Kamis, 11 Desember 2014

Suku Dayak (Daya)

200px-Dayak_Kanayatn.jpg
Dalam upaya memahami kehidupan dan perilaku manusia di suatu suku pada suatu daerah. Kita harus memerhatikan aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan, yakni “kebudayaan” atau system of meaning. Pemberi arti bagi kehidupan dan prilaku manusia. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh manusia mengandung beberapa unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur budaya tersebut antara lain; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, religi, dan kesenian. Namun sungguh disayangkan, perkembangan budaya modern yang bersandar pada kekuatan kapital telah berlaku eksploitatif dan menggiring manusia pada kehidupan yang tak selaras dengan alam.
Jika kita berkaca dan belajar pada kebudayaan Dayak di Kalimantan, mereka memberikan contoh terbaik tentang keselarasan hubungan antara pelestarian budaya dengan alam. Dayak adalah nama kolektif untuk berbagai suku asli di Kalimantan. Di kalangan Dayak itu sendiri terdapat keragaman yang besar antara suku yang satu dengan yang lainnya dari sudut upacara-upacara, kesenian, bahasa, arsitektur rumah, dan lain-lain.
Namun jika kita mengacu pada pernyataan FC. Palaunsoeka dan Baroamas Jabang Balunus yang dimuat pada surat kabar Keadilan, penulisan nama “Dayak” seharusnya tanpa hurup “k” (Daya) kesepakatan ini dimulai pada tahun 1947 setelah kongres persatuan Dayak (PD) di Sanggau. Dapat dilihat juga dalam buku yang ditulis oleh Paulus Florus dkk (ed) terbitan tahun 2005. Sementara kita masih mengenal mereka dengan sebutan “Dayak” masih menggunakan huruf “k”. Mungkin karena faktor sosialisasi yang tidak menyeluruh. Maka dalam tulisan ini, sebagai bentuk penghargaan terhadap hasil kongres persatuan dayak, kita akan mulai membiasakannya dengan menyebut “Daya” untuk merujuk pada pemahaman kata “Dayak”.
Baiklah langsung saja kita berbicara tentang ciri terpenting dari suku-suku Daya yang terdapat di Kalimantan. Mereka berkulit kuning langsat, berambut lurus, tempat tinggal mereka di pedalaman, di tepi dan di lembah-lembah sungai, dengan sistem pertanian berladang, mempraktekkan mengayau di masa silam, dengan agama tradisional yang dinamakan Kaharingan. Sebagian mempunyai rumah panjang yang disebut Lamin atau Betang.
Suku Daya memiliki pandangan hidup yang sangat terkenal dan terkandung dalam salam Daya atau kata pembukaan yang dirumuskan sejak beberapa puluh tahun yang lalu berbunyi: “Adil Ka’ Talino Ba Curamin Ka Saruga Ba Sengat Ka’ Jubata”.
Jika diuraikan secara sistematis makna dari filisofi Daya tersebut; Adil Ka’ Talino, mempunyai makna bahwa manusia Daya itu harus hidup adil kepada sesama manusia. Bacuramin Ka’ Saruga, kata ini mempunyai makna bahwa manusia Daya harus hidup berpadanan dengan kehidupan yang di atas atau hidup yang sempurna atau tertinggi, sebagai contoh hidup suku Daya. Sementara Ba Sengata Ka’ Jubata, merujuk pada atribut Absolut Jubata, dan Atribut Relatif Jubata sebagai kepercayaan atau Realitas Mutlak suku Daya. Masyarakat Daya meyakini bahwa Jubata memberikan kehidupan dan kelimpahan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Daya.
Sebagai nama kolektif, Suku Daya yang terdapat di Kalimantan terdiri dari beberapa sub-suku, di antaranya; Daya Kanayatn, Daya Bakati`, Daya Banana`, Daya Ahe, Daya Ayo, Daya Behe-Dait, Daya Manyuke, Daya Temila, Daya kantuk, Daya Punan, Daya Ot Danum, Daya Iban, Daya Ngebukit, Daya Mualang, Daya Pangkodan, Daya Dosan, serta masih banyak lagi sub-suku Daya yang lain. Kekerabatan suku Daya berdasar pada sub-suku mereka masing-masing. Namun mereka telah memiliki asosiasi atau perkumpulan yang menyatukan dan menjadi sarana komunikasi antar kerabat Daya yakni Kongres Persatuan Dayak.
Dari sekian sub suku Daya tersebut, mata pencaharian utama mereka adalah bercocok tanam, dengan sistem perladangan berpindah. Masyarakat Daya berkeyakinan bahwa padi itu sifatnya sakral (ilahiah) dan harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya, sejak ditanam hingga dimasukkan kembali ke dalam lumbung. Sesuai keyakinan, padi adalah tumbuhan langit yang pada mulanya merupakan tumbuhan asing di muka bumi ini. Padi yang mengalami penurunan martabatnya karena berada di dalam dunia gelap (alam nyata, bumi), haruslah dikembalikan wujud kesakralannya dengan cara mempersembahkan berbagai upacara baginya yang berkesinambungan.
Salah satu faktor penyebab lahirnya pemikiran mistis religi manusia Daya adalah keadaan geografis Kalimantan, seperti; luasnya daerah, hutan yang lebat, sungai lembah dan gunung-gunung. Sepanjang berladang, mereka mengadakan upacara-upacara yang wajib dilakukan. Maka dapat disimpulkan bahwa upacara selama kegiatan berladang termasuk dalam sistem religi suku Daya. Misalnya upacara naik dango dan gawai.
Kondisi alamiah Kalimantan yang penuh misteri, kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: siapkah penguasa alam ini? Siapa yang mengatur bulan dan bintang, mata hari, hujan, siang, dan malam? Kondisi yang demikian telah melahirkan konsep tentang realitas mutlak, yakni sesuatu yang harus ada, sebagai mana ia ada menyatakan dirinya. Pemahaman inilah yang kemudian menjadikan kehidupan masyarakat Daya menjaga kebudayaannya pada keselarasan alam.

0 komentar:

Posting Komentar