Kamis, 11 Desember 2014

Suku Tamiang, Aceh


Suku Tamiang merupakan salah satu suku yang terdapat di Aceh. Meski bersuku Melayu dan bagian dari Aceh, tapi mereka memiliki kesamaan bahasa dan dialek dengan Kabupaten Langkat Sumatera Utara, berbeda dengan Aceh. Karena banyaknya suku Tamiang yang tinggal di beberapa Kecamatan di Aceh, maka menjadi Kabupaten Aceh Tamiang pada 10 April 2002 berdasarkan  UU No 4 Tahun 2002. Lalu, pada 2 Juni 2002 kabupaten ini resmi menjadi kabupaten otonomi. Hal ini yang menjadi alasan pemberian nama Aceh Tamiang, sebagian besar masyarakat yang mendiami di wilayah kabupaten yang baru lahir tersebut adalah etnis Tamiang. Jumlah penduduknya hingga saat ini sekitar 125 ribu jiwa.
Secara etimologi, istilah Tamiang berasal dari kata itam dan mieng. Itam maksudnya adalah hitam, sedangkan mieng artinya pipi. Menurut sebuah cerita, nama ini muncul karena ada salah seorang raja yang memiliki tanda hitam di bagian pipinya. Oleh karenanya tanda pipi tersebut menjadi nama etnis bagi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya, yakni rakyat Tamiang. Tapi ada juga cerita lain, bahwa Tamiang merupakan tempat kediaman nenek moyang mereka di sekitar daerah Riau.
Kemunculan suku Tamiang sebenarnya belum bisa dipastikan dengan jelas asal-usulnya. Hal ini karena bukti-bukti otentik,  kuat dan akurat mengenai sejarah Tamiang belum bisa ditemukan. Meski belum ada bukti akurat sejarah suku ini, tapi terdapat beberapa cerita seperti dongeng, legenda maupun cerita rakyat dari suku Tamiang sendiri. Salah satu legenda menceritakan, bahwa suku Tamiang merupakan nama dari gugusan pulau di wilayah Riau. Gugusan tersebut adalah tempat asal dari neneng moyang suku Tamiang.
Ada lagi cerita dari suku Tamiang sendiri, yaitu mereka adalah keturunan Kerajaan Aru yang terletak di pantai bagian timur pulau Sumatera. Lalu kerajaan tersebut mulai berkembang hingga berubah nama menjadi Kerajaan Batu Karang yang diperintah oleh Raja Pucuk Suluh. Setelah Raja Pucuk Suluh meninggal, kekuasaan diserahkan kepada anak cucunya. Saat kolonial Belanda menancapkan kekuasaannya di Indonesia, kerajaan inipun ikut terseret, sehingga kerajaan ini pun terpecah belah menjadi lima kerajaan, yang terdiri dari Sungai Iyu, Bendahara, Sutan Muda, Seruway, Karang Baru dan Kejuruan Muda.
Sampai dengan berakhirnya masa pendudukan Belanda, di wilayah suku bangsa Tamiang masih terdapat pecahan lima kerajaan tersebut. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah telah merubah status kerajaan tersebut. Lalu memberikan status baru sebagai daerah setingkat kecamatan yang kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur.
Beda lagi seperti yang diceritakan dalam buku berjudul “Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Daerah Aceh” terbitan tahun 1994 yang ditulis oleh Adnan Abdullah. Dikisahkan bahwa nama Tamiang berasal dari julukan orang-orang Pasai terhadap daerah taklukannya, yaitu yang terletak di persimpangan Sungai Simpang Kanan dan Simpang Kiri. Tamiang merupakan wilayah yang menjadi tempat kerajaan taklukan Dinasti Pasai. Yang menjadi raja Tamiang pada waktu itu bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M).
Bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Kerajaan Tamiang adalah Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.
Sebutan Tamiang diberikan pada Raja Muda Sedia karena raja tersebut mempunyai tanda atau ciri pada bagian mukanya. Pada pipi Raja Muda Sedia tersebut terdapat warna hitam, sehingga jika diucapkan dalam bahasa Tamiang menjadi Itam Mieng. Istilah Itam Mieng lama-lama berubah menjadi Tamieng, kemudian jadi Tamiang.
Ada lagi pendapat yang mengatakan, bahwa suku Tamiang ini mulanya berasal dari Riau dan Sumatera Timur yang melakukan imigrasi ke wilayah Tamiang. Mereka merupakan suku melayu yang melakukan perantauan ke wilayah tersebut. Mereka memilih tinggal di Aceh bagian timur. Sebagian dari mereka melakukan perkawinan campuran dengan masyarakat yang berdekatan dengan wilayah Tamiang, sehingga menghasilkan budaya baru.
Sebenarnya kebudayaan yang tercipta di suku Tamiang bukanlah hasil ciptaan yang utuh dari suku tersebut. Kebudayan tersebut merupakan perpaduan dengan kebudayaan yang dekat dengan wilayah Tamiang, seperti dengan suku Galo, Aceh dan Melayu Deli. Meskipun kebudayaan suku Tamiang terbentuk dari hasil perpadua, tapi tidak menghapus kebudayan Tamiang yang asli. Malah memperkuat kebudayaan suku Tamiang sendiri. Adapun kesenian yang saat ini dimiliki suku Tamiang ada jenis tarian dan nyanyian, di antaranya Binih, Dendang Sayang, Silat, Ula-ula Lembing, dan Aye Ulak.
Daerah permukiman masyarakat Tamiang tersebar pada enam kecamatan, yaitu Kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Kecamatan Seruway dan Kecamatan Tamiang Hulu. Wilayah tersebut dikelompokkan dalam dua bagian. Pertama, daerah yang terletak di bagian barat dari Kabupaten Aceh Timur, terdiri dari Kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda dan Kecamatan Tamiang Hulu. Kedua, terletak di daerah pantai, pemukiman penduduk berada di antara daerah yang berawa-rawa dan berhutan bakau. Sedangkan daerah pedalaman yang menjadi daerah pemukimannya adalah daerah yang berdekatan dengan hutan alam dan daerah perkebunan besar, seperti karet dan kelapa sawit.
Persamaan di antara kedua daerah pemukiman tersebut adalah pada pola daerahnya yang berbentuk line village dan concentration village. Tetapi jika dilihat dari segi geografisnya, tampak lokasi hunian mereka berada pada struktur tanah yang agak berbukit-bukit di sepanjang aliran sungai dan di sepanjang daerah pesisir yang berawa-rawa. Secara umum, rumah-rumah penduduk nampak menyebar, baik yang terletak di sepanjang aliran sungai maupun pada sepanjang jalan raya. Selain itu, jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya memiliki batas daerah yang luas dan dipisahkan oleh daerah rawa, bukit dan perkebunan. Dilihat dari sistem kekerabatannya, Tamiang menggunakan sistem patrilineal.
Namun setelah menikah, mereka mesti tinggal di lingkungan yang dekat dengan kerabat sang wanita. Dulu ada tiga lapisan sosial pada masyarakat Tamiang. Pertama adalah unghang bangsawan, yaitu golongan untuk para raja dengan keturunan yang ada pada keluarganya. Kedua adalah golongan unghang patoot, yakni golongan orang kaya yang mendapatkan kekuasaan dari raja. Sementara golongan yang ketiga adalah unghang bepake, yaitu masyarakat biasa yang beretinis Tamiang.
Masyarakat Tamiang lebih memilih agama Islam sebagai keperyaannya. Tapi sebagian dari mereka juga ada yang melakukan tradisi lama berdasarkan sistem kepercayaan lama mereka. Agama Islam sudah ada sejak masyarakatnya mendiami wilayah tersebut sekitah abad ke 11 Masehi. Bahkan pada masa Raja Muda Sedia (1330-1352 M) pernah didirikan negara Islam.
Dalam mata pencahariannya, suku Tamiang memilih sebagai petani. Mereka bercocok tanam di sawah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, mereka juga berternak, seperti berternak ayam, bebek dan kambing. Tapi ada juga saat ini mereka beralih ke profesi lainnya, baik di sektor swasta maupun pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa lapangan pekerjaan pada suku Tamiang semakin luas dan berkembang.

0 komentar:

Posting Komentar