Pertama
kali saya datang ke biara The Magic, saya lupa membawa Kitab Suci.
Ketika bertanya kepada petugas penerima tamu, apakah saya dapat meminjam
sebuah Kitab Suci, ia berkata, “Tidakkah terpikir oleh Anda untuk
menulis Kitab Kebajikan Anda sendiri?”
“Apa
maksud Anda?” saya balik bertanya. “Ya, tulislah Kitab Kebajikan Anda
sendiri – sesuatu dari diri Anda yang kira-kira serupa dengan Kitab
Suci. Anda dapat menceritakan sebuah ikatan klasik dan pembebasan yang
agung, tanah yang dijanjikan, lagu-lagu suci, sang penyelamat – hal-hal
seperti itu, pasti lebih menarik daripada hanya membaca Kitab Kebajikan
orang lain. Dan Anda mungkin dapat belajar lebih banyak.”
Saya
pun mulai menulis, makan waktu sebulan. Saya tidak pernah belajar
begitu banyak tentang Kitab Suci yang resmi. Ketika saya selesai,
petugas penerima tamu menganjurkan saya membawa Kitab Kebajikan itu
pulang dan berusaha menjalani hidup sesuai dengan Kitab Kebajikan
tersebut selama setahun.
Sesuatu
telah membuka mata saya. Saya hampir yakin, saya tak pernah mencurahkan
begitu banyak energi dan kewaspadaan dalam menjalani Kitab Suci resmi,
sebagaimana saya mencurahkannya dalam menjalani Kitab Kebajikan saya.
Ketika
saya datang kembali untuk kegiatan retret saya berikutnya, petugas
penerima tamu itu memberi salam hangat kepada saya. Ia mengambil Kitab
Suci dan Kitab Kebajikan saya, mencium kedua benda itu dengan sikap
hormat, dan berkata bahwa saya dapat menghabiskan dua hari dua malam di
Hall of the Great Fire.
Pada
malam tutup tahun, saya harus mengirimkan Kitab Kebajikan saya ke
pembakaran. Kebajikan dan usaha keras selama setahun penuh – lalu ke
Hall of the Great Fire. Setelah itu petugas penerima tamu meminta saya
menulis sebuah Kitab Kebajikan yang baru.
Begitulah,
hal tersebut berjalan selama 40 tahun belakangan ini – setiap tahun
sebuah Kitab Kebajikan baru selalu saya tulis, dan pada akhir tahun saya
bawa ke pembakaran. (Theophane the Monk – Tales of a Magic Monastery)
0 komentar:
Posting Komentar