ULAMA-ULAMA PENYIAR ISLAM AWAL DI ACEH (Abad 16-17M)
Untuk
melihat pengaruh Aceh dalam keagamaan dan keilmuan di Aceh, Berikut ini
akan dijelaskan secara singkat figur ulama-ulama Penyebar Islam di Aceh
dan buah karyanya serta peran mereka dalam pengembangan keilmuan di
Nusantara.
1. Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya. Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat bahwa Hamzah lahir di Syahrawi, Ayuthia Ibukota Siam lama hal ini didasarkan pada syairnya:
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya. Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat bahwa Hamzah lahir di Syahrawi, Ayuthia Ibukota Siam lama hal ini didasarkan pada syairnya:
“Hamzah asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahrawi
Beroleh khilafah ilmu yang ‘adil
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani”
Mendapat wujud di tanah Syahrawi
Beroleh khilafah ilmu yang ‘adil
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani”
Dalam
hal ini pada bait ke dua mendapat wujud di tanah Syahrawi dipahami
sebagai Hamzah lahir di sana. Namun pendapat L.F. Brekel, Drewes
mengatakan bahwa wujud dalam bait kedua itu diartikan bahwa Hamzah
hendak mengatakan di syahrawilah dia bertemu dengan Tuhan. Artinya
hamzah memulai mempelajari tarekat Wujudiayah. Kontroversi mengenai
tempat kelahiran Hamzah seorang ulama besar ini memang tidak akan pernah
selesai, karena data yang ada masih dipertentangkan dan belum ada yang
akurat, hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan yang dikait-kaitkan dengan
karya-karyanya. Hamzah fansuri diperkirakan hidup dan berkiprah sebelum
dan selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil
(1588-1604). Kraemer berpendapat bahwa Hamzah hidup pada masa
pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat syah Almukammil sampai masa awal
Iskandar Muda, atau paling tidak hingga tahun 1620 M. .
Kalau
kita melihat dari keberadaannya sebagai penulis produktif yang
tercermin dari karya-karyanya, tentu Hamzah telah berkiprah sejak
pemerintahan Sultan Alauddin bin Sultan Ahmadsyah Perak hingga pada
Sultan Ali Ri’ayatsyah Al Mukammil. Hal ini dapat dilihat dalam sajaknya
yang menggambarkan hubungan antara Hamzah dengan sultan, dalam syair
berikut mengatakan:
“Hamba mengikat shair ini, Di bawah hadrat raja yang wali, Pada bait yang lain Hamzah menulis: Syah Alam raja yang adil,
Raja Qutub sempurna Kamil, Wali Allah sempurna wasil, Raja ‘arif lagi mukammil.
Raja Qutub sempurna Kamil, Wali Allah sempurna wasil, Raja ‘arif lagi mukammil.
Bait-bait
ini secara eksplisit memberikan pesan bahwa hubungan antara Hamzah
dengan sultan adalah harmonis, bahkan kata Wali Allah dalam syairnya
menampakkan bahwa pengakuan dan penghargaan Hamzah kepada sultan sebagai
seorang penguasa.tertinggi. Bahkan Sultan Alaiddin Ali Riayatsyah
diberi sebutan dengan wali Allah mengandung implikasi sultan memiliki
“otoritas sufistik keagamaan”, yang menyiratkan bahwa wali dalam Islam
bermakna seorang yang saleh yang dianugerahi kekuatan dan kelebihan yang
berfungsi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Sedangkan sebutan
sufistik yang tertinggi sebagai seorang yang “sempurna atau kamil” dan
“almukammil” yang berarti seorang yang sempurna atau “insan kamil.”
(Amirul Hadi, 2010, 74). Hubungan yang harmonis antara Hamzah Fansuri
dapat diceritakan juga oleh John Davis ketika mengunjungi Aceh tahun
1599 bahwa ada seorang pemuka agama yang sangat dihormati oleh rakyat
dan penguasa beliau sebagai Syaikh al-Islam, pada masa Sultan Al
Mukammil. ( Jon Davis, 1880, 151).
Paham
dan pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yang dibawanya bersama seorang
muridnya bernama Syamsuddin Al-Sumatrani adalah paham wujudiyah. Mereka
berdua telah memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan
praktek keagamaan kaum Muslim Nusantara pada paruh pertama abad ke- 17
M. Ajaran-ajaran mereka sangat dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu
Arabi dan Al-Jilli. Misalnya bahwa alam raya merupakan serangkaian
emanasi neo-platonisme, dan menganggap setiap emanasi adalah aspek
Tuhan. Tuhan sebagai wujud tunggal yang tiada bandingan dan sekutu
menampakkan sifat-sifat kreatifNya melalui ciptaanNya. Pendapatnya ini
merujuk pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 151 yang artinya “
Kemanapun kamu memandang akan tampak wajah Allah”. Paham ini menyebabkan
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin di tuduh sesat dan menyimpang. Pemikiran
mareka akhirnya ditentang oleh ulama-ulama besar Aceh yang datang
belakangan, yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkili.
Adapun karya-karya Hamzah Fansuri antara lain:
1).Syarab al-‘Asyiqin ,
2). Asrar al-‘Arifin,
3).Al Muntahi.
2). Asrar al-‘Arifin,
3).Al Muntahi.
Syarab
al-‘Asyiqi merupakan risalah tasawuf pertama dalam bahasa melayu yang
merupakan ringkasan ajaran faham wujudiyah sebagai pengantar memahami
ilmu suluk. Di dalamnya diuraikan cara-cara mencapai makrifat dan
tahap-tahap ilmu suluk yang terdiri dari syariat, tarekat, hakekat dan
makrifat. Asrar al-‘Arifin kitab hamzah yang menguraikan pandangan
falsafahnya tentang metafisika dan teologi sufi, dengan cara menafsirkan
utaian syair-syair karangannya menggunakan metode hermeneutika sufi
(ta’wil). Sedangkan kitab Muntahi merupakan risalah tasawufnya yang
paling ringkas namun padat, yang menguraikan pandangan Hamzah Fansuri
mengenai ucapan-ucapan sytahat (teofani) sufi yang sering menimbulkan
perdebatan di kalangan ulama. Misalnya ucapan dari Mansur al-Hallaj “An
al- Haqq” (Akulah kebenaran kreatif). Akhir perjalan kiprah Hamzah
Fansuri kembali ke Singkil mendirikan dayah atau pesantren dan meninggal
di sana. Makamnya terdapat di Desa Oboh, Kecamatan Rangkang, Kabupaten
Aceh Singkil. Setelah pemekaran wilayah Desa ini masuk wilayah Kota
Subulussalam. Kini makamnya dirawat dan dijaga dengan baik, namun sangat
disayangkan kini telah terjadi vandalism (kerusakan) berupa pengecatan
pada nisan makam, sehingga menyebabkan hilang nilai historis dan
keaslian makam.
Foto: Makam Hamzah Fansuri
2. Syamsudin al-Sumatrani
Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin Al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab. Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga ia diangkat sebagai pembantu dekatnya, Seorang pelawat Eropa yang berkunjung ke Aceh mengatakan bahwa Syamsudin sebagai bishop yang berarti seseorang mempunyai kedudukan tinggi di istana Aceh. Di samping itu ia seorang ahli politik dan ketatanegaraan seperti Bukhari al-Jauhari pengarang kitab Tajul al-Salatin (T. Iskandar, 1987)
Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin Al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab. Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga ia diangkat sebagai pembantu dekatnya, Seorang pelawat Eropa yang berkunjung ke Aceh mengatakan bahwa Syamsudin sebagai bishop yang berarti seseorang mempunyai kedudukan tinggi di istana Aceh. Di samping itu ia seorang ahli politik dan ketatanegaraan seperti Bukhari al-Jauhari pengarang kitab Tajul al-Salatin (T. Iskandar, 1987)
Dalam
penulisan sastra, peranan Syamsudin terutama dalam upayanya
mengembangkan kritik sastra secara hermenuitika sufi (ta’wil) yang telah
berkembang sejak abad 11 M. Karyanya yang menggunakan metode ta’wil ini
tampak dalam risalahnya yaitu Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri.Ta’wil
merupakan metode penafsiran sastra yang melihat teks puisi sebagai
ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis
(makna lahir, makna bathin, dan makna isyarah atau sugestif). Bahasa
Melayu yang digunakan Syamsudin dalam karyanya tidak jauh berbeda dari
bahasa Melayu yang digunakan penulis kitab sastra dalam abad 17-19 M.
Karya-karyanya antara lain adalah:
-. Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
- Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
- Kitab al-Haraka,
- Mir’at al-Iman,
- Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
- Mir’at al- Muhaqqiqin,
- Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
- Thariq al-Salihin, dan lain-lain.
-. Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
- Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
- Kitab al-Haraka,
- Mir’at al-Iman,
- Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
- Mir’at al- Muhaqqiqin,
- Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
- Thariq al-Salihin, dan lain-lain.
Ajaran
yang dibawa Syamsudin ini berakar pada pada ajaran Ibnu ‘Arabi dan
menganut faham martabat tujuh yang diperoleh dari Al-Tufah al- Mursalah
ila Ruhin Nabi, karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India.
Sultan Iskandar Muda sangat tertarik dengan ajaran tasawuf yang dibawa
oleh Syamsudin Pasai sehingga beliau termasuk salah seorang pengikut
faham wujudiyah. Sejumlah karyanya yang dipersembahkan untuk sultan
Iskandar Muda antara lain Kitab Thariq al-Salihin dan Nur al-Daqaiq.
Syamsudin Pasai meninggal dunia pada tahun 1630 M. bertepatan dengan
Armada Aceh mengalami kekalahan di Malaka.
3. Nuruddi Ar-Raniri
Ulama
dan sastrawan ini berasal dari Ranir, lahir pada tahun 1568 M. di
sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat.(Windstedt, 1968: 145; Ahmad
Daudy, 1983: 49). Ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut.
Sedangkan ibuya adalah seorang Melayu. Ar-Raniri lebih dikenal sbagai
ulama besar Melayu-Indonesia daripada India dan Arab. Karena sejak kecil
sudah tertarik dan senang mempelajari bahasa melayu, sehingga tumbuhlah
ia menjadi seorang yang sangat mencintai dunia Melayu. Iapun telah
mengabdikan dirinya demi kepentingan Islam di Nusantara dengan mendapat
kepercayaan dari seorang sultan pada kesultanan Aceh. Hatinya sangat
tertarik dengan dunia Melayu. Setelah beberapa lama menimba ilmu ke
Timur Tengah, ia berangkat ke Aceh pada tahun 1637 M. dan mendapat
kepercayaan dari sultan Iskandar Thani, sebagai Syaikhul Islam. Setelah
mendapat posisi yang kuat di Aceh, Ar-Raniri kemudian melancarkan
pembaharuan Islam dengan radikal. Ia menentang paham Wujudiyah yang
dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Ar-Raniri menuduh
mereka berdua telah sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Orang-orang
yang menolak melepaskan keyakinannya yang sesat akan dibunuh, dan
banyak buku/kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar.
Dalam
pembaharuannya, Ar-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan wacana
keagamaan yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan
pengikut Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat
bertolak pada syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang dianutnya tidak
hanya penekanan pada tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum
Muslim Nusantara dasar-dasar keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan
agama, pentingnya hadis, serta sejarah. Untuk menjelaskan semua itu, ia
menerjemahkan dan menyusun kitab-kitab yang membahas berbagai macam
pengetahuan dan sastra sesuai dengan kondisi umat Islam-pada saat itu.
Karya-karyanya cukup banyak lebih dari 40 kitab antara lain :
- Sirat- al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
- Daral al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
-Lata’ih al-Asrar,
- Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
- Umdat al- I’tiqad,
-Hujaj al-Sidiq,
-Jauhar al-‘Ulum,
- Ma’al Hayat, dan lain-lain.
- Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja), nama lengkapnya kitab ini adalah Bustanu al-Salatin fi al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas permintaan Sultan Iskandar Thani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan sejarah. Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari. Kitab Bustanussalatin ini tidak hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja tetapi juga memuat eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan fikih, tasawuf dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini tidak diterbitkan secara utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam buku terpisah. Kitab Bustanussalatin ini sangat penting sebagai sumber penulisan sejarah Aceh yang mengisahkan tentang Sultan Iskandar Thani, Taman Raja yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda.
- Sirat- al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
- Daral al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
-Lata’ih al-Asrar,
- Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
- Umdat al- I’tiqad,
-Hujaj al-Sidiq,
-Jauhar al-‘Ulum,
- Ma’al Hayat, dan lain-lain.
- Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja), nama lengkapnya kitab ini adalah Bustanu al-Salatin fi al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas permintaan Sultan Iskandar Thani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan sejarah. Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari. Kitab Bustanussalatin ini tidak hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja tetapi juga memuat eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan fikih, tasawuf dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini tidak diterbitkan secara utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam buku terpisah. Kitab Bustanussalatin ini sangat penting sebagai sumber penulisan sejarah Aceh yang mengisahkan tentang Sultan Iskandar Thani, Taman Raja yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda.
Ada
beberapa kitab tasawuf yang dikarangnya berisi hujatan dan kecaman pada
Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani. Peranan Ar-Raniri cukup
besar dalam pembentukan tardisi keilmuan yang bercorak ortodoksi di
Nusantara. Usaha pembaharuan Ar-Raniri tidak berlangsung lama karena
reputasinya tergusur oleh murid dan pengikut Hamzah dan Syamsudin.
Setelah Sultan Iskandar Thani wafat Nuruddin Ar-Raniri meninggalkan Aceh
dan kembali nke tanah airnya. Namanya kini diabadikan pada sebuah
Perguruan Tinggi Islam yaitu “Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri”.
Foto : Kitab Bustanussalatin
4. Abdul Rauf al-Singkili
Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan lahir tahun 1615 M. Ayahnya Syech Ali Fansuri masih bersaudara dengan Syech Hamzah Fansuri. Beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramayn. Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin Abdul Rauf ini diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan Ar-Raniri menentang menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain. Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya menuduh orang lain sesat atau kafir.
Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan lahir tahun 1615 M. Ayahnya Syech Ali Fansuri masih bersaudara dengan Syech Hamzah Fansuri. Beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramayn. Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin Abdul Rauf ini diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan Ar-Raniri menentang menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain. Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya menuduh orang lain sesat atau kafir.
Tarekat
yang dijalankan Abdul Rauf adalah tarekat Syatariyah karena mengikuti
dan telah mendapat ijazah dari gurunya Ahmad Al-Qusyasyi, sehingga nama
beliau tercantum pada silsilah Syatariyah di Aceh. Bahkan nama Qusyasyi
begitu dikenal dan melekat di daerah Sumatera dan Jawa, bahkan tarekat
Syatariyah ini dalam naskah-naskah tertentu disebut tarekat Qusyasyiyah.
Abdul-rauf ini aktif menulis karya-karya keagamaan yang membahas masalah fikih, ilmu kalam, tasawuf dan tafsir.
Karya-karyanya antara lain:
- Mir’atu ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah
- Umdatul Muhtajin ila suluki Maslah al-Mufridin
- Kifayat al- Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir
- Li’l Malik al-Wahhab
- Turjumun al- Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al- Wujud
Karya-karyanya antara lain:
- Mir’atu ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah
- Umdatul Muhtajin ila suluki Maslah al-Mufridin
- Kifayat al- Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir
- Li’l Malik al-Wahhab
- Turjumun al- Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al- Wujud
Ulama
Abdul Rauf ini seorang yang giat mengembangkan pemikiran dan penyebaran
Islam dan banyak mencetak murid-murid yang juga memainkan peranan
penting dalam penyebaran islam di berbagai daerah, sehingga menyebabkan
jangkauan pengaruh Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya mengajarkan dan
mengembangkan agama Islam terus dilakukan, di dayahnya bernama Rangkang
Teunku Syiah Kuala di Pantai Kuala, yang merupakan salah satu
dayah/rangkang yang banyak menghasilkan ulama-ulama yang berkwalitas
sebagai penerusnya. Antara lain muridnya yang terkenal adalah Syech
Burhanuddin dari Minangkabau yang turut berkiprah menyebarkan agama
Islam di Minangkabau. Syech Abdul Rauf meninggal dan dimakamkan di kuala
raya Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.
Ketika
terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh, makam ini rusak ringan dan
kedua nisannya dalam keadaan patah lelah. Kemudian oleh pihak Yayasan
Yamsika telah melakukan perbaikan dengan cara mengecor nisan tersebut
lalu dipasangkan pada jirat makam. Hal itu dilakukan secara sepihak
tanpa ada koordinasi sebelumnya dengan Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Banda Aceh dan instansi terkait lainnya. Sehingga tindakan ini
telah menyalahi dari prinsip teknis pemugaran, dan perlindungan cagar
budaya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2011
tentang cagar budaya.
Foto:
Kaligrafi arab berbunyi: “Al-Waly al-Mulky al-Haj Syech Abdul-Rauf bin
Aly, dalam khat Thulust yang terukir pada jirat Makam Tgk. Syiah Kuala
Foto: Kondisi Makam Syech Abdul Rauf setelah rekonstruksi pasca tsunami
Foto: Kondisi Makam Syech Abdul Rauf setelah rekonstruksi pasca tsunami
0 komentar:
Posting Komentar