Upacara Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara yang ditujukan kepada roh leluhur yang telah menjelma menjadi deata. Upacara ini dipimpin oleh seorang tomina.
Status sosial seseorang sangat menentukan dalam penyelenggaraan
upacara. Warga dari lapisan bangsawan biasanya memerlukan waktu yang
cukup lama dengan prosesi upacara yang lebih rumit dan hewan kurban yang
lebih banyak dibanding warga biasa yang cenderung sederhana.
Warga dari lapisan kaunan termasuk di dalamnya hamba sahaya atau budak, melaksanakan upacara disili apabila ada kematian. Upacara disili
mengharuskan jenazah untuk langsung dimakamkan pada hari meninggalnya
dan tidak boleh diinapkan. Hewan kurban yang akan disembelih yaitu
seekor babi.
Warga dari lapisan masyarakat tomakala (orang kebanyakan) melaksanakan upacara ‘dipesangbongi’
pada saat kematian, jenazah akan disimpan semalam lalu dimakamkan
keesokan harinya. Hewan yang dikorbankan adalah seekor kerbau dan
beberapa ekor babi.
Lapisan masyarakat ma’dika atau bangsawan menengah, melaksanakan upacara didoya. Upacara berlangsung selama 3-7 malam. Biasanya akan didirikan melantang,
yaitu bangunan untuk menampung para anggota keluarga dan tamu yang
datang untuk berbela sungkawa. Hewan yang dikorbankan adalah kerbau yang
jumlahnya berkisar antara 4-14 ekor dan sejumlah babi.
Pada
lapisan masyarakat bangsawan, perlengkapan dan biaya yang diperlukan
lebih besar sehingga harus diputuskan melalui musyawarah keluarga.
Musyawarah biasanya membicarakan hal yang berkaitan dengan tempat
upacara, pemondokan, tahap upacara dan jumlah hewan korban.
Prosesi upacara dimulai dengan memandikan jenazah, memberi balsam, kemudian dibalut kain kafan, dimasukkan ke dalam erong (peti), dipindahkan ke alang
(rumah kecil untuk menyimpan padi). Peti akan dihias dengan kain sutra
merah dengan pernak-pernik emas. Benda-benda pusaka miliki almarhum juga
akan diletakkan di dalamnya. Disisi alang tempat peti jenazah akan
diletakkan tau-tau (patung diri almarhum), kemudian keluarga akan melakukan ma’bodong atau nyanyian pujian dalam bahasa Tana Toraja di sekitar jenazah.
Riwayat hidup almarhum biasanya akan dibacakan melalui syair yang disebut ma’badong. Pembacaan riwayat dimulai dari garis keturunan, jalan hidup, jiwa yang berangkat ke Puya (negeri jiwa orang-orang mati) sampai akhirnya jiwa tersebut naik ke langit dan menyatu dengan arwah leluhur.
Malantang atau pondok di tempat upacara yang dapat memuat kapasitas hingga seratus orang. Malantang
tersebut akan dihias dengan ornamen khas daerah Tana Toraja. Hewan
korban disiapkan berupa beberapa kerbau hitam dan satu kerbau belang.
Jenazah dalam alang akan diusung oleh beberapa puluh orang. Peti mayat
akan digoyangkan dengan gerakan kasar kemudian dinaikkan ke pondokan
keluarga bersama tau-tau. Ma’bodong akan dinyanyikan dengan suara lirih.
Upacara
ini akan terus berlangsung selama beberapa hari berturut-turut dan pada
hari ke-8 akan dilakukan pemotongan kerbau besar-besaran di simbuang atau disebut juga ronte (tanah lapang). Daging kerbau yang telah dipotong akan dibagikan kepada warga desa, pemuka adat dan aparat.
Puncak upacara yaitu prosesi medama peliang
atau mengantar jenazah ke liang kubur. Prosesi ini didahului dengan
upacara keagamaan Kristen Protestan dan keluarga yang ditinggalkan akan
menangis meraung-raung sambil memeluk peti jenazah. Erong kemudian dilepaskan dari alang dan ditempatkan di goa penguburan bersama tau-tau. Tiga hari setelah pemakanan akan ada penyembelihan seekor kerbau dan seekor babi.
0 komentar:
Posting Komentar