam Sang Kebaikan ada kejahatan, di dalam Sang
Kebenaran ada kepalsuan, di dalam Cinta ada kebencian?
Ketika
aku melawan sesuatu, sesungguhnya aku telah menjadi apa yang aku lawan.
Jika Anda marah dan saya membalas Anda dengan marah, maka saya telah
menjadi seperti Anda. Jika Anda jahat dan saya membalas Anda dengan
kejahatan, maka saya dan Anda sama-sama jahat.
Kejahatan
tidak bisa dilawan dengan kejahatan. Kebaikan sebagai lawan dari
kejahatan juga tak bisa menghabisi kejahatan, karena kebaikan sebagai
lawan dari kejahatan masih tetap mengandung benih kejahatan. Kejahatan
dalam diri kita mesti berakhir lebih dulu, dan ketika itu berakhir
mungkin terlahir apa yang disebut Kebaikan Tertinggi. Berakhirnya
kejahatan tidak mungkin terjadi, tanpa pemahaman secara tuntas terhadap
kejahatan, yang pusatnya tidak lain adalah diri.
Diri
adalah akar dari kejahatan, karena gerak diri selalu cenderung
mengisolasi, mengambil jarak, memecah-belah, menciptakan konflik,
mengelabui pandangan terhadap realitas yang sesungguhnya. Sebaik apa pun
gambaran kita tentang diri ini, si aku psikologis tetaplah jahat.
Bisakah si aku yang jahat berubah menjadi baik? Bagaimana mungkin yang
jahat bisa berubah menjadi baik?
0 komentar:
Posting Komentar