Cimahi, Kota Garnisun
Asal muasal penamaan kota Cimahi belum diketahui secara pasti. Cimahi berasal dari kata cai yang berarti air, dan kata mahi yang
berarti cukup. Dengan demikian cimahi berarti air yang cukup. Pemakaian
kata cimahi menjadi nama kota kemungkinan diambil dari nama sebuah
sungai yang mengalir di daerah tersebut, yang airnya mencukupi untuk
sumber kehidupan masyarakat setempat.
Babad
Batulayang menyebutkan bahwa pada abad ke-16, Tanah Ukur terdiri atas
sembilan umbul, dimana Cimahi termasuk dalam umbul Kahuripan yang
beribukota di Pangheotan (Cikalong sekarang). Dalam catatan perjalanan
Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck yang melakukan perjalanan ke
berbagai daerah di Priangan dari tahun 1703 – 1709, nama Cimahi
disebutkan di dalamnya. Kemungkinan catatan tersebut merupakan sumber
kolonial tertua yang menyebut nama Cimahi.
Kedatangan
bangsa-bangsa barat ke Indonesia yang semula bertujuan untuk urusan
ekonomi, lambat laun membawa pengaruh dalam hal kebudayaan. Spanyol,
Portugis, Belanda, dan Inggris yang pada awalnya datang ke Nusantara
berinteraksi dengan penduduk setempat untuk mencari sumber
rempah-rempah, berubah ingin memonopoli sumber rempah-rempah tersebut.
Bangsa-bangsa asing tersebut mulai membangun tipologi bangunan yang
berbeda dengan bangunan penduduk setempat. Dari sebuah bangunan
pertahanan berupa benteng berkembang menjadi sebuah kota yang lengkap.
Dalam
perjalanannya, sebuah kota selalu menyimpan banyak cerita, sejak ia
digagas dan kemudian dibangun. Kota bersifat dinamis, sepanjang
penduduknya beraktivitas di dalamnya. Kota sebenarnya merupakan salah
satu bentuk warisan budaya dan juga sumberdaya arkeologi. Namun, perlu
dipahami, kota bukan ciptaan satu generasi, tetapi terus tumbuh dari
satu generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian, karya suatu
generasi patut mendapat tempat sebagai bagian dari perkembangan suatu
kota. Persinggungan antara budaya lokal dengan budaya asing selama
berabad-abad telah membawa pengaruh pada kota-kota di Indonesia. Hal
tersebut terjadi pula di Kota Cimahi, yang pada akhirnya kota ini
berkembang menjadi wahana ekspresi budaya kota yang berciri campuran,
unik dan penuh warna.
Kota Cimahi merupakan salah satu wilayah yang dilewati oleh Jalan Raya Pos (de Groote Postweg)
yang dirancang oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang
memerintah dari tahun 1808 – 1811. Pada masa itu, Cimahi merupakan
bagian dari kewedanan Cilokotot. Jalan Raya Pos sejauh 1000 km dari
Anyer ke Panarukan dibangun selain untuk keperluan jalan bagi Kereta
Pos, juga digunakan untuk mobilitas pasukan Pemerintah Belanda untuk
mempertahankan Pulau Jawa. Pada saat itu, Daendels mengkonsentrasikan
pasukannya di kota-kota besar pantai utara, yakni Batavia, Semarang dan
Surabaya. Dengan dibuatnya jalan tersebut, diharapkan mobilitas pasukan
di ketiga kota tersebut dapat dilakukan dengan cepat. Namun demikian,
Batavia dapat ditaklukkan tentara Inggris dengan mudah ketika Armada
Pasukan Inggris yang dipimpin oleh Lord Minto menyerang pada tanggal 4
Agustus 1811.
Kekalahan
tersebut menjadi pelajaran yang berharga bagi Belanda. Beberapa puluh
tahun kemudian, Belanda merencanakan suatu pangkalan militer di daerah
pedalaman yang letaknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan di
Batavia. Akhirnya dipilihlah Cimahi sebagai pusat komando militer.
Posisi Cimahi dipilih karena letaknya yang cukup strategis, yang
berdekatan dengan simpang tiga jalur kereta api dan jalan raya pos. Pada
tanggal 17 Mei 1884, Staats Spoorwegen (Perusahaan Kereta Api Negara) meresmikan jalur kereta api dari Batavia menuju Bandung, yang melewati Bogor dan Cimahi.
Kemudian
pada tanggal 29 Desember 1900, telah dibuka jalur rel Bandung – Batavia
melewati Purwakarta dan Cikampek, yang juga melalui Cimahi. Dengan
dibukanya jalur baru tersebut, maka mobilitas pasukan dari Cimahi ke
Batavia pada masa itu dapat ditempuh kurang dari 3 jam. Jauh lebih cepat
jika dibandingkan dengan menggunakan Jalan Raya Pos dengan kereta kuda
yang membutuhkan waktu sekitar tiga hari. Selain itu, dengan adanya
jalur kereta api Cimahi – Cilacap yang dibuat pada tahun 1894, maka
bantuan pasukan dan logistik dari pelabuhan Cilacap dapat dilakukan.
Untuk mempersiapkan Cimahi sebagai pusat pertahanan Hindia Belanda, pada tahun 1887 didirikan Militare Hospital (sekarang Rumah Sakit Dustira), serta het Militaire Huis van Arrest (rumah
tahanan militer) yang saat ini dikenal dengan nama “Penjara Poncol”,
yang dibangun pada tahun 1886. Pelaksanaan pembangunan pangkalan militer
di Cimahi dipimpin oleh Genie Officier Kapitein Fisher yang dibantu
oleh Luitenant V. L. Slors. Penempatan pasukan militer Hindia Belanda
secara terkonsentrasi di Cimahi dilakukan secara bertahap. Pada tahun
1885 terdapat tiga batalyon pasukan militer yang bermarkas di Cimahi,
yakni infanteri, genie (zeni), dan artileri. Adapun pasukan artileri
tersebut terbagi menjadi tiga, yakni artileri gunung (bergartelerie), artileri lapangan (veldartelerie), dan artileri serangan udara.
Pangkalan
militer ini dilengkapi dengan berbagai sarana penunjang, seperti
kompleks perumahan perwira (yang pada saat ini terletak di Jalan Gedung
Empat dan Jalan Sriwijaya), markas militer, pusat pendidikan militer,
barak dan tangsi (kampement), serta sociteit perwira.
Pada bulan September 1896, Cimahi diresmikan sebagai Garnisun Militer
yang merupakan pusat komando pengendalian pasukan dan mobilisasi pasukan
tempur, dengan komandan Majoor Infanteri C. A. van Loenen dengan ajudan
Luitenant J. A. Kohler. Untuk mendukung kesatuan artileri di Cimahi,
pabrik mesiu di Ngawi dan Artillerie Constructie Winkel di Surabaya dipindahkan ke Kiaracondong pada tahun 1898, dimana lokasi pabrik tersebut juga dilalui jalur kereta api.
Dengan
dijadikannya Cimahi sebagai pangkalan militer, maka terjadilah
penempatan tentara dalam jumlah besar, baik tentara Belanda (Koninklijk Leger/KL) serta tentara Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands Indische Leger/KNIL)
yang berasal dari Pulau Jawa, Pulau Flores, Pulau Timor, Kota Ambon,
dan Kota Manado. Meskipun pasukan tentara Hindia Belanda merupakan
pribumi, namun opsir dan perwiranya berkebangsaan Belanda.
Sebagai
pusat komando militer, Cimahi mendapat persenjataan yang cukup lengkap,
terdapat berbagai badan logistik militer, serta diperkuat oleh pasukan
kavaleri. Sebagai pusat pendidikan militer, Cimahi dijadikan ajang
latihan tempur baik bagi tentara-tentara baru maupun pasukan yang akan
berangkat bertempur. Pada saat pecah Perang Aceh ( 1873 – 1907), pasukan
yang akan diberangkatkan menuju medan perang di Aceh, harus mengikuti
pelatihan tempur terlebih dahulu di Cimahi.
Pada
tahun 1902, di Cimahi didirikan pabrik roti untuk mencukupi kebutuhan
masyarakat dan militer. Perusahaan makanan militer ini juga membuat
biskuit dan nasi goreng yang dikemas dalam kaleng sebagai ransum darurat
para tentara. Di Cimahi juga didirikan pabrik senjata (de magazijnen van oorlog)
yang membuat senjata, amunisi, perlengkapan militer, pakaian seragam
militer, sepatu, dan berbagai alat jahit untuk menunjang kelengkapan
para tentara. Berbagai sekolah kejuruan juga dibuka di Cimahi, antara
lain sekolah koki militer, sekolah penatu, sekolah menjahit, dan
lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut dibuka untuk mempersiapkan tenaga
terampil yang dapat dipekerjakan di berbagai lembaga kemiliteran. Dengan
banyaknya lembaga militer di Cimahi, maka pada tahun 1926 didirikan
Badan Peradilan Militer (krijgsraad).
Sebagian
besar penduduk Cimahi terdiri atas tentara dan keluarganya yang berasal
dari berbagai daerah termasuk orang Eropa, meskipun pada masa itu
pemerintah Hindia Belanda melarang para prajurit menikah dalam jangka
waktu tertentu. Larangan tersebut dikarenakan mereka sering
dipindahtugaskan. Para tentara tersebut mempunyai mobilitas yang tinggi,
sehingga bila sudah berkeluarga akan sangat mengganggu dalam
menjalankan tugas. Aturan tersebut juga dikenakan bagi pegawai Belanda
di berbagai perusahaan. Sebagai gantinya, disediakanlah huishoudster atai nyai bagi
para tentara serta karyawan Belanda yang tinggal di Indonesia. Meskipun
demikian, banyak juga terjadi pernikahan antara tentara-tentara Belanda
dengan gadis-gadis pribumi setempat. Para tentara Belanda di Cimahi
menempati rumah dinas sesuai dengan jenjang kepangkatannya. Adapun
tentara pribumi yang berpangkat lebih rendah dari tentara Belanda,
ditempatkan di kamar (sambre) di dalam tangsi.
Pada
masa itu, penduduk kota Cimahi terdiri atas penganut agama Islam,
Kristen, dan Katolik. Namun tampaknya, kehidupan beragama penganut agama
Katolik di kota Cimahi lebih menonjol jika dibandingkan kehidupan
beragama kaum muslim dan kristiani. Banyaknya tentara Koninklijk Leger dan Koninklijk Nederlands Indische Leger yang
beragama Katolik, memberi semangat para pastor untuk membuat kehidupan
beragama umat Katolik di Cimahi lebih semarak. Setiap sebulan sekali
pada minggu terakhir, persembahan Perayaan Ekaristi dilakukan di sebuah
ruang kelas di Ambonsche School (saat ini terletak di sekitar Jalan SMP).
Dikarenakan
umat Katolik yang menghadiri perayaan tersebut semakin banyak, sehingga
dirasa perlu untuk mendirikan tempat ibadah yang dapat menampung jemaat
lebih banyak lagi. Pada tahun 1906, dimulailah pembangunan gedung
gereja di Cimahi. Lokasi pendirian gereja tersebut terletak di
pertigaan Barosweg (sekarang Jalan Baros) dan Prins Hendrik Laan (sekarang
Jalan Jenderal Sudirman). Pembangunan dilakukan di bawah pengawasan
pastor Y. Mauritius Timmers SJ pada tahun 1907, sedangkan pada tahun
1908 di bawah pengawasan pastor Joannes Kremer SJ.
Akhirnya
pada tanggal 27 Desember 1908 dilakukan pemberkatan gedung gereja di
Cimahi yang dapat menampung umat sebanyak 150 orang. Gereja tersebut
diberi nama Gereja Santo Ignatius (Sint Ignatius Kerk).
Pemilihan nama untuk gereja tersebut bukanlah tanpa alasan. Nama Santo
Ignatius dipilih karena ia adalah seorang santo dan mantan perwira
Spanyol yang menjadi imam serta pendiri Ordo Serikat Yesus (Societas Jesu/SJ).
Pemberian nama gereja dengan nama Santo Ignatius berkaitan erat dengan
keberadaan kota Cimahi sebagai kota garnisun. Terlebih lagi umat perdana
gedung gereja yang berada di lingkungan markas militer ini adalah para
tentara.
Dengan
berdirinya gereja Santo Ignatius, kunjungan pastor-pastor SJ ke Cimahi
semakin sering. Pastor-pastor SJ yang melayani di Cimahi berasal dari
Batavia, Sukabumi, Cirebon, dan Bandung. Para pastor tersebut pulang
pergi menggunakan kereta api. Dikarenakan belum ada pastoran sehingga
tidak ada pastor yang menetap di Cimahi. Kunjungan para pastor ke Cimahi
menjadi lebih sering, yakni empat kali dalam seminggu. Mereka
memberikan pelayanan rohani di tangsi tentara (kampement), rumah sakit, serta memberikan pelajaran agama di Europesche School (SDN Baros Mandiri 4 Cimahi).
Dengan
semakin tertatanya kehidupan di kota Cimahi, maka pada tahun 1913
dikeluarkan Berita Negara dengan Nomor 356, tepatnya pada tanggal 20
Mei, yang menyatakan bahwa distrik Cilokotot berganti nama menjadi distrik Cimahi
dan dipimpin oleh seorang wedana. Peraturan tersebut mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Juli 1913. Kelengkapan Cimahi sebagai garnisun militer
terbesar di Hindia Belanda, diperkuat dengan dibangunnya lapangan udara
militer di Andir (sekarang Lapangan Udara Husein Sastranegara). Lapangan
udara tersebut diresmikan pada tahun 1914 sebagai pusat pangkalan udara
militer Hindia Belanda.
Pada
tahun 1925, dikeluarkan Berita Negara dengan Nomor 404 yang menyatakan
bahwa wilayah Jawa Barat dibagi menjadi sembilan keresidenan, yaitu
Banten, Batavia, Buitenzorg (Bogor), Karawang, Priangan Barat, Priangan
Tengah, Priangan Timur, Indramayu, dan Cirebon. Kabupaten Bandung,
termasuk di dalamnya distrikCimahi, serta kabupaten Sumedang
berada di wilayah keresidenan Priangan Tengah yang dipimpin oleh seorang
residen yang berkedudukan di Bandung. Adapun distrik Cimahi terdiri atas tiga onderdistrik, yakni Cimahi, Batujajar, dan Padalarang.
Penempatan
pangkalan militer di Cimahi dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang
memadai. Fasilitas tersebut tidak hanya yang berkaitan dengan
kemiliteran, tetapi juga kenyamanan untuk tinggal di kota Cimahi. Selain
markas militer, di kota ini juga terdapat kompleks pemukiman. Pemukiman
tersebut diperuntukkan bagi para perwira yang bertugas di pangkalan
militer, serta para dokter yang bertugas di rumah sakit militer. Kawasan
pemukiman tersebut dirancang dan dibangun dengan perencanaan yang
bagus. Pemukiman dilengkapi dengan jalur-jalur jalan di setiap blok,
serta sistem drainase yang bagus. Instalasi listrik dan air di kota ini
juga dibuat untuk memberi kenyamanan bagi penghuninya. Di sudut-sudut
jalan serta di beberapa tempat terdapat gardu listrik dan menara air,
meskipun di setiap rumah telah dilengkapi sumur untuk keperluan
sehari-hari.
Sebagaimana
kawasan pemukiman yang dirancang Belanda untuk kota-kota di Indonesia
pada umumnya, rumah-rumah tinggal tersebut memiliki halaman yang cukup
luas untuk ruang terbuka hijau. Fasilitas pendidikan, olah raga, bahkan
hiburan di kota Cimahi cukup lengkap. Fasilitas tersebut berupa gedung
sekolah, kolam renang, gedung bioskop (saat ini menjadi Rio X-enter),
lapangan, kawasan pertokoan, serta taman kota. Salah satu taman kota
yang ada pada saat itu adalah Taman Wilhelmina, yang terletak di selatan
Gereja Santo Ignatius. Kolam renang militer di kota Cimahi dibangun
pada tahun 1910, yang merupakan kolam renang pertama di Hindia Belanda.
Kolam renang tersebut selain dipergunakan untuk berlatih para tentara
juga sebagai tempat untuk bersantai. Berdasarkan data yang berhasil
dihimpun oleh tim inventarisasi bangunan kolonial di kota Cimahi,
kawasan pertokoan yang terletak di Jalan Jenderal Amir Mahmud sudah ada
sejak tahun 1920-an.
Para tentara di Cimahi pada saat itu, pada saat bebas tugas, biasa menghabiskan waktu di Katholieke Militair Tehuis/KMT, yang berlokasi di dekat Tagog. Katholieke Militair Tehuis merupakan
tempat para tentara berekreasi, seperti bermain kartu dan bilyard,
membaca, makan dan minum, serta berpesta merayakan kepulangan dari medan
perang, naik pangkat, atau berhasil menyelesaikan pendidikan militer.
Pada masa kemerdekaan, bangunan KMT diubah namanya menjadi Panti
Cengkerama. Sangat disayangkan pada tahun 1985, bangunan tersebut
dirobohkan dan saat ini menjadi gedung serba guna dan gereja Santo
Agustinus.
Pada
tahun 1930 – 1933, dilakukan pembangunan rumah pastoran dan gedung
pertemuan di gereja Santo Ignatius Cimahi. Pastoran dibangun di sebelah
utara gereja, sedangkan gedung pertemuan berada di sebelah timur gereja.
Gedung pertemuan tersebut juga dipergunakan sebagai taman kanak-kanak (Freubel School).
Dengan
semakin banyaknya anak-anak usia sekolah yang merupakan jemaat gereja
Santo Ignatius, para pastor merasa perlu adanya sarana pendidikan bagi
anak-anak tersebut. Pada saat itu, sarana pendidikan di Cimahi baru ada
sekolah desa dan sekolah-sekolah Kristen. Maka pada tahun 1934 – 1935
dibangun gedung sekolah Taman Kanak-Kanak (Freubel School) Santa Theresia dan Sekolah Dasar (Lagere School) Santa Maria yang terletak di Barosweg. Taman kanak-kanak yang semula menempati gedung pertemuan gereja Santo Ignatius dipindahkan ke Freubel School Santa
Theresia. Pada awalnya, sekolah-sekolah tersebut diperuntukkan bagi
orang Belanda, dan memakai bahasa pengantar bahasa Belanda. Selain
gedung sekolah, di lokasi tersebut juga terdapat rumah biara bagi para
suster yang mengelola sekolah tersebut.
Pada
masa penjajahan Jepang (1942 – 1945), kegiatan kemiliteran di Cimahi
lumpuh. Pemerintah Jepang tetap menggunakan Cimahi sebagai tempat
latihan militer dengan memanfaatkan bangunan dan fasilitas militer
Belanda. Beberapa bangunan dipergunakan sebagai tempat interniran bagi
orang-orang Belanda dan Eropa yang ditahan oleh Jepang, tak terkecuali
para pastor, suster, dan pendeta. Terdapat kamp-kamp penahanan di
Cimahi, dimana kamp yang terkenal adalah Cimahicamp dan Baroscamp.
Jepang juga menjadikan Cimahi sebagai salah satu pusat pendidikan
militer termasuk pendidikan militer Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah
Jepang menyerah pada Sekutu, dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, kehidupan di Cimahi mulai berangsur membaik. Pada tahun
1946, keadaan kota Cimahi mulai aman. Bahkan pastoran gereja Santo
Ignatius membuka sekolah baru yang terletak di daerah Prins Hendrik Laan (sekarang Jalan Jenderal Sudirman). Pada tahun 1947 dibuka sekolah kejuruan kerumahtanggaan, serta Sekolah Dasar (Volk School)
Santo Yusup pada tahun 1948, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang
bukan beragama Katolik. Pada tahun 1950 dibuka sekolah menengah pertama
Santo Mikael yang menampung lulusan sekolah dasar Santa Maria dan
sekolah dasar Santo Yusup.
Dengan
diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda, menyebabkan militer
Belanda di Cimahi tidak diperlukan lagi. KNIL dibubarkan, adapun
anggotanya yang berkebangsaan Belanda dikembalikan ke negerinya.
Meskipun demikian, terdapat beberapa anggota KL dan KNIL yang
berkebangsaan Belanda memilih menetap di Indonesia. Dengan pulangnya
pasukan Belanda ke negerinya, Cimahi sebagai kota pangkalan militer
Hindia Belanda digantikan oleh Tentara Rakyat Indonesia. Pada masa
revolusi, Cimahi menjadi salah satu titik perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Cimahi pernah digunakan
sebagai markas pertama Badan Keamanan Rakyat (BKR) keresidenan Priangan
dengan komandan Aruji Kartawinata, sebelum dipindahkan ke Bandung.
Selanjutnya, Cimahi dijadikan pusat pendidikan TNI karena sarana
prasarana bekas KL maupun KNIL masih baik dan bisa digunakan.
Pada
tahun 1962, Cimahi termasuk dalam wilayah kabupaten Bandung dengan
status kewedanan. Dikarenakan menunjukkan perkembangan yang memiliki
karakteristik perkotaan, akhirnya status Cimahi ditingkatkan menjadi
kota administratif (kotif) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
1976. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2001 Tentang
pembentukan kota, maka resmilah Cimahi menjadi kota yang memiliki
otonomi penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri lepas dari dominasi
pemerintahan kabupaten bandung. Penempatan pangkalan militer di Cimahi
masih berlangsung hingga sekarang sehingga Cimahi tetap dikenal sebagai
kota garnisun.
0 komentar:
Posting Komentar