Dalam
upaya memahami kehidupan dan perilaku manusia di suatu suku pada suatu
daerah. Kita harus memerhatikan aspek esensial manusia yang tidak dapat
dipisahkan, yakni “kebudayaan” atau system of meaning. Pemberi arti bagi
kehidupan dan prilaku manusia. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh
manusia mengandung beberapa unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur
budaya tersebut antara lain; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, religi,
dan kesenian. Namun sungguh disayangkan, perkembangan budaya modern yang
bersandar pada kekuatan kapital telah berlaku eksploitatif dan
menggiring manusia pada kehidupan yang tak selaras dengan alam.
Jika
kita berkaca dan belajar pada kebudayaan Dayak di Kalimantan, mereka
memberikan contoh terbaik tentang keselarasan hubungan antara
pelestarian budaya dengan alam. Dayak adalah nama kolektif untuk
berbagai suku asli di Kalimantan. Di kalangan Dayak itu sendiri terdapat
keragaman yang besar antara suku yang satu dengan yang lainnya dari
sudut upacara-upacara, kesenian, bahasa, arsitektur rumah, dan
lain-lain.
Namun jika kita mengacu pada pernyataan FC. Palaunsoeka dan Baroamas Jabang Balunus yang dimuat pada surat kabar Keadilan, penulisan nama “Dayak”
seharusnya tanpa hurup “k” (Daya) kesepakatan ini dimulai pada tahun
1947 setelah kongres persatuan Dayak (PD) di Sanggau. Dapat dilihat juga
dalam buku yang ditulis oleh Paulus Florus dkk (ed) terbitan tahun
2005. Sementara kita masih mengenal mereka dengan sebutan “Dayak”
masih menggunakan huruf “k”. Mungkin karena faktor sosialisasi yang
tidak menyeluruh. Maka dalam tulisan ini, sebagai bentuk penghargaan
terhadap hasil kongres persatuan dayak, kita akan mulai membiasakannya
dengan menyebut “Daya” untuk merujuk pada pemahaman kata “Dayak”.
Baiklah
langsung saja kita berbicara tentang ciri terpenting dari suku-suku
Daya yang terdapat di Kalimantan. Mereka berkulit kuning langsat,
berambut lurus, tempat tinggal mereka di pedalaman, di tepi dan di
lembah-lembah sungai, dengan sistem pertanian berladang, mempraktekkan
mengayau di masa silam, dengan agama tradisional yang dinamakan
Kaharingan. Sebagian mempunyai rumah panjang yang disebut Lamin atau
Betang.
Suku
Daya memiliki pandangan hidup yang sangat terkenal dan terkandung dalam
salam Daya atau kata pembukaan yang dirumuskan sejak beberapa puluh
tahun yang lalu berbunyi: “Adil Ka’ Talino Ba Curamin Ka’ Saruga Ba Sengat Ka’ Jubata”.
Jika
diuraikan secara sistematis makna dari filisofi Daya tersebut; Adil Ka’
Talino, mempunyai makna bahwa manusia Daya itu harus hidup adil kepada
sesama manusia. Bacuramin Ka’ Saruga, kata ini mempunyai makna bahwa
manusia Daya harus hidup berpadanan dengan kehidupan yang di atas atau
hidup yang sempurna atau tertinggi, sebagai contoh hidup suku Daya.
Sementara Ba Sengata Ka’ Jubata, merujuk pada atribut Absolut Jubata,
dan Atribut Relatif Jubata sebagai kepercayaan atau Realitas Mutlak suku
Daya. Masyarakat Daya meyakini bahwa Jubata memberikan kehidupan dan
kelimpahan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Daya.
Sebagai nama kolektif, Suku Daya yang terdapat di Kalimantan terdiri dari beberapa sub-suku, di antaranya;
Daya Kanayatn, Daya Bakati`, Daya Banana`, Daya Ahe, Daya Ayo, Daya
Behe-Dait, Daya Manyuke, Daya Temila, Daya kantuk, Daya Punan, Daya Ot
Danum, Daya Iban, Daya Ngebukit, Daya Mualang, Daya Pangkodan, Daya
Dosan, serta masih banyak lagi sub-suku Daya yang lain.
Kekerabatan suku Daya berdasar pada sub-suku mereka masing-masing. Namun
mereka telah memiliki asosiasi atau perkumpulan yang menyatukan dan
menjadi sarana komunikasi antar kerabat Daya yakni Kongres Persatuan
Dayak.
Dari
sekian sub suku Daya tersebut, mata pencaharian utama mereka adalah
bercocok tanam, dengan sistem perladangan berpindah. Masyarakat Daya
berkeyakinan bahwa padi itu sifatnya sakral (ilahiah) dan harus
diperlakukan sesuai dengan martabatnya, sejak ditanam hingga dimasukkan
kembali ke dalam lumbung. Sesuai keyakinan, padi adalah tumbuhan langit
yang pada mulanya merupakan tumbuhan asing di muka bumi ini. Padi yang
mengalami penurunan martabatnya karena berada di dalam dunia gelap (alam
nyata, bumi), haruslah dikembalikan wujud kesakralannya dengan cara
mempersembahkan berbagai upacara baginya yang berkesinambungan.
Salah
satu faktor penyebab lahirnya pemikiran mistis religi manusia Daya
adalah keadaan geografis Kalimantan, seperti; luasnya daerah, hutan yang
lebat, sungai lembah dan gunung-gunung. Sepanjang berladang, mereka
mengadakan upacara-upacara yang wajib dilakukan. Maka dapat disimpulkan
bahwa upacara selama kegiatan berladang termasuk dalam sistem religi
suku Daya. Misalnya upacara naik dango dan gawai.
Kondisi
alamiah Kalimantan yang penuh misteri, kemudian melahirkan
pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: siapkah penguasa alam ini?
Siapa yang mengatur bulan dan bintang, mata hari, hujan, siang, dan
malam? Kondisi yang demikian telah melahirkan konsep tentang realitas
mutlak, yakni sesuatu yang harus ada, sebagai mana ia ada menyatakan
dirinya. Pemahaman inilah yang kemudian menjadikan kehidupan masyarakat
Daya menjaga kebudayaannya pada keselarasan alam.
0 komentar:
Posting Komentar