Gedung Naskah Linggarjati
Jika mendengar kata “linggarjati”
apa yang terbersit dalam pikiran kita? Sebagian besar pasti akan
teringat tentang Perjanjian Linggarjati. Memang benar, karena kali ini
kita akan berkenalan lebih dekat dengan Kawasan Cagar Budaya
Linggarjati.
Kawasan Cagar Budaya Linggarjati
adalah kawasan dimana terdapat satu bangunan lama bekas hotel yang
menjadi tempat terjadinya perundingan antara Indonesia dengan Belanda.
Perundingan tersebut berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13
November 1946. Bangunan tempat berlangsungnya perundingan ini kemudian
dikenal dengan nama Gedung Naskah Linggarjati atau juga biasa disebut
Gedung Perundingan Linggarjati.
Nilai penting sejarah Gedung Naskah Linggarjati,
khususnya terletak pada tahapan perundingan antara Republik Indonesia
dengan Belanda. Hal ini memberi satu ruang yang positif bagi Republik
Indonesia. Di setiap perundingan diplomatik yang dimulai sejak tahun
1946, dengan perantara Inggris dan Amerika Serikat (Perjanjian Hoge
Veluwe, Linggarjati, Renville, dan Kaliurang),
sesungguhnya Belanda telah mengakui Republik Indonesia secara de facto.
Isi pokok perundingan Linggarjati terdiri dari 17 pasal, yang sangat
strategis bagi Republik Indonesia. Pasal-pasal tersebut antara lain
adalah adanya pengakuan Belanda secara de facto tentang wilayah
kekuasaan Republik Indonesia yang meliputi Sumatra, Jawa, Madura;
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik
Indonesia; Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia-Belanda.
Pokok-pokok
isi perjanjian Linggarjati tersebut kemudian dilanjutkan pada
perundingan-perundingan berikutnya, untuk mencapai kesepakatan
“permanen” yang diterima oleh kedua belah pihak. Terkait dengan itu,
perundingan Renville yang dilaksanakan pada bulan Desember 1947 –
Januari 1948, berisi tentang penegasan kembali prinsip-prinsip
persetujuan Linggarjati, yakni pengakuan de facto atas Republik
Indonesia, serta masa peralihan dan pembentukan Uni Indonesia-Belanda.
Setelah itu, perjanjian penting berikutnya adalah Konferensi Meja Bundar
yang berlangsung pada bulan Agustus – November 1949, yang intinya
menegaskan bahwa Belanda menandatangani kesepakatan pengalihan
kedaulatan kepada Republik Indonesia.
Selain
Gedung Naskah Linggarjati, di kawasan ini terdapat satu bangunan lain
yang juga berkaitan dengan proses perundingan, yaitu bangunan yang
sekarang dikenal dengan nama Gedung Syahrir. Jika bangunan Linggarjati
digunakan sebagai tempat perundingan dan menginap penengah perundingan,
yakni Lord Killearn dan delegasi dari pihak Belanda yang dipimpin Prof.
Schermerhorn, adapun Gedung Syahrir dipakai sebagai tempat menginap
delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, sekaligus tempat
wartawan menyusun naskah liputannya yang akan dikabarkan ke dunia
internasional. Dari Gedung Naskah Linggarjati ke Gedung Syahrir
kira-kira berjarak 2 km ke arah tenggara.
Dengan melihat nilai sejarah bangunan yang cukup tinggi ini maka Gedung Naskah Linggarjati
ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh
undang-undang. Penetapan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 133M/1998 tanggal 16 Juni 1998.
0 komentar:
Posting Komentar