
Masjid Sulthonain
Masjid Sulthonain beserta makam di belakangnya termasuk kagungan dalem (kepunyaan)
Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Didirikannya masjid ini karena
dibelakang masjid terdapat makam keluarga Mataram, seperti makam Ratu
Paku Buwana I yang menurunkan raja-raja kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Masjid ini diperkirakan berdiri pada masa kerajaan Mataram di Plered.
Pendirian masjid ini tampaknya atas kerjasama antara Kraton Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Setelah
Perjanjian Giyanti 1755, maka seluruh aset dan kekayaan Mataram dibagi
menjadi dua, termasuk masjid ini. Sebelah utara menjadi kekuasaan
Kasunanan Surakarta dan sebelah selatan menjadi kekuasaan Kasultanan
Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan warna yang berbeda. Lantai utara
berwarna abu-abu dengan tembok berwarna biru muda (Kasunanan Surakarta)
dan lantai selatan berwarna merah dengan tembok putih (Kasultanan
Yogyakarta). Sejak itulah nama masjid ini disebut masjid Sulthonain
Nitikan.
Nama
ini sebagai pertanda bahwa masjid ini berada di wilayah kekuasaan dua
kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sementara
itu, makam disebelah barat masjid juga dibagi menjadi dua,sebelah barat
milik Kasunanan Surakarta dan sebelah timur milik Kasultanan Yogyakarta.
Kompleks makam ini dirawat oleh abdi dalem yang diangkat Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Di atas pintu masjid terdapat pahatan tulisan Arab “pegon” yang berbunyi “Punika
konten Masjid Panitikan Kagungan Dalem Ing Negari Surokarto, Yasan
Dalem Ing Sangandap Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ing Surokarto ingkang
jumeneng kang kaping songo, nalika mulyaken Kagungan Dalem Masjid ing
Panitikan, marengi ing dinten Senen Wage Wulan Shofar Tahun Jimiwal
Hijrah 1309, penget jumenengipun Kagungan Dalem Masjid Panitikan ing
wulan Jumadilawal kaping songo likur, selasa Kliwon Tahun Alip 1818”. Sementara pada bagian dalam atas pintu terdapat tulisan, “Hadza
babul masjidil haram fi qoryati Panitikan tabingulbaladil akbari
Surokarto Hadiningrat Hijrotun Nabi SAW, min makkah ilal madinah. Tho’
syin ghoin sanah Jimawal, alfu salasa-miatin watis’un 1309. Artinya
: ini pintu Masjidil Haram di kampung Panitikan, dibangun oleh negari
Surokarto Hadiningrat, Tahun Hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah
1309. Tho’ syin ghoin adalah nama huruf Arab yang mempunyai makna sandi
semacam sengkalan dalam huruf Jawa. Tho’ = 1000; Syin = 300; Ghoin =
9. Dengan demikian huruf itu berarti 1309 H atau 1885 M. Tulisan
tersebut menunjukkan renovasi pertama masjid Sulthonain Nitikan.
Renovasi
pertama dilakukan oleh Kraton Kasunanan Surakarta pada masa
pemerintahan Sunan Paku Buwana IX (1861-1893). Pada tahun 1885, masjid
dibangun dengan kokoh dan megah. Tembok masjid dibuat tebal dengan
ukuran hampir setengah meter. Bangunannya lebar. Luasnya kurang lebih 17
x 17 m termasuk ruang pawestren (tempat shalat putri) yang
berupa emperan. Kerangka masjid berupa tiang dibuat dari kayu jati
pilihan. Bangunan pintu depan hanya 1 buah dan jendela kecil berjumlah 2
buah. Di depan masjid dibuat dua buah kolam air untuk wudhu dengan luas
7 x 5 m serta kedalaman kolam 2 m. Pada bagian atap, genting terbuat
dari kayu papan (sirap) yang tebalnya setara dengan genting cor.
Pada
tahun 1927, masjid ini dibangun kembali oleh Kraton Kasunanan
Surakarta. Perubahan bangunan yang dilakukan , antara lain : dua buah
kolam air di depan masjid diratakan. Bagian depan masjid dibuat serambi
dengan ukuran 14 x 2, 5 m. Di sebelah tenggara masjid dibuat kolam besar
untuk wudhu dengan ukuran 3 x 2 m serta kedalaman 1 m. Sedangkan pada
bagian atap, genting lama dari sirap diganti dengan genting lei (sejenis eternit) dengan ukuran 40 cm².
Pada tahun 1932, masjid Sultonain kembali diugar. Serambi depan dibuat hak (pagar,
jeruji kayu mirip dengan pagar teralis) dan bedug masjid dibuat dalam
ukuran besar. Pada renovasi tahun 1954, banyak genting lei yang
pecah sehingga diganti dengan genting berjo Godean. Bangunan tempat
wudhu diubah dengan bak/kolam tertutup serta diberi pancuran air
(padasan). Kolam air yang digunakan berukuran 1 x 2 m dengan kedalaman
75 cm. Mimbar model kurung yang khotibnya tidak tampak diganti dengan
mimbar yang lebih praktis dan terbuka.
Pada
tahun 1984 pemugaran Masjid Sulthonain dilakukan oleh masyarakat
sekitar. Serambi masjid dibongkar dan diganti dengan bangunan yang lebih
baik. Bangunan serambi diubah dengan ukuran luas 14,5 x 8 m dengan
pondasi dan tiang cor. Pintu depan masjid yang awalnya 1 buah diganti 3
buah pintu yang ukurannya lebih besar. Sedangkan jendela bagian depan
dibuat model monyetan serta dilengkapi ventilasi udara. Bangunan lantai
yang semula berbentuk plesteran diganti tegel.
Pada
bagian atap, sebagaian genting berjo diganti genting soka Kebumen Pada
renovasi ini, bagian pawestren masjid dibuat bagunan baru berupa
ruang-ruang untuk kesekretariatan, kamar mandi wanita dan pria, kamar
jaga petugas sebanyak 2 buah serta gudang dan dapur. Saat ini Masjid
Sulthonain tetap digunakan sebagai sarana ibadah dan kegiatan keagamaan
warga Nitikan, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar