Sabtu, 06 Desember 2014

Menyingkap Tirai Penderitaan

Hidup ini penuh dengan penderitaan, maka orang lalu mencari kebahagiaan. Kebahagiaan yang dicari umumnya tak jauh dari kebahagiaan tertentu: bahagia karena berkecukupan, bahagia karena memiliki pasangan hidup atau keluarga yang baik, bahagia karena sembuh dari sakit, dan sebagainya.  

Apa yang akan terjadi kalau tiba-tiba orang jatuh miskin, ditinggal mati atau ditinggal pergi yang dicintai, jatuh sakit, dan seterusnya? Bukankah orang akan terguncang batinnya, sedih, dan penderitaan muncul kembali?

Mengejar kebahagiaan merupakan bentuk lain pelarian dari penderitaan. Ternyata, kebahagiaan yang didapat tidak membuat orang terlepas dari penderitaannya. Kebahagiaan yang didapat hanyalah sisi lain dari penderitaan. Demikianlah penderitaan seperti roda yang terus bergerak.

Penderitaan pertama-tama bukan disebabkan oleh kondisi-kondisi yang tidak ideal di luar batin, melainkan disebabkan oleh keberadaan si aku atau ego. Selama masih ada ego, bukankah ada si aku yang menderita?

Setiap kali muncul pikiran,  si aku terlahirkan. Lalu muncullah pengalaman ”aku menderita” yang tidak lain adalah kelanjutan dari pikiran. Pikiran telah menciptakan si aku permanen yang menderita. Ketika pikiran lenyap, si aku yang menderita juga lenyap. Ilusi tentang si aku yang menderita juga lenyap.

Si aku yang menderita adalah penderitaan itu sendiri. Tidak ada penderitaan tanpa si penderita. Kalau penderitaan dihadapi tanpa si aku yang menderita, apa yang terjadi? Bukankah yang ada hanya penderitaan apa adanya dan tidak ada lagi yang mengatakan ”aku menderita”?

Alih-alih mengejar kebahagiaan, penderitaan mesti dihadapi sebagai realitas apa adanya. Segala bentuk penolakan terhadap penderitaan, entah melawan atau lari daripadanya, hanya akan meningkatkan belenggu penderitaan.

0 komentar:

Posting Komentar