Suku Wolio
adalah suatu suku yang tersebar di kepulauan Buton, Muna dan Kabaena di
provinsi Sulawesi Tenggara. Juga terdapat di pulau-pulau kecil di
provinsi Selatan. Populasi suku Wolio diperkirakan lebih dari 30.000
orang. Suku Wolio berbicara dengan bahasa Wolio. Bahasa Wolio merupakan
sub-bahasa Buton-Muna, yang termasuk cabang bahasa Austronesia.
Menurut
para peneliti bahwa suku Wolio ini merupakan bagian dari sub-suku
Buton. Dikatakan bahwa dahulunya orang Wolio juga merupakan keturunan
dari Kerajaan Buton yang sejak abad 15 menguasai wilayah Buton. Hingga
saat ini bahasa Wolio masih dipakai oleh masyarakat khususnya yang ada
di Kota Bau-Bau, namum bahasa Wolio ini tetap dikenal oleh masyarakat
dari berbagai penjuru daerah bekas pemerintahan kerajaan atau kesultanan
Buton.
Bahasa
Wolio juga menjadi bahasa komunikasi utama di lingkungan Kesultanan
Buton. Pilihan penggunaan bahasa Wolio sebagai bahasa utama karena
bahasa ini dipakai oleh masyarakat yang mendiami pusat Kesultanan Buton.
Masyarakat yang berada dalam wilayah Kesultanan Buton terdiri atas
beberapa subetnis sehingga dibutuhkan bahasa pemersatu. Lalu bahasa
Buton dipilih sebagai bahasa pemersatu berbagai etnik tersebut, dan
bahasa resmi kesultanan.
Perkawinan
dalam kebudayaan Buton bersifat monogami. Setelah menikah, pasangan
tinggal di rumah keluarga mempelai perempuan sampai sang suami mampu
memiliki rumah sendiri. Rumah tempat tinggal suku Wolio didirikan di
atas sebidang tanah dengan menggunakan papan yang kuat, dengan sedikit
jendela dan langit-langit yang terbuat dari papan yang kecil dan
ditutupi daun kelapa kering.
Masyarakat
suku Wolio pada umumnya beragama Islam. Agama Islam yang berkembang di
wilayah ini adalah dari golongan Sufi. Namun beberapa dari mereka masih
mempercayai hal-hal gaib dan percaya terhadap roh-roh di sekeliling
mereka. Mereka juga mempercayai roh para leluhur mereka yang dapat
menolong dan menimbulkan penyakit tergantung dari sikap dan perilaku
mereka.
Salah
satu tradisi suku Wolio yang populer di kalangan suku Wolio adalah
upacara Pekandake-Kandea, dalam bahasa Wolio berarti makan-makan.
Tradisi ini memiliki banyak makna, tidak sekadar sebagai bentuk nyata
rasa syukur kepada Tuhan setelah menjalankan ibadah puasa selama satu
bulan atau puasa syawal. Tradisi ini juga merupakan media yang digunakan
muda-mudi Buton untuk mencari jodoh. Dahulu tradisi ini merupakan pesta
menyambut pahlawan yang kembali membawa kemenangan setelah berperang.
Orang
Wolio pada umumnya telah mengenal teknik pertanian. Mereka bertahan
hidup pada bidang pertanian. Tanaman padi juga menjadi tanaman utama
mereka. Suku Wolio juga menanam jagung, ubi kayu, ubi jalar,
sayur-sayuran dan berbagai jenis buah-buahan. Selain itu sebagian dari
mereka hidup sebagai nelayan penangkap ikan, seperti ikan tuna dan ikan
ekor kuning dan juga sebagai pembuat perahu dan kapal.
Perkampungan
pemukiman mereka banyak terdapat penjual hasil tenunan dari sutera,
katun dan sejenisnya. Selain itu juga memiliki toko-toko kecil dan
penjaja keliling, di mana hal ini terlihat dari gerobak-gerobak yang
mereka buat untuk berjualan.
Saat
ini, banyak orang-orang Wolio asli yang tinggal di Indonesia bagian
timur (Maluku dan Irian Jaya). Dalam masyarakat Wolio, laki-laki yang
mencari nafkah, sedangkan wanita menyiapkan makan, melakukan pekerjaan
rumah tangga, membuat barang-barang dari tanah liat, menenun dan
menyimpan uang yang telah dikumpulkan oleh kaum laki-laki.
Sejak
dulu, orang Wolio juga sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang
baik terhadap anak laki-laki dan perempuan membuat mereka memiliki
kesusasteraan yang maju. Tidak ketinggalan pula dalam hal mempelajari
bahasa asing. Karena itu, saat ini mulai terlihat hasil-hasil kemajuan
di bidang sosial.
0 komentar:
Posting Komentar