Suku
Anak Dalam atau Suku Kubu kemunculannya masih dipertanyakan, hingga
kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Dari lisan ke lisan,
beberpa orang berpendat dan menyimpulkan kemunculan suku Kubu tersebut.
Ada
dua versi menurut sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para
leluhur. Tengganai Ngembar, pemangku adat sekaligus warga tertua Suku
Kubu yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi
Pertama,
mereka (leluhur) bahwa suku Kubu adalah orang Maalau Sesat, yang
meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam.
Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Sedangkan versi kedua, penghuni
rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi
mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena
kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di
Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Dari
segi bahasa suku Kubu yang banyak menggunakan bahasa rimba dan bahasa
Minang, maka versi kedua ini lebih banyak diterima dan dikuatkan. Orang
Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan
yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan,
terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal
di ranah Minang.
Daerah
Kubu Kandang yang yang lebh banyak bermigrasi ke beberapa wilayah di
Jambi bagian barat. Sejak ratusan tahun yang lalu, suku Kubu tidak
mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam.
Mereka
hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi "melangun" atau pindah ketika ada
warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang suku
Kubu tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu
hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Dari
hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004
menyatakan, jumlah keseluruhan mereka di Taman Nasional Bukit Duabelas
ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan
TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo,
Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59
kelompok kecil. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan
kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan
dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain
di TNBD, kelompok- kelompok suku Kubu juga tersebar di tiga wilayah
lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan,
sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai
keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung
Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten
Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir,
Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok
lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
0 komentar:
Posting Komentar