
Perbedaan
suku tidak hanya terlihat dari warna kulit manusia dan bahasanya.
Namun, leluhur dari sebuah suku di bumi ini masing-masing meninggalkan
pedoman penghitungan waktu. Begitu juga masyarakat Lampung di kebudayaan
masa lalu. Mereka menerjamahakan petanda-petanda yang terdapat pada
lingkungan sekitarnya untuk menandai waktu dalam setiap aktivitasnya.
Mulai dari bercocok tanam, berburu, dan menangkap ikan atau berlayar.
Pengetahuan
tentang hitungan waktu, pada akhirnya menjadi kebutuhan utama. Karena
suatu suku bangsa tidak akan bisa bertahan hidup jika tidak mengetahui
tentang alam sekitarnya. Misal, pada musim apa ikan-ikan pindah dari
hulu ke hilir, kapan sebuah tumbuhan berbuah dan bisa dimakan, dll.
Kemudian
secara sederhana, pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman
mereka sejak beberapa generasi, diabstraksikan menjadi teori-teori,
konsep, atau pendirian. Seringkali pula pengetahuan itu dijadikan mitos,
dongeng-dongeng misal mengenai kosmogoni atau alam semesta.
Salah
satu pengetahuan tentang alam sekitar adalah pengetahuan orang Lampung
tentang sifat-sifat gejala alam yang kemudian menjadi penanda waktu. Hal
ini biasanya berasal dari keperluan sehari-hari seperti bertani,
menangkap ikan, atau aktifitas produktif lainnya. Masyarakat Suku
Lampung menandai waktu pada flora, fauna, dan fenomena alam melalui
gejala tertentu yang terus-menerus mereka perhatikan.
Penanda-penanda
waktu pada fauna atau hewan, di antaranya; jika ayam jantan berkokok
sebelum waktunya menandakan bahwa air laut akan lama surutnya, maka
saat itulah waktu terbaik untuk mencari ikan. Babi selain sebagai hama
tanaman, masyarakat Lampung menjadikan babi sebagai hewan buruan. Karena
babi suka keluar di malam hari, maka malam adalah waktu untuk menunggu
ladang dan berburu.
Selain
pada tingkah laku hewan, masyarakat Lampung pun meyakini perkembangan
tumbuhan-tumbuhan sebagai penanda waktu. Misalnya, ketika pohon randu
mulai mengeluarkan tunas daunnya itu adalah penanda akan datangnya musim
hujan. Maka sebelum musim hujan tiba, tanah pertanian harus selesai di
olah, dan benih padi siap untuk disemaikan, supaya ketika musim hujan
tiba, penanaman padi sudah dapat dimulai.
Sementara kedatangan musim kemaru ditandai oleh berbunganya tanaman kelumbuk. Bila daun kelumbuk telah
mulai gugur, masyarakat Suku Lampung mulai keluar mencari madu lebah di
hutan-hutan, karena saat itu sarang lebah di hutan sedang penuh dengan
madu.
Masyarakat
Suku Lampung juga telah mampu menghubungkan benda-benda atau gejala
alam dengan waktu. Ada suatu bintang khusus, yang disebut bintang puru, yang
dijadikan pedoman waktu. Bila bintang tersebut berada tepat di atas
kepala orang ketika malam sudah mulai terasa dingin, hal ini berartisaat
itu para petani harus sudah siap denganpekerjaan menyebar benih di
sawah. Dan bila air laut terasa lebih dingin dari biasanya, hal ini
menandakan bahwa musim kemarau akan terjadi lebih lama dari sebelumnya,
dan akan timbul penyakit menular.
Pada
masa kini, orang lampung pada umumnya telah mengetahui konsepsi tentang
ruang dan waktu (termasuk kalender) sesuai dengan ilmu pengetahuan
modern. Namaun pada beberapa tempat, terutama di pedesaan, seperti
halnya Suku Sunda, orang Lampung masih memegang konsepsi waktu, dalam
arti waktu baik dan yang tidak baik.
Sehubungan
dengan itu, maka bisa kita simpulkan bahwa suku Lampung telah memiliki
konsepsi waktu sebelum Masehi atau Hijriah mereka kenali. Dalam hal ini,
orang Lampung mengenal urutan tangga waktu yang jumlahnya 4 buah. Dari
yang paling baik hingga yang paling buruk. Keempat penandaan waktu
tersebut antara lain; tangga, tunggu, karindang, dan ketinggalan. Waktu terbaik adalah tangga dan waktu terburuk adalah ketinggalan.
Selain
itu, masyarakat Suku Lampung juga menganggap bahwa ada masa ketika
seseorang sering mendapat keberuntungan, dan masa ketika seseorang
mendapat kemalanagn. Masa keberuntungan disebut merawan, sedangkan masa kemalangan disebut masisil
0 komentar:
Posting Komentar