Suku
Tamiang merupakan salah satu suku yang terdapat di Aceh. Meski bersuku
Melayu dan bagian dari Aceh, tapi mereka memiliki kesamaan bahasa dan
dialek dengan Kabupaten Langkat Sumatera Utara, berbeda dengan Aceh.
Karena banyaknya suku Tamiang yang tinggal di beberapa Kecamatan di
Aceh, maka menjadi Kabupaten Aceh Tamiang pada 10 April 2002 berdasarkan
UU No 4 Tahun 2002. Lalu, pada 2 Juni 2002 kabupaten ini resmi menjadi
kabupaten otonomi. Hal ini yang menjadi alasan pemberian nama Aceh
Tamiang, sebagian besar masyarakat yang mendiami di wilayah kabupaten
yang baru lahir tersebut adalah etnis Tamiang. Jumlah penduduknya hingga
saat ini sekitar 125 ribu jiwa.
Secara
etimologi, istilah Tamiang berasal dari kata itam dan mieng. Itam
maksudnya adalah hitam, sedangkan mieng artinya pipi. Menurut sebuah
cerita, nama ini muncul karena ada salah seorang raja yang memiliki
tanda hitam di bagian pipinya. Oleh karenanya tanda pipi tersebut
menjadi nama etnis bagi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya, yakni
rakyat Tamiang. Tapi ada juga cerita lain, bahwa Tamiang merupakan
tempat kediaman nenek moyang mereka di sekitar daerah Riau.
Kemunculan
suku Tamiang sebenarnya belum bisa dipastikan dengan jelas
asal-usulnya. Hal ini karena bukti-bukti otentik, kuat dan akurat
mengenai sejarah Tamiang belum bisa ditemukan. Meski belum ada bukti
akurat sejarah suku ini, tapi terdapat beberapa cerita seperti dongeng,
legenda maupun cerita rakyat dari suku Tamiang sendiri. Salah satu
legenda menceritakan, bahwa suku Tamiang merupakan nama dari gugusan
pulau di wilayah Riau. Gugusan tersebut adalah tempat asal dari neneng
moyang suku Tamiang.
Ada
lagi cerita dari suku Tamiang sendiri, yaitu mereka adalah keturunan
Kerajaan Aru yang terletak di pantai bagian timur pulau Sumatera. Lalu
kerajaan tersebut mulai berkembang hingga berubah nama menjadi Kerajaan
Batu Karang yang diperintah oleh Raja Pucuk Suluh. Setelah Raja Pucuk
Suluh meninggal, kekuasaan diserahkan kepada anak cucunya. Saat kolonial
Belanda menancapkan kekuasaannya di Indonesia, kerajaan inipun ikut
terseret, sehingga kerajaan ini pun terpecah belah menjadi lima
kerajaan, yang terdiri dari Sungai Iyu, Bendahara, Sutan Muda, Seruway,
Karang Baru dan Kejuruan Muda.
Sampai
dengan berakhirnya masa pendudukan Belanda, di wilayah suku bangsa
Tamiang masih terdapat pecahan lima kerajaan tersebut. Setelah Indonesia
merdeka, pemerintah telah merubah status kerajaan tersebut. Lalu
memberikan status baru sebagai daerah setingkat kecamatan yang kemudian
dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur.
Beda
lagi seperti yang diceritakan dalam buku berjudul “Kebudayaan Suku-Suku
Bangsa di Daerah Aceh” terbitan tahun 1994 yang ditulis oleh Adnan
Abdullah. Dikisahkan bahwa nama Tamiang berasal dari julukan orang-orang
Pasai terhadap daerah taklukannya, yaitu yang terletak di persimpangan
Sungai Simpang Kanan dan Simpang Kiri. Tamiang merupakan wilayah yang
menjadi tempat kerajaan taklukan Dinasti Pasai. Yang menjadi raja
Tamiang pada waktu itu bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M).
Bukti-bukti
sejarah yang menunjukkan keberadaan Kerajaan Tamiang adalah Prasasti
Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat negeri Kan Pei Chiang
(Tamiang), dan buku Nagarakretagama menyebut "Tumihang", serta
benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.
Sebutan
Tamiang diberikan pada Raja Muda Sedia karena raja tersebut mempunyai
tanda atau ciri pada bagian mukanya. Pada pipi Raja Muda Sedia tersebut
terdapat warna hitam, sehingga jika diucapkan dalam bahasa Tamiang
menjadi Itam Mieng. Istilah Itam Mieng lama-lama berubah menjadi
Tamieng, kemudian jadi Tamiang.
Ada
lagi pendapat yang mengatakan, bahwa suku Tamiang ini mulanya berasal
dari Riau dan Sumatera Timur yang melakukan imigrasi ke wilayah Tamiang.
Mereka merupakan suku melayu yang melakukan perantauan ke wilayah
tersebut. Mereka memilih tinggal di Aceh bagian timur. Sebagian dari
mereka melakukan perkawinan campuran dengan masyarakat yang berdekatan
dengan wilayah Tamiang, sehingga menghasilkan budaya baru.
Sebenarnya
kebudayaan yang tercipta di suku Tamiang bukanlah hasil ciptaan yang
utuh dari suku tersebut. Kebudayan tersebut merupakan perpaduan dengan
kebudayaan yang dekat dengan wilayah Tamiang, seperti dengan suku Galo,
Aceh dan Melayu Deli. Meskipun kebudayaan suku Tamiang terbentuk dari
hasil perpadua, tapi tidak menghapus kebudayan Tamiang yang asli. Malah
memperkuat kebudayaan suku Tamiang sendiri. Adapun kesenian yang saat
ini dimiliki suku Tamiang ada jenis tarian dan nyanyian, di antaranya
Binih, Dendang Sayang, Silat, Ula-ula Lembing, dan Aye Ulak.
Daerah
permukiman masyarakat Tamiang tersebar pada enam kecamatan, yaitu
Kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Kota Kuala
Simpang, Kecamatan Seruway dan Kecamatan Tamiang Hulu. Wilayah tersebut
dikelompokkan dalam dua bagian. Pertama, daerah yang terletak di bagian
barat dari Kabupaten Aceh Timur, terdiri dari Kecamatan Karang Baru,
Kecamatan Kejuruan Muda dan Kecamatan Tamiang Hulu. Kedua, terletak di
daerah pantai, pemukiman penduduk berada di antara daerah yang
berawa-rawa dan berhutan bakau. Sedangkan daerah pedalaman yang menjadi
daerah pemukimannya adalah daerah yang berdekatan dengan hutan alam dan
daerah perkebunan besar, seperti karet dan kelapa sawit.
Persamaan di antara kedua daerah pemukiman tersebut adalah pada pola daerahnya yang berbentuk line village dan concentration village.
Tetapi jika dilihat dari segi geografisnya, tampak lokasi hunian mereka
berada pada struktur tanah yang agak berbukit-bukit di sepanjang aliran
sungai dan di sepanjang daerah pesisir yang berawa-rawa. Secara umum,
rumah-rumah penduduk nampak menyebar, baik yang terletak di sepanjang
aliran sungai maupun pada sepanjang jalan raya. Selain itu, jarak antar
satu rumah dengan rumah lainnya memiliki batas daerah yang luas dan
dipisahkan oleh daerah rawa, bukit dan perkebunan. Dilihat dari sistem
kekerabatannya, Tamiang menggunakan sistem patrilineal.
Namun
setelah menikah, mereka mesti tinggal di lingkungan yang dekat dengan
kerabat sang wanita. Dulu ada tiga lapisan sosial pada masyarakat
Tamiang. Pertama adalah unghang bangsawan, yaitu golongan untuk para
raja dengan keturunan yang ada pada keluarganya. Kedua adalah golongan
unghang patoot, yakni golongan orang kaya yang mendapatkan kekuasaan
dari raja. Sementara golongan yang ketiga adalah unghang bepake, yaitu
masyarakat biasa yang beretinis Tamiang.
Masyarakat
Tamiang lebih memilih agama Islam sebagai keperyaannya. Tapi sebagian
dari mereka juga ada yang melakukan tradisi lama berdasarkan sistem
kepercayaan lama mereka. Agama Islam sudah ada sejak masyarakatnya
mendiami wilayah tersebut sekitah abad ke 11 Masehi. Bahkan pada masa
Raja Muda Sedia (1330-1352 M) pernah didirikan negara Islam.
Dalam
mata pencahariannya, suku Tamiang memilih sebagai petani. Mereka
bercocok tanam di sawah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu,
mereka juga berternak, seperti berternak ayam, bebek dan kambing. Tapi
ada juga saat ini mereka beralih ke profesi lainnya, baik di sektor
swasta maupun pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa lapangan pekerjaan
pada suku Tamiang semakin luas dan berkembang.
0 komentar:
Posting Komentar