Sistem
perladangan yang diterapkan oleh orang Kubu adalah berpindah-pindah.
Ada 3 faktor yang menyebabkan mereka melakukan perpindahan, yaitu:
pergantian musim, semakin langkanya binatang buruan dan hasil sumber
hutan lainnya, dan semakin tidak suburnya tanah garapan. Selain itu,
kematian juga merupakan faktor yang pada gilirannya membuat mereka
berpindah tempat. Hal ini yang erat dengan kepercayaan bahwa kematian
adalah sesuatu yang dapat menimbulkan kesialan bagi kelompoknya. Untuk
menghindari hal itu, maka mereka melakukan perpindahan. Dan, perpindahan
yang disebabkan oleh adanya kematian disebut melangun.
Berladang
adalah suatu proses. Sebagai suatu proses maka mesti dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan. Ada empat tahap yang mereka lalui dalam
penggarapan sebuah ladang. Tahap yang pertama adalah pembukaan ladang.
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi penebasan pepohonan
kecil, semak belukar, dan mengumpulkan tebasan ke tengah areal yang akan
dijadikan sebagai ladang. Kemudian, membiarkannya selama kurang lebih
dua minggu (14 hari) agar tebasan menjadi kering. Oleh karena itu, tahap
yang pertama ini sering disebut sebagai menebas.
Tahap
yang kedua adalah penebangan pepohonan. Peralatan yang digunakan hanya
berupa parang dan beliung. Jika pohon yang akan ditebang relatif besar,
maka penebangan dilakukan pada bagian atas pohon dengan yang
lingkarannya relatif lebih kecil ketimbang bagian bawah pohon. Caranya
adalah dengan mendirikan semacam panggung, sehingga mudah melakukannya.
Jika pohonnya sedang-sedang saja, maka penebangannya cukup berdiri di
atas tanah.
Penebangan
berbagai pohon, baik besar maupun sedang, tidak sampai pada pangkalnya,
karena disamping tentunya pangkal batangnya lebih besar, tetapi yang
lebih penting menurut kepercayaan mereka hal itu tidak boleh dilakukan
(dilarang nenek moyang). Makna simbolik yang ada dibalik larangan itu
adalah kelestarian. Artinya, apa saja yang ada di hutan tidak boleh
dihabiskan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tonggak-tonggak
batang pohon mewarnai ladang mereka. Pohon-pohon yang telah tumbang pada
saatnya akan dibakar bersama semak belukar. Pembakaran tersebut
bertujuan disamping agar tidak mengganggu tahap berikutnya, tetapi yang
lebih penting adalah abunya dapat lebih menyuburkan laha.
Tahap
yang ketiga adalah penanaman bibit. Sistem yang digunakan adalah tugal,
dengan cara dua atau tiga orang laki-laki memegang sebatang kayu kecil
yang kira-kira panjangnya 1,5 meter yang salah satu ujungnya runcing.
Dengan tongkat itu mereka bergerak ke depan, membuat lubang-lubang yang
dangkal. Sementara, dengan jumlah yang sama, perempuan mengikutinya
sambil menebarkan bibit. Setiap lubang kurang lebih berisi 4—5 butir
bibit. Sedangkan, anak-anak bertugas menutup lubang-lubang yang telah
terisi oleh bibit. Jika segala sesuatunya lancar (setelah penanaman ada
hujan), maka maka bibit tersebut akan tumbuh dalam waktu 4 atau 5 hari,
sehingga 6 minggu kemudian, mereka dapat melakukan penyiangan
(membersihkan rerumputan yang mengganggunya). Penyiangan dilakukan lagi
pada bulan kedua. Dan, pondok ladang pun didirikan untuk menjaga tanaman
dari berbagai serangan binatang liar atau burung.
Tahap
keempat (terakhir) adalah menuai. Tahap ini dilakukan setelah padi
menguning (kurang lebih setelah berumur 5 bulan). Caranya, padi yang
telah menguning itu dipotong gagangnya dengan alat yang disebut tuai
(ani-ani). Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Sebelum
disimpan dalam lubung, padi tersebut dikeringkan (dijemur) agar bisa
tahan lama.
0 komentar:
Posting Komentar