Ruduih adalah senjata tradisional sejenis golok yang berasal dari budaya masyarakat Minang, Sumatra Barat.
Senjata ini dapat dikatakan sebagai senjata perang. Sedangkan untuk
berburu biasanya menggunakan sumpitan. Dan sejenis senjata tradisional
yang paling terkenal di Minang adalah Karih yang merupakan senjata tikam
selain belati. Keberadaan ruduih tercatat di dalam Museum Perjuangan
Tridaya Eka Dharma, sebagai senjata yang digunakan dalam perang Manggopoh (1908).
Perang Manggopoh (1980)
lebih tepatnya pada tanggal 15-16 Juni 1908, bermula dari kejengkelan,
kaum ninik mamak, alim ulama, para cendikia dan rakyat Kanagarian
Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera
Barat. Tindakan-tindakan serdadu Belanda dinilai telah melanggar adat
sopan santun masyarakat Manggopoh yang menjunjung tinggi nilai adat dan
budaya luhur Minangkabau dan keluar dari batas kewajaran sebagai
manusia.
Ketidakmanusiawian yang
dimaksud adalah penetapan hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten
belasting (pajak pemasukan suatu barang/cukai), hedendisten (pajak
rodi), landrente (pajak tanah), wins belasting (pajak
kemenangan/keuntungan), meubels belasting (pajak rumah tangga), slach
belasting (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), adat
huizen belasting (pajak rumah adat) pada tanggal 21 Februari 1908.
Sementara dalam ranah etika dan moral, serdadu Belanda juga sering
mengganggu istri orang, menggangu perempuan yang mandi dan mencuci di
Batang Antokan dan Kalulutan yang mengapit Negeri Manggopoh. Pemimpin
Perang Belasting atau perang Manggopoh tersebut adalah seorang
perempuan bernama Siti Manggopoh. Parasnya yang cantik berhasil
memperdaya tentara Belanda. Musuh menjadi lengah karena lekuk tubuhnya.
Dan senyumnya yang dikulum dan khas membuat batang leher para meneer
dari Negeri Kincir Angin itu naik turun. Ia memang tak sepopulis RS
Kartini, tapi keberaniannya dalam melawan kolonial Belanda sangat
memukau. Perang ini membuat Belanda kalang kabut; 53 dari 55 tentara
Belanda yang bermarkas di Nagari Manggopoh meregang nyawa.
Basamo ruduih
(pedang) di tangan, di atasnya Al Quran, samo-samo mengucapkan Allahu
Akbar, Sajangka indak ka suruik, aso hilang dua tabilang, pado hiduik
bacamin bangkai, bialah mati bakalang tanah, siapo nan mungkia janji
dimakan (kutuak Kalamullah). Adalah ikatan sumpah dan janji para pejuang Manggopoh yang berarti: (dengan
pedang di tangan, di atas Al Quran, sama-sama mengucapakan Allahu
Akbar. Sejengkal tidak akan surut, asa hilang dua terbilang, pada hidup
bercermin bangkai, biarlah mati berkelang tanah, siapa yang berkianat
janji dimakan kutukan Kalamullah).
Dalam catatan sejarah
ini, ruduih telah menjadi saksi keberanian seorang perempuan Minang, dan
perjuangan masyarakat Minang dalam perang melawan kolonial Belanda.
Sebagai momentum bersejarah, sampai Sekarang Tugu Siti Manggopoh masih
bisa kita lihat di Simpang Gudang Lubuk Basung, salah satu jalan
alternatif dari Lubuk Basung ke Pasaman Barat.
Curhat Pendek - Itu Susu?
-
Ketika kamu memiliki banyak pengalaman, melihat banyak hal yang terjadi di
dunia maka biasanya semakin sulit kamu untuk terkejut pada sesuatu yang
tida...
0 komentar:
Posting Komentar