Sabtu, 13 Desember 2014

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT GORONTALO


Sebelum Islam masuk ke Gorontalo dan menjadi agama masyoritas yang dianut masyarakatnya, di daerah tersebut berlaku stratifikasi sosial lokal yang membagi masyarakat ke dalam sejumlah golongan. Setelah Islam masuk, kendati stratifikasi sosial itu telah hilang, namun sisa-sisanya masih bisa dirasakan.
Dahulu, pada zaman kerajaan pra-Islam, masyarakat Gorontalo terbagi ke dalam sejumlah kasta, yakni Olongia (raja-raja dan keturunannya), Wali-wali (para pejabat dan pembesar istana yang diangkat oleh raja dan keturunannya), Tuangolipu (rakyat atau penduduk kerajaan), dan Wato (budak, pelayan-pelayan istana, beserta keturunan mereka).
Hari ini, pelapisan sosial tersebut semakin terkikis dalam keseharian hidup masyarakat Gorontalo, terutama setelah Islam masuk pada abad ke-16 dan menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Gorontalo. Sejatinya, lapisan sosial yang pertama-tama memeluk Islam adalah para raja dan bangsawan. Selanjutnya, lapisan sosial di bawahnya mengikuti jalan mereka.
Walaupun hari ini stratifikasi sosial semakin tidak kentara, namun masih bisa diselidiki warna perbedaan di antara masyarakat Gorontalo. Masing-masing keturunan dari lapisan sosial tersebut dalam kondisi-kondisi tertentu masih merujukan dirinya pada silsilah leluhur mereka. Misalnya, para keturunan golongan lapisan sosial rendah (Wato, Tuangolipu) merasa derajat social mereka lebih rendah daripada keturunan golongan lapisan sosial tinggi (Olongia, Wali-wali), lantas merasa perlu bersikap hormat pada mereka. Sebaliknya, tak jarang keturunan golongan lapisan sosial tinggi terpantik jiwa superioritas-nya manakala menghadapi keturunan golongan sosial yang lebih rendah daripada mereka.
Menurut Tumenggung, dkk. (1983:53-54), salah satu kasus di mana lapisan keturunan sosial tinggi merasa terpantik jiwa superior-nya adalah dalam hal kesenian, di mana sejumlah nyanyian dan tari-tarian diidentifikasi sebagai milik mereka, karena dalam sejarahnya hanya dilakukan oleh leluhur-leluhur golongan mereka, dan terlalang menurut sejarah adat untuk dilakukan oleh golongan lain di luar golongan mereka. Tarian-tarian tersebut misalnya adalah tarian tidida’a atau tidilo-tonggalo dan tidilo palo-palo.
Namun demikian, tak jarang juga dari keturunan-keturunan golongan sosial atas yang berpikir dan bersikap demokratis. Dalam hal kesenian, misalnya, mereka beranggapan bahwa nyanyian-nyanyian dan tari-tarian tersebut sudah menjadi warisan kebudayaan semua golongan sosial masyarakat Gorontalo. Dalam bahasa yang religius, semakin banyak orang Gorontalo yang beranggapan bahwa semua adalah anugerah dari Tuhan, dan Tuhan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan apapun kecuali derajat ketakwaan umatnya. Dalam perkembangannya, hari ini, tari-tarian dan kesenian lainnya yang dulu dianggap milik golongan social atas telah dimainkan bebas oleh siapapun yang menginginkannya.

0 komentar:

Posting Komentar