Mereka Terdampar di Bengawan Solo
Daerah cekungan (depression)
Solo/Surakarta merupakan wilayah yang amat kaya dengan tinggalan
arkeologis dan paleontologis. Beberapa lokalitas seperti Sangiran,
Sambungmacan, Ngawi, Trinil, dan Ngandong berada di sekitar cekungan
tersebut. Situs Ngandong dan sekitarnya (Matar, Tapan, Ngandoh, Jigar,
Sembungan, Ngraweh, Sidung, Kawung, Pandejan) yang berada di meander
Bengawan Solo saat ini merupakan salah satu lokalitas yang berpotensi
besar mengandung tinggalan paleontologis dan arkeologis. Teras-teras
endapan aluvial purba Bengawan Solo kerap kali dijumpai pada daerah
aliran sungainya yang memiliki morfologi meander.
Di kalangan prasejarawan kwarter, teras aluvial purba Bengawan Solo dikenal dengan “The Solo High Terrace”
karena ditemukannya beberapa temuan penting pada endapan teras purba
sungai tersebut yang kini berada sekitar 20 meter di atas muka air
sungai saat ini.
Bengawan
Solo, sebagai salah satu sungai terbesar di Jawa telah sejak lama
menoreh perbukitan sekitar dan mendepositkan sejumlah temuan yang ikut
diendapkan bersama sedimen aluvial lainnya seperti pasir serta bebatuan
aneka bahan dan ukuran. Oleh sebab itu dari sisi arkeologis, situs ini
termasuk open site yang kemungkinan besar tinggalannya sudah
tidak in-situ lagi mengingat proses transportasi dan deposisi yang
dilakukan oleh aliran air sungai sebagai agennya. Namun demikian tidak
tertutup kemungkinan bahwa tinggalan arkeologis yang terkandung di dalam
matriks krikil-pasiran jika ditinjau dari tingkat pembundarannya
berasal tidak jauh dari asalnya.
Sejumlah
himpunan fauna dari Plestosen Tengah-Akhir hingga Atas (Bartstra, 1988;
Indriaty et al., 2011) telah ditemukan di lokalitas tersebut. Bahkan
pada tahun 1930’an observasi lapangan yang dilakukan Oppenorth et al.
untuk pertama kalinya berhasil mengumpulkan sisa-sisa hominid (11 atap
tengkorak dan 2 tibiae) yang kemudian diidentifikasi sebagai Homo erectus berikut himpunan sisa fauna Plestosen. Morfologi cranial dari spesimen dari Ngandong nampaknya menunjukkan karakter evolutif (progresif) dari spesies erectus (Oppenorth, 1932). Hingga saat ini spesimen Ngandong dikelompokkan sebagai Homo erectus progresif yang telah menurun beberapa fitur arkaiknya jika dibandingkan dengan spesimen dari Sangiran.
Sejumlah
permasalahan muncul terkait posisi himpunan fauna Ngandong dalam
konteks biostratigrafi zaman Kwarter di Jawa. Koenigswald memposisikan
temuan fauna dari Ngandong (serta situs lainnya dari formasi yang sama)
sebagai kelompok Fauna Ngandong yang muncul setelah Fauna Trinil (von
Koenigswald, 1935). Berbeda dengan Dubois (1894), Koenigswald memisahkan
fauna Ngandong yang berasal dari unit lapisan atas aluvial Bengawan
Solo purba dengan lapisan di bawahnya yang mengandung fauna Trinil
(Koenigswald, 1935).
Namun
demikian, agaknya terdapat kemiripan dari daftar fauna yang diusulkan
Koenigswald, Dubois, John de Vos, van den Berg, khususnya jenis
Artiodactyl dan Proboscidea. Kelompok fauna seperti Cervus sp., Bos sp.,
Bubalus sp., dan Stegodon menggambarkan lingkungan open woodland yang kemungkinan mendominasi wilayah Jawa selama periode Plestosen Tengah-Akhir.
Sedikit
berbeda dengan Koenigswald dan Dubois, John de Vos mencantumkan Macaca
fascicularis yang mencirikan adanya hutan di daerah sekitarnya. Hal ini
tentunya menyisakan perdebatan terkait rekonstruksi lingkungan purba
Homo erectus terakhir yang hidup di sekitar aliran Bengawan Solo purba
serta kaitannya dengan kepunahan mereka.
Dari sudut pandang ilmu arkeologi, situs daerah bekas endapan Bengawan Solo Purba merupakan suatu daerah yang mungkin menjadi sumber daya terpenting manusia Plestosen. Oleh sebab itu beberapa artefak telah dilaporkan ditemukan di dalam endapan tersebut. Artefak dari daerah Ngandong dikenal dengan istilah “Ngandongian” yang dicirikan dengan serpih berukuran kecil dari bahan kalsedon dan Bola (Movius, 1949; Oppenorth, 1932 dalam Heekeren, 1972).
Sejumlah
artefak tulang dan tanduk ditemukan pula di teras purba Bengawan Solo,
dan salah satu yang paling kontroversial yaitu seruit/harpun (bone
harpoon) yang digarap dengan sangat indah. Alat tulang tersebut dari
segi teknologis dibuat dengan sangat baik dan memiliki kemiripan dengan
ciri industri alat tulang dari Eropa, yaitu dari periode Magdalenian.
Oppenorth (1932) juga melaporkan ditemukannya sengat buntut ikan pari
yang berada di dekat salah satu tengkorak temuannya.
Berdasarkan sejumlah kontroversi terkait biostratigrafi, kronologi dan ciri kebudayaan Homo erectus pada periode akhir kehadiran mereka di Pulau Jawa adalah suatu hal yang amat penting untuk meneliti lebih lanjut terkait periode akhir kehidupan Homo erectus di Jawa.
Berdasarkan sejumlah kontroversi terkait biostratigrafi, kronologi dan ciri kebudayaan Homo erectus pada periode akhir kehadiran mereka di Pulau Jawa adalah suatu hal yang amat penting untuk meneliti lebih lanjut terkait periode akhir kehidupan Homo erectus di Jawa.
Berbagai perdebatan ilmiah yang telah diuraikan di atas bermuara kepada suatu pertanyaan besar, yaitu sebab kepunahan Homo erectus dan kronologi serta ciri kebudayaan mereka dibandingkan dengan temuan dari situs hominid lainnya seperti Sangiran.
0 komentar:
Posting Komentar