Sabtu, 13 Desember 2014

Upacara Kematian Suku Alas Aceh Tenggara

aceh.jpg
Suku Alas adalah sekelompok etnis yang bermukim di daerah Alas, Aceh Tenggara. Sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), ia  bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia. Keadaan penduduk lembah Alas tersebut telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781). Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.
Sisa-sisa kepercayaan animisme pada masyarakat adat, biasanya nampak dalam ritual atau upacara yang digelar. Dalam tulisan ini, kita akan mengetahui, apakah kepanatikan masyarakat suku Alas terhadap Islam, yang telah membuat mereka meninggalkan ke-Batak-an mereka, telah berlaku sama terhadap sisa-sisa keanimismeannya dalam upacara kematian?
Upacara adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat pendukungnya. Berfungsi mengukuhkan norma-norma sosial dan nilai-nilai luhur. Salah satu upacara tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara kematian. Banyak orang yang menganggap sepele terhadap upacara kematian. Orang lebih tertarik memperhatikan upacara daur hidup yang lain seperti upacara perkawinan. Padahal apabila kita amati dengan seksama, upacara kematian megandung nilai-nilai luhur yang pada akhir akan diwarisi oleh para penerus pendukung kebudayaan tersebut.
Upacara kematian dalam masyarakat suku Alas dibagi menjadi beberpa tahapan; masa mayat di Rumah adalah masa pelayatan, seleuruh kerabat diundang terutama sekali kerabat yang paling dekat yakni dua angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego (orang yang meninggal). Sebelum di bawa ke sungai, sebelum abad ke 20, warga Alas masih menggelar Seni ngeratap, menangisi mayat dan mengenang segala kebaikannya. Seni ngeratap ini merupakan kebudayaan Karo (juga masyarakat Batak lainnya) yang hari ini dilarang karena dianggap Syirik.
Proses Memandikan Mayat masyarakat Alas dilakukan di sungai, dengan kedalaman kira-kira 30 cm dan waktu mayat dipangku dapat mengenai air. Selanjutnya imam akan mengosoki mayat dengan air badar. Setelah semua dianggap bersih, barulah imam menyiram mayat dengan air sembilan. Fungsi air ini adalah sebagai air pembersih terakhir. Setelah selesai dimandikan, sebelum mayat diusung ke luar rumah anak-keluarga mengadakan mengkiran (menusuki) mayat melalui bawah usungan, agar mayat jangan teringat kepada anak dan keluarganya di dalam kubur nanti. Kemudian mayat disalati. Mayat kemudian dibawa ke tempat penguburan dengan diusung dalam peraran. Selanjutnya adalah proses Penguburan Mayat.
Masa Takziah, upacara ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut, yakni malam pertama hingga malam ketiga setelah upacara penguburan. Berikutnya adalah Masa Hari Ketujuh, upacara hari ketujuh dilaksanakan agak lebih besar dari upacara sebelumnya. Bagi mereka yang mampu biasanya dilakukan pemtongan kerbau atau sapi. Keluarga duka menyiapkan sirih undangan yang disebut pemanggo 7. Apabila kaum kerabat mendapat sirih pemanggo, ia sibuk mempersiapkan bahan bawaan untuk dipersembahkan kepada keluarga orang yang meningggal itu. Bahan bawaan berupa: limon satu lusin, kerotuum (nasi bungkus yang dibungkus dengan daun pisang yang bentuknya bulat panjang), lauk pauk satu susun (rantang), kelapa ala kadarnya, telur bebek, beras ala kadarnya, dan uang.
Pada pagi hari setelah malam ke tujuh, upacara penanaman batu digelar dengan dipimpin oleh seorang imam. Para peserta biasanya adalah kaum kerabat, namun ada pula warga kampung yang menghadirinya. Upacara dimulai dengan penyiraman kuburan dengan air yang telah disediakan. Penyiraman ini dilaksanakan oleh imam sebanyak tiga kali dari atas kuburan ( kepala ) sampai bawah (kaki) sambil membaca doa. Kemudian batu yang bagian atasnya telah dibungkus dengan kain putih dan disediakan dalam sebuah talam (tapesi) diambil oleh tengku imam serta ditanam di atas kuburan pada bagian kepala. Batu ditanam kira-kira setengah bagian dengan posisi batu yang tertutup kain berada di atas.
Pelaksanaan upacara malam ke empat puluh hari tidak berbeda dengan upacara malam ke tujuh, yakni dengan pembacaan samadiah yang dipimpin oleh imam dan diakhiri dengan pembacaan doa. Kemudian acara dilanjutkan dengan kenduri makan bersama. Seusai makan bersama berarti usai pula seluruh rangkaian upacara kematian pada masyarakat Alas.
Jika kita lihat dari rangkaian upacara kematian suku Alas, kita menemukan kesamaan dengan proses upacara kematian masyarakat Islam di jawa. Masih terdapat sisa keyakinan animisme dengan adanya mengkiran, dan Takziah atau Tahlilan. Maka tidak sepenuhnya ala Arab. Suku Alas dalam upacara kematian benar-benar seperti meninggalkan Ke-Batak-annya dengan dihapuskannya seni ngeratap. Kekhasan Suku Alas terdapat pada sistem kekerabatan yang sangat erat dengan sifat wajib datangnya kerabat yang paling dekat yakni dua angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego, juga adanya undangan sirih pemanggo 7demi menjaga keutuhan kekerabatan suku Alas.

0 komentar:

Posting Komentar