BERTANI DI UMO TALANG SUKU BATIN, JAMBI
Bertani dalam bentuk berocok tanam di ladang dan sawah telah menjadi unsur kehidupan yang amat penting dalam corak kehidupan masyarakat. Suku Batin yang ada di Jambi cukup bergantung hidupnya dari hasil pertanian dalam mempertahankan kehidupan. Mereka bercocok tanam di ladang yang disebut dengan umo talang. Hasil pertanian dari ladang tersebut berupa padi, palawija, karet, duren, dan kopi. Suku Batin membuat umo talang di dalam hutan besar yang letaknya jauh dari pedesaan, serta tidak terletak di pinggiran sungai.
Lokasi yang dipilih merupakan hutan rimba yang belum pernah diolah manusia. Tanah yang mereka pilih juga tidak sembarangan, yaitu tanah yang cukup subur. Karena belum pernah dipergunakan atau diolah, tanah yang dipilih pun cukup gembur. Kualitas dan keadaan tanah yang dikehendaki pun tentunya tanah yang subur dan datar.
Sebagai sarana perhubungan menuju ladang, suku Batin membuat jalan setapak, yakni jalan rintisan yang dibuat secara darurat. Suku Batin sering mendirikan pondok yang cukup kuat di umo talang sebagai tempat perlindungan keluarga batih petani. Hal ini dilakukan untuk menunggu ladang sampai masa panen tiba. Predikat kebun ditentukan oleh jenis tanaman utama yang hidup di atas sebidang tanah.
Dalam menentukan tanah di hutan yang akan dijadikan umo talang, masyarakat Batin membuat batas-batas tanah. Pada dasarnya, masayarakat memilih tanah yang diinginkan untuk dipergunakan sebagai tempat berladang. Kebebasan tersebut timbul bila areal yang dituju belum menjadi pilihan orang lain, atau belum ditandai oleh orang lain yang berminat pada tanah di hutan untuk dijadikan umo talang. Areal yang dipilih biasanya diberi tanda silang pada beberapa pohon kayu, atau menebang batang kayu, lalu dipancangkan secara berderet-deret.
Setelah tanah tersebut dipilih, mereka pun mulai menggarapnya. Terlebih dahulu mereka membersihkan semak belukar di bawah pohon-pohon besar. Peralatan yang digunakan untuk membesihkannya biasanya berupa parang pembabat beserta sepotong kayu pengait. Sebulan kemudian mereka menebang pohon-pohon menggunakan kampak besar. Untuk menebang pohon tersebut, petani suku Batin sering menggunakan sejenis tangga agar bisa mencapai bagian-bagian pohon yang tinggi.
Dalam jangka waktu dua bulan setelah semak belukar, dedaunan, ranting, batang, dan pohon telah mengering tergeletak di atas tanah, maka mereka membakarnya. Membakar sebuah ladang bukanlah satu pekerjaan yang dapat dilakukan secara tumpang. Di satu sisi harus berusaha agar seluruh areal ladang dapat terbakar habis oleh api. Tetapi di sisi lain harus dapat menguasai api agar tidak menjalar ke ladang tetangga atau ke hutan lainnya.
Pembakaran tersebut dilakukan pada tengah hari, dimana hari sedang panas terik dan hembusan angin yang sedang. Mereka membakar ladang dengan menggunakan suluh dari bambu mati, dimana pembakaran dilakukan searah dengan hembusan angin. Hembusan angin akan membuat api yang berasal dari suluh tadi membesar dan menyala dengan dahsyat melalap semua dedaunan kering, ranting dan sebagainya. Walhasil, terhamparlah tanah bersih yang siap ditanami oleh petani dari suku Batin.
Suku Batin tidak menggunakan bajak atau cangkul dalam mengolah tanah ladang. Tetapi tanah yang sudah dibersihkan atau dibakar tadi ditanami bibit padi atau biji-bijian dengan memakai tugal, yaitu sepotong kayu yang runcing. Usai menanam mereka pun menunggu masa panen tiba, hingga mereka memanen tanaman tadi. Saat memanen tersebut, mereka tinggal di ladang dengan mendirikan pondok. Setelah panen selesai, mereka kembali pulang ke desa menempati rumahnya.
Menanam padi biasanya dilakukan masyarakat Batin sampai dua atau tiga kali pada ladang yang sama. Setiap rangkaian kegiatan menuju sampai panen selalu dimulai dengan membesihkan ladang di hutan lagi. Hal ini karena ladang yang dibiarkan dalam waktu beberapa bulan sudah menjadi semak kembali. Hanya saja tidak perlu menebang pohon kayu besar, cukup membabat rumput dan pohon kecil.
Bertani dalam bentuk berocok tanam di ladang dan sawah telah menjadi unsur kehidupan yang amat penting dalam corak kehidupan masyarakat. Suku Batin yang ada di Jambi cukup bergantung hidupnya dari hasil pertanian dalam mempertahankan kehidupan. Mereka bercocok tanam di ladang yang disebut dengan umo talang. Hasil pertanian dari ladang tersebut berupa padi, palawija, karet, duren, dan kopi. Suku Batin membuat umo talang di dalam hutan besar yang letaknya jauh dari pedesaan, serta tidak terletak di pinggiran sungai.
Lokasi yang dipilih merupakan hutan rimba yang belum pernah diolah manusia. Tanah yang mereka pilih juga tidak sembarangan, yaitu tanah yang cukup subur. Karena belum pernah dipergunakan atau diolah, tanah yang dipilih pun cukup gembur. Kualitas dan keadaan tanah yang dikehendaki pun tentunya tanah yang subur dan datar.
Sebagai sarana perhubungan menuju ladang, suku Batin membuat jalan setapak, yakni jalan rintisan yang dibuat secara darurat. Suku Batin sering mendirikan pondok yang cukup kuat di umo talang sebagai tempat perlindungan keluarga batih petani. Hal ini dilakukan untuk menunggu ladang sampai masa panen tiba. Predikat kebun ditentukan oleh jenis tanaman utama yang hidup di atas sebidang tanah.
Dalam menentukan tanah di hutan yang akan dijadikan umo talang, masyarakat Batin membuat batas-batas tanah. Pada dasarnya, masayarakat memilih tanah yang diinginkan untuk dipergunakan sebagai tempat berladang. Kebebasan tersebut timbul bila areal yang dituju belum menjadi pilihan orang lain, atau belum ditandai oleh orang lain yang berminat pada tanah di hutan untuk dijadikan umo talang. Areal yang dipilih biasanya diberi tanda silang pada beberapa pohon kayu, atau menebang batang kayu, lalu dipancangkan secara berderet-deret.
Setelah tanah tersebut dipilih, mereka pun mulai menggarapnya. Terlebih dahulu mereka membersihkan semak belukar di bawah pohon-pohon besar. Peralatan yang digunakan untuk membesihkannya biasanya berupa parang pembabat beserta sepotong kayu pengait. Sebulan kemudian mereka menebang pohon-pohon menggunakan kampak besar. Untuk menebang pohon tersebut, petani suku Batin sering menggunakan sejenis tangga agar bisa mencapai bagian-bagian pohon yang tinggi.
Dalam jangka waktu dua bulan setelah semak belukar, dedaunan, ranting, batang, dan pohon telah mengering tergeletak di atas tanah, maka mereka membakarnya. Membakar sebuah ladang bukanlah satu pekerjaan yang dapat dilakukan secara tumpang. Di satu sisi harus berusaha agar seluruh areal ladang dapat terbakar habis oleh api. Tetapi di sisi lain harus dapat menguasai api agar tidak menjalar ke ladang tetangga atau ke hutan lainnya.
Pembakaran tersebut dilakukan pada tengah hari, dimana hari sedang panas terik dan hembusan angin yang sedang. Mereka membakar ladang dengan menggunakan suluh dari bambu mati, dimana pembakaran dilakukan searah dengan hembusan angin. Hembusan angin akan membuat api yang berasal dari suluh tadi membesar dan menyala dengan dahsyat melalap semua dedaunan kering, ranting dan sebagainya. Walhasil, terhamparlah tanah bersih yang siap ditanami oleh petani dari suku Batin.
Suku Batin tidak menggunakan bajak atau cangkul dalam mengolah tanah ladang. Tetapi tanah yang sudah dibersihkan atau dibakar tadi ditanami bibit padi atau biji-bijian dengan memakai tugal, yaitu sepotong kayu yang runcing. Usai menanam mereka pun menunggu masa panen tiba, hingga mereka memanen tanaman tadi. Saat memanen tersebut, mereka tinggal di ladang dengan mendirikan pondok. Setelah panen selesai, mereka kembali pulang ke desa menempati rumahnya.
Menanam padi biasanya dilakukan masyarakat Batin sampai dua atau tiga kali pada ladang yang sama. Setiap rangkaian kegiatan menuju sampai panen selalu dimulai dengan membesihkan ladang di hutan lagi. Hal ini karena ladang yang dibiarkan dalam waktu beberapa bulan sudah menjadi semak kembali. Hanya saja tidak perlu menebang pohon kayu besar, cukup membabat rumput dan pohon kecil.
0 komentar:
Posting Komentar