Hidup
ini penuh dengan penderitaan, maka orang lalu mencari kebahagiaan.
Kebahagiaan yang dicari umumnya tak jauh dari kebahagiaan tertentu:
bahagia karena berkecukupan, bahagia karena memiliki pasangan hidup atau
keluarga yang baik, bahagia karena sembuh dari sakit, dan sebagainya.
Apa
yang akan terjadi kalau tiba-tiba orang jatuh miskin, ditinggal mati
atau ditinggal pergi yang dicintai, jatuh sakit, dan seterusnya?
Bukankah orang akan terguncang batinnya, sedih, dan penderitaan muncul
kembali?
Mengejar
kebahagiaan merupakan bentuk lain pelarian dari penderitaan. Ternyata,
kebahagiaan yang didapat tidak membuat orang terlepas dari
penderitaannya. Kebahagiaan yang didapat hanyalah sisi lain dari
penderitaan. Demikianlah penderitaan seperti roda yang terus bergerak.
Penderitaan
pertama-tama bukan disebabkan oleh kondisi-kondisi yang tidak ideal di
luar batin, melainkan disebabkan oleh keberadaan si aku atau ego. Selama
masih ada ego, bukankah ada si aku yang menderita?
Setiap
kali muncul pikiran, si aku terlahirkan. Lalu muncullah pengalaman
”aku menderita” yang tidak lain adalah kelanjutan dari pikiran. Pikiran
telah menciptakan si aku permanen yang menderita. Ketika pikiran lenyap,
si aku yang menderita juga lenyap. Ilusi tentang si aku yang menderita
juga lenyap.
Si
aku yang menderita adalah penderitaan itu sendiri. Tidak ada
penderitaan tanpa si penderita. Kalau penderitaan dihadapi tanpa si aku
yang menderita, apa yang terjadi? Bukankah yang ada hanya penderitaan
apa adanya dan tidak ada lagi yang mengatakan ”aku menderita”?
Alih-alih
mengejar kebahagiaan, penderitaan mesti dihadapi sebagai realitas apa
adanya. Segala bentuk penolakan terhadap penderitaan, entah melawan atau
lari daripadanya, hanya akan meningkatkan belenggu penderitaan.
0 komentar:
Posting Komentar