Kalau
kita tidak memahami kenyataan (realitas) apa adanya, di sana sudah
terjadi konflik. Setiap respons pikiran terhadap kenyataan selalu
menimbulkan konflik, karena pikiran menghalangi pemahaman terhadap
kenyataan seutuhnya. Latar belakang pengalaman, pikiran, keinginan, atau
harapan mendistorsi kenyataan.
Penolakan atas kenyataan dan keinginan untuk menjadi lain dari kenyataan apa adanya, menciptakan konflik dalam batin. Konflik
batin ini kemudian terproyeksi dalam konflik antarpribadi dan konflik
sosial. Adalah fakta bahwa aku marah, aku ambisius, aku iri, aku minder,
aku takut, aku suka seks, aku suka kekuasaan, aku menderita, aku
depresi, aku rapuh, aku terluka, dan seterusnya. Seluruh daya upaya
untuk mengendalikan, menekan, menutupi atau menolak, tidak mengubah
fakta.
Kita
menyenangi proses-menjadi, karena kita enggan menghadapi fakta. Kita
mengatakan, ”aku ingin tidak menderita,” ”aku berharap menjadi lebih
sabar,” ”aku ingin tertib.” Penderitaan, kemarahan, kekacauan adalah
fakta; kebahagiaan, kesabaran, ketertiban bukanlah fakta. Kebahagiaan
hanyalah proyeksi pikiran yang kita ciptakan, kita kejar, dan kita tidak
pernah mendapatkannya. Proses-menjadi adalah pengingkaran atas
kenyataan. Proses itu menciptakan kontradiksi dan menambah konflik baru.
Hidup
kita adalah kisah pengendalian diri atau pendisiplinan diri untuk
mengejar pola ideal tertentu. Terjadi pengendalian diri, karena tidak
terdapat pemahaman diri. Aku apa adanya ini dipandang buruk dan aku yang
ideal dipandang baik. Lalu aku berjuang mendisiplinkan diri yang buruk
untuk mencapai diri yang baik.
Aku
membuat pemisahan baik dan buruk. Mengapa membuat pembedaan baik dan
buruk? Bila batin sadar secara total, waspada, terjaga; maka tidak ada
yang disebut baik dan buruk. Yang ada hanyalah perhatian penuh, keadaan
cinta, keadaan bangun.
0 komentar:
Posting Komentar