Sabtu, 06 Desember 2014

Memahami Rasa Sedih

Saat kesedihan mendera, apa reaksi kita? Kita mencari penyebabnya, menganalisis, menyalahkan atau membenarkan, ingin mengakhiri kesedihan, menolaknya, mengatasinya, dan seterusnya. Kebanyakan dari kita jarang tinggal bersama rasa sedih secara penuh, karena kita mudah berlari untuk mencari penghiburan. Penghiburan apa pun bentuknya, barangkali bisa mengurangi rasa sedih, tetapi tidak sungguh menyembuhkan.

Berbagai reaksi atas kesedihan hanya membuang energi, dan kesedihan tidak berakhir. Ketika sedih, aku mengatakan, ”aku sedih.” Siapakah sesungguhnya si aku yang sedang bersedih? Bukankah si aku tidak berbeda dari rasa sedih itu?

Kita adalah kesedihan itu sendiri, dan kita tidak berbeda dari seluruh reaksi yang ditimbulkannya. Untuk melihat kenyataan ini, dibutuhkan kepekaaan. Tidak ada kesedihan milik Anda atau milik saya. Kesedihan adalah suatu fenomena kemanusiaan yang universal. Ia tidak kenal batas-batas individu, masyarakat, atau bangsa. Kesedihan orang-orang yang terluka atau kehilangan anggota keluarganya akibat aksi teror di Jakarta, misalnya, adalah juga kesedihan orang-orang  di Asia atau di seluruh dunia. 

Kesedihan Anda adalah kesedihan saya. Kesedihan dunia adalah kesedihan kita. Kalau kita bersikap dingin saja ketika melihat kesedihan orang lain,  hati kita telah menjadi tumpul. Kita hanya melihat kepentingan diri sendiri dalam hubungan dengan yang lain. Giliran kesedihan mendera kita, lalu kita merasa sendirian. Dengan memahami kesedihan yang bukan milik Anda atau milik saya, kita menjadi kuat; sebab bukan lagi Anda atau saya yang menderita, tetapi seluruh kemanusiaan. 

Kalau rasa sedih dipahami tanpa ada gerak si aku -- tidak menganalisis, tidak memberinya nama, tidak menutupi, tidak melarikan diri -- maka ada pemahaman yang utuh, dan di sana ada kemungkinan kesedihan berakhir. Dan dengan kepekaan yang sama, ada kemungkinan bagi mekarnya welas asih yang menentukan kualitas kemanusiaan kita.

0 komentar:

Posting Komentar