Celurit atau clurit atau dalam bahasa Madura biasa disebut Arek,
bagi masyarakat Madura, tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi
mereka hingga hari ini. Senjata tradisional berbentuk melengkung seperti
bulan sabit. Bilah inilah yang menjadi ciri khas senjata tradisional
ini. Senjata tradisional yang memiliki bilah serupa celurit ialah
kerambit asal Sumatera, arit dari Jawa, dan kujang dari Jawa Barat.
Berdasarkan
bentuk bilahnya, celurit dapat dibedakan menjadi dua, yaitu clurit
kembang turi dan clurit wulu pitik/bulu ayam. Sedangkan untuk ukuran,
celurit dibagi menjadi lima ukuran. Dari ukuran 5 atau yang paling kecil
sampai ukuran 1 atau yang paling besar.
Pada umumnya celurit
memiliki hulu (pegangan/gagang) yang terbuat dari kayu. Kayu yang
digunakan untuk hulu cukup beraneka ragam, misalnya kayu kembang, kayu
stingi, kayu jambu klutuk, kayu temoho, dan kayu lainnya. Terdapat tali
diujung hulunya yang pnjangnya berkisar 10 sampai 15 cm yang berguna
untuk ngegantung atau mengikat clurit. Ulir atau cerukan biasanya
terdapat pada bagian ujung hulu. Biasanya kedalaman ulir tersebut
mencapai 1 sampai 2 cm.
Sarung celurit sendiri terbuat dari
kulit. Masyarakat Madura biasanya menggunakan kulit kerbau yang tebal
atau kulit sapi atau bisa juga kulit lainnya. Sarung Kulit disesuaikan
dengan bentuk dari celurit itu sendiri, yaitu berbentuk sabit. Sarung
celurit juga memiliki ikatan pada ujungnya dekat dengan gagang sebagai
pengaman. Untuk mempermudah dalam mencabut celurit dari sarungnya, maka
celurit hanya dijahir 3/4-nya saja.
Bahan stenless biasa
digunakan sebagai bahan pembuatan bilah celurit. Bahan tersebut memiliki
kualitas yang bagus dibandingkan dengan bahan lainnya atau bisa juga
menggunakan besi bekas rel kereta api, besi jembatan, besi mobil untuk
kualitas yang paling bagus. Sedangkan untuk kualitas rendah menggunakan
baja atau besi biasa. Bagian bilahnya dibuat menembus sampai ujung untuk
melekatkan dengan kuat bilah pada gagangnya.
Kini, masyarakat
Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari
kehidupan sehari-hari. Tak heran bila pusat kerajinan senjata tajam itu
banyak bertebaran di Pulau Madura. Misalnya, desa kecil bernama
Peterongan, Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten
Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya
sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah
warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau.
Celurit dikerjakan
seorang pandai besi. Padai besi biasanya berpuasa sebelum mengerjakan
sebilah celurit. Bahkan setiap pada bulan Maulid, di bengkel pandai besi
dilakukan ritual kecil. Ritual ini disertai sesajen berupa ayam
panggang, nasi, dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di mushola.
Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi.
Diyakini kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan
musibah sakit- sakitan. Orang-orang dilarang untuk melangkahi apalagi
menduduki tombuk atau bantalan penempa besi.
Memilih besi yang
diinginkan menjadi awal pembuatan celurit. Jika menginginkan celurit
yang berkualitas terbaik digunakan besi rel atau besi mobil/jeep.
Batangan besi pilihan itu tersebut kemudian dibelah dengan ditempa
berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh
lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan dengan suhu
yang tinggi.
Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang
kali sampai membentuk lengkungan sesuai dengan jenis celurit yang
diinginkan. Penempaan dilakukan dengan ketelitian. Setelah mencapai
kelengkungan yang diinginkan, clurit digerinda dan haluskan bilahnya.
Setelah dimasukkan atau ditancapkan ke gagang yang telah disiapkan
terlebih dahulu. Kemudian diteruskan dengan memberikan ikatan tali pada
gagang tersebut. Terakhir bilah yang sudah jadi dibuatkan sarungnya
dengan menggunakan kulit kerbau atau sapi dan telah diukir, di mana
ukurana sarung disesuaikan dengan bentuk bilah tersebut. Lama waktu
pengerjaan memakan waktu dua sampai empat hari.
Carok
belum dikenal pada zaman Cakraningrat (abad ke-12M), Joko Tole (abad
ke-17M) dan Panembahan Semolo. Ketika itu, seseorang membunuh dengan
menggunakan keris atau pedang untuk membela kehormatannya. Masyarakat
Madura meyakini bahwa celurit berasal dari legenda pak Sakera atau
Sekerang, yaitu seorang mandor tebu asal Pasuruan, Jawa Timur. Ia
menjadi salah satu tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Menurut
cerita, ia tidak pernah melepaskan celurit jauh darinya. Ia selalu
memakainya untuk kehidupan sehari-hari atau biasa digunakan untuk alat
pertanian atau perkebunan. Sakera berasal dari kalangan santri dan
seorang muslim yang taat.
Sakera melakukan
perlawanan atas penidasan penjajah. Pada akhirnya ia tertangkap dan
dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Beliau dimakamkan di Kota
Bangil atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari. Tindakan
penjajah yang menghukum gantung Sakera menyulut kemarahan orang-orang
Madura. Mereka mulai berani melakukan perlawanan pada penjajah dengan
senjata yang biasa digunakan Sakera, yaitu celurit. Sejak saat itu,
celurit disimbolkan sebagai alat perlawanan, simbol harga diri.
Curhat Pendek - Itu Susu?
-
Ketika kamu memiliki banyak pengalaman, melihat banyak hal yang terjadi di
dunia maka biasanya semakin sulit kamu untuk terkejut pada sesuatu yang
tida...
0 komentar:
Posting Komentar