Sabtu, 13 Desember 2014

Sistem Kekerabatan Suku Tengger

SISTEM KEKERABATAN SUKU TENGGER1.jpg
SISTEM KEKERABATAN SUKU TENGGER
Tengger adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Setelah Islam mulai masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).
Masyarakat Tengger mempunyai hubungan yang khas dalam hubungan kekerabatan. Garis keturunan masyarakat Tengger adalah berdasarkan pada prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Ada tiga macam kelompok kekerabatan dalam masyarakat Tengger. Kelompok kekerabatan terkecil yaitu keluarga inti yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang disebut sa’omah. Kelompok kekerabatan yang kedua yaitu sa’dulur. Fsm kelompok kekerabatan yang ketiga dan yang terbesar adalah yang dinamakan wong Tengger.
Masyarakat Tengger yang hidup sa’omah terdiri dari pasangan suami isteri dengan anak-anak dan juga ditambah beberapa anggota kelompok terdekat seperti kakek atau nenek dan beberapa anak angkatnya. Keluarga ini bernaung dibawah satu atap dengan kepala keluarga yang memikul tanggung jawab kehidupan keluarga tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa suami isteri saja yang bekerja untuk mencari nafkah.
Kedua kelompok kekerabatan sa’dulur. Kelompok kekerabatan ini merupakan kelompok kekerabatan kedua yang dikenal oleh masyarakat Tengger. Hal ini berarti selain mengenal ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, juga mengenal kerabat-kerabat lainnya seperti saudara-saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu, kerabat dari angkatan satu tingkat ke atas dari orang tua, saudara sepupu derajat kedua dari pihak ayah atau ibu, saudara-saudara orang tua dari pihak ayah atau ibu, kerabat dari satu tingkat ke bawah dan seterusnya yang biasanya kerabat-kerabat tersebut berkumpul dalam suatu aktifitas tertentu sekitar rumah tangga.
Kelompok kekerabatan yang ketiga dan yang terbesar ialah yang disebut dengan wong Tengger yang dapat disamakan dengan kelompok kekerabatan disebut sebagai kelompok besar yang berarti memiliki fungsi menyelenggarakan kehidupan keagamaan dari seluruh kelompok sebagai satu kesatuan. Seperti yang diyakini oleh semua masyarakat Tengger bahwa upacara-upacara adat seperti upacara Kasada dan upacara Karo merupakan suatu bentuk yang dilakukan oleh seluruh orang Tengger.
Dalam urusan perkawinan, adat perkawinan pada masyarakat Tengger hampir sama dengan adat pernikahan masyarakat Jawa, yang membedakan diantara kedua perkawinan itu adalah dalam perkawinan masyarakat Tengger yang bertindak sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Setelah menikah ada tradisi Adat menetap atau neolokal yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang baru. Untuk permulaan pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu dilingkungan kerabat istri. Selain itu, dalam tradisi masyarakat Tengger poligami dan perceraian tidak pernah terjadi. Perkawinan dibawah umur juga jarang terjadi.
Dalam proses pertunangan (pacangan) dalam tradisi masyarakat Tengger ada beberapa ritual yang harus dilakukan yaitu pertama, pertemuan antara kedua calon atas dasar saling senang dan menyukai diantara kedua pihak. Kedua,  lamaran yang dilakukan oleh orangtua pria. Setelah itu, apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok. Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu, upacara perkawinan dilakukan.
Adapun saat akan melangsukan perkawinan para orangtua kedua calon akan meminta nasehat kepada dukun mengenai kapan hari baik melangsungkan perkawinan. Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Sesudah semua selesai maka akan ada selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh seorang dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.
Biasanya setelah melakukan perkawinan pengantin pria harus tinggal dirumah (mengikuti) pengantin wanita.
Dalam urusan hak waris, masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah untuk anak keturunan mereka. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan. Selain itu,  pembagian merata antara perolehan hak waris laki-laki dan perempuan sama. Apabila kedua orang tua tidak sanggup lagi mengerjakan ladangnya, maka kedua orang tua tersebut akan ikut salah satu anaknya dan setelah meninggal hak warisnya jatuh pada anak yang merawat orang tua tersebut. Biasanya pembagian warisan diberikan sebelum kedua orang tua meninggal dan tidak jarang pula orang tua memberikan hak waris kepada anaknya apabila anak tersebut dianggap mampu mengerjakan sendiri ladangnya.

0 komentar:

Posting Komentar