Suku
Alas adalah sekelompok etnis yang bermukim di daerah Alas, Aceh
Tenggara. Sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut
Kreemer (1922) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu
dari Raja Lambing), ia bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu
Desa Batu Mbulan.
Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak
Alas telah bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial
Belanda masuk ke Indonesia. Keadaan penduduk lembah Alas tersebut telah
diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda
bernama Radermacher (1781). Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya
Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas
penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut
kepercayaan animisme.
Sisa-sisa
kepercayaan animisme pada masyarakat adat, biasanya nampak dalam ritual
atau upacara yang digelar. Dalam tulisan ini, kita akan mengetahui,
apakah kepanatikan masyarakat suku Alas terhadap Islam, yang telah
membuat mereka meninggalkan ke-Batak-an mereka, telah berlaku sama
terhadap sisa-sisa keanimismeannya dalam upacara kematian?
Upacara
adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan
berkembang secara historis pada masyarakat pendukungnya. Berfungsi
mengukuhkan norma-norma sosial dan nilai-nilai luhur. Salah satu upacara
tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat
pendukungnya adalah upacara kematian. Banyak orang yang menganggap
sepele terhadap upacara kematian. Orang lebih tertarik memperhatikan
upacara daur hidup yang lain seperti upacara perkawinan. Padahal apabila
kita amati dengan seksama, upacara kematian megandung nilai-nilai luhur
yang pada akhir akan diwarisi oleh para penerus pendukung kebudayaan
tersebut.
Upacara
kematian dalam masyarakat suku Alas dibagi menjadi beberpa tahapan;
masa mayat di Rumah adalah masa pelayatan, seleuruh kerabat diundang
terutama sekali kerabat yang paling dekat yakni dua angkatan ke atas dan
dua angkatan ke bawah ego (orang yang meninggal). Sebelum di bawa ke
sungai, sebelum abad ke 20, warga Alas masih menggelar Seni ngeratap, menangisi mayat dan mengenang segala kebaikannya. Seni ngeratap ini merupakan kebudayaan Karo (juga masyarakat Batak lainnya) yang hari ini dilarang karena dianggap Syirik.
Proses
Memandikan Mayat masyarakat Alas dilakukan di sungai, dengan kedalaman
kira-kira 30 cm dan waktu mayat dipangku dapat mengenai air. Selanjutnya
imam akan mengosoki mayat dengan air badar. Setelah semua dianggap
bersih, barulah imam menyiram mayat dengan air sembilan. Fungsi air ini
adalah sebagai air pembersih terakhir. Setelah selesai dimandikan,
sebelum mayat diusung ke luar rumah anak-keluarga mengadakan mengkiran
(menusuki) mayat melalui bawah usungan, agar mayat jangan teringat
kepada anak dan keluarganya di dalam kubur nanti. Kemudian mayat
disalati. Mayat kemudian dibawa ke tempat penguburan dengan diusung
dalam peraran. Selanjutnya adalah proses Penguburan Mayat.
Masa
Takziah, upacara ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut, yakni
malam pertama hingga malam ketiga setelah upacara penguburan. Berikutnya
adalah Masa Hari Ketujuh, upacara hari ketujuh dilaksanakan agak lebih
besar dari upacara sebelumnya. Bagi mereka yang mampu biasanya dilakukan
pemtongan kerbau atau sapi. Keluarga duka menyiapkan sirih undangan
yang disebut pemanggo 7. Apabila kaum kerabat mendapat sirih pemanggo,
ia sibuk mempersiapkan bahan bawaan untuk dipersembahkan kepada keluarga
orang yang meningggal itu. Bahan bawaan berupa: limon satu lusin,
kerotuum (nasi bungkus yang dibungkus dengan daun pisang yang bentuknya
bulat panjang), lauk pauk satu susun (rantang), kelapa ala kadarnya,
telur bebek, beras ala kadarnya, dan uang.
Pada
pagi hari setelah malam ke tujuh, upacara penanaman batu digelar dengan
dipimpin oleh seorang imam. Para peserta biasanya adalah kaum kerabat,
namun ada pula warga kampung yang menghadirinya. Upacara dimulai dengan
penyiraman kuburan dengan air yang telah disediakan. Penyiraman ini
dilaksanakan oleh imam sebanyak tiga kali dari atas kuburan ( kepala )
sampai bawah (kaki) sambil membaca doa. Kemudian batu yang bagian
atasnya telah dibungkus dengan kain putih dan disediakan dalam sebuah
talam (tapesi) diambil oleh tengku imam serta ditanam di atas kuburan
pada bagian kepala. Batu ditanam kira-kira setengah bagian dengan posisi
batu yang tertutup kain berada di atas.
Pelaksanaan
upacara malam ke empat puluh hari tidak berbeda dengan upacara malam ke
tujuh, yakni dengan pembacaan samadiah yang dipimpin oleh imam dan
diakhiri dengan pembacaan doa. Kemudian acara dilanjutkan dengan kenduri
makan bersama. Seusai makan bersama berarti usai pula seluruh rangkaian
upacara kematian pada masyarakat Alas.
Jika
kita lihat dari rangkaian upacara kematian suku Alas, kita menemukan
kesamaan dengan proses upacara kematian masyarakat Islam di jawa. Masih
terdapat sisa keyakinan animisme dengan adanya mengkiran, dan Takziah atau Tahlilan. Maka
tidak sepenuhnya ala Arab. Suku Alas dalam upacara kematian benar-benar
seperti meninggalkan Ke-Batak-annya dengan dihapuskannya seni ngeratap.
Kekhasan Suku Alas terdapat pada sistem kekerabatan yang sangat erat
dengan sifat wajib datangnya kerabat yang paling dekat yakni dua
angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego, juga adanya undangan sirih pemanggo 7demi menjaga keutuhan kekerabatan suku Alas.
0 komentar:
Posting Komentar