Senin, 01 Desember 2014

Hidup tanpa Kepentingan Pribadi

Diri tak terpisah dari dunia, karena diri identik dengan dunia. Kalau pikiran berakhir, diri juga berakhir. Kalau diri berakhir, dunia yang kita kenal ini juga berakhir.

Dunia yang kita kenal ini seperti panggung perluasan diri. Dunia penuh dengan warna-warni kenikmatan dan kesakitan, dualitas konflik dan kompromi. Semua itu tak berbeda dari diri.

Diri atau dunia yang kita kenal ini tampaknya nyata. Ketika pikiran berakhir, dunia terlihat tidak nyata seperti yang kita duga. Realitas dunia ini seperti dunia bayang-bayang.

Kalau kita belum melihat realitas apa adanya, kita mendapati tidak ada sesuatu yang lain yang lebih nyata daripada dunia yang kita kenal. Lalu, kita membangun hidup dan bergulat dengan kesakitan dan kenikmatan. Proses ini berlangsung terus hingga kita sampai pada keadaan bangun.

Ketika orang tidur, orang bisa bermimpi buruk atau bermimpi indah. Mimpi tampak begitu nyata, sampai orang terbangun. Setelah bangun, orang sadar bahwa mimpi tidak nyata. Begitulah dengan pandangan kita terhadap diri atau dunia ini.

Orang-orang yang bangun, sadar, dan waspada, bukan berarti menjadi asosial atau apolitis. Mereka tidak menjauhi realitas sosial atau politik, tetapi berelasi secara baru dengan realitas sosial, politik, ekonomi, agama, maupun dalam hubungan-hubungan pribadi. Keterlibatan sosial dan politik atau keterlibatan dalam hubungan pribadi tidak lagi berpusat pada ambisi demi kepentingan pribadi.

Bisakah kita hidup tanpa kepentingan pribadi sama sekali - tanpa keinginan, tanpa kemauan, tanpa belenggu, dan tanpa diri? Bisakah kita bertahan hidup tanpa gerak keinginan yang tidak sungguh kita perlukan untuk kelangsungan hidup?

Ketika diri berakhir, ada kebebasan - yang bukan lawan dari belenggu, bukan pula bebas melakukan apa saja yang kita mau. Ketika diri berakhir, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang kudus - yang menggerakkan tindakan kita dalam relasi satu dengan yang lain. 

0 komentar:

Posting Komentar