Buay
atau Klen adalah cara suku Lampung mengasosiasikan dirinya sebagai
individu yang berada dalam ikatan pertalian darah atau pertalian adat
atau mewari, menurut garis keturunan laki-laki atau patrilinial. Istilah buay digunakan dalam klen kecil dan klen besar (buay asal). Namun keduanya memiliki perbedaan yang mencolok.
Para
anggota dalam klen kecil masih saling mengenal, karena adanya hubungan
teritorial atau genealogis serta perkawinan menurut sistem ngejuk nagkuk atau ambil-beri yang bersifat patrilokal.
Suatu buay pada dasarnya terikat pada satu rumah asal atau nuwou tuhou, nuwou balak tuhow, yang dalam perkembangannya kemudian akan terdiri dari beberapa nuwou balak. Susunan kepunyimbangan atau kepemimpinan kerabatnya selalu berurut di bawah punyimbang, anak tertua laki-laki dari keturunan yang tertua menurut garis laki-laki. Dengan demikian terdapatlah punyimbang buay balak atau keturunan besar, ada punyimbang buay lunik atau keturunan kecil yang memimpin jurai atau sub-buay.
Pada beberapa desa penduduk asli masih sering didapat tanah menyanak atau
hak pakai kerabat atau tanah kerabat yang belum / tidak terbagikan.
Dalam hal ini masing-masing anggota keturunan laki-laki hanya mempunyai
hak pakai atau hak memanfaatkan saja, sedangkan orangdi luar keanggotaan
buay hanya berhak “menumpang” saja.
Dalam
hubungan perkawinan, tak ada larangan bagi para anggota untuk melakukan
perkawinan. Pernikahan tersebut dapat saja dilakukan asalkan tidak
bertentangan dengan hukum agama Islam.
Di daerah beradat peminggir dikenal perkawinan jujur atau patrilokal dan semanda atau natrilokal. Dengan demikian sifat kekerabatan telah banyak berubah menjadi sifat “patrilineal alternered”.
Sementara klen besar, bentuk kekerabatan ini juga disebut buay asal atau oorsprongkalijke boeay. Para
anggota buay asal, kebanyakan sudah tidak saling kenal mengenal, karena
jangkauannya sudah jauh melampaui lima generasi ke atas. Meskipun
demikian, di lingkungan masyarakat adat Abung masih bisa diketemukan
silsilah keturunan, dari yang disebut Abung siwou migou atau Abung sembilan marga.
Semua punyimbang keturunan Abung akan menghubungkan diri mereka dengan nenek moyang mereka yang bergelar Minak Paduka Begeduh yang makamnya terletak di Canguk Geteak (Ulok Rengas) di kecamatan Tanjungraja Bukit Tinggi, Kotabumi, di Kabupaten Lampung Utara.
Dalam lingkunagn masyarakat adat Megou Bak Tulangbawang, masih ada sisilsilah kepunyimbangan dari
marga Buay Bulan yang berasal dari nenek moyangnya, Minak Sengaji
dimakamkan di belakang kantor Camat Tulangbawang Menggala. Baik buay Minak Begeduh mau pun Minak Sengaji hingga kini sudah mencapai jumlah keanggotaan sekitar dua puluh generasi.
Di
daerah yang beradat pepadun, terutama di lingkunagn masyarakat Abung,
nama-nama nenek moyang mereka dahulu telah diambil menjadi nama kesatuan
adat marganya. Contohnya antara lain nama marga Buay Unyi, marga Buay
Muban, marga Buay Subing, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar