Jumat, 12 Desember 2014

Ragam Pinisi pada Masyarakat Bugis

Untitled_1392867852.png
Perahu bagi masyarakat suku bangsa Bugis Makassar menjadi amat penting, karena berkaitan dengan mata pencaharian suku bangsa ini. Secara umum mereka bekerja sebagai nelayan di laut atau saudagar yang merantau, dan mencari daerah baru. Pengetahuan tentang perahu dimulai dengan adanya sampan-sampan kecil yang berkembang menjadi lebih maju.
Ada beragam pinisi yang dipakai oleh masyarakat Bugis. Ditengarai dimulai dengan adanya perahu jenis Pa’dewekang yaitu jenis perahu yang telah dilengkapi dengan berbagai keperluan untuk persiapan perjalanan jauh. Pada masa lampau perahu jenis ini digunakan oleh orang Bugis dan Makassar dalam pelayaran mereka menuju pantai utara benua Australia.
Keahlian membuat perahu dikuasai oleh orang-orang dari daerah Ara, Lemo-lemo dan Bira. Keahlian dari orang-orang di tiga daerah ini dikuatkan oleh adanya mitos Sawerigading dimana kapal Sawerigading lunasnya terdampar di pantai Ara, sottingnya terdampar di pantai Lemo-lemo dan tali temalinya di pantai Bira. Oleh karena itu keahlian membuat perahu hanya dimiliki oleh orang-orang dari ketiga daerah dimana terdamparnya perahu Sawerigading.
Berbagai bentuk dan jenis ini akan sesuai dengan fungsinya masing-masing berkaitan dengan aktivitas yang dilaksanakannya. Jenis-jenis perahu yang dapat ditemui pada masyarakat di Sulawesi Selatan antara lain adalah:
Sampan, biasanya dibuat dari batang kayu yang besar , dengan cara dipahat/dikeruk untuk mendapat rongga memanjang. Rongga  atau ruang ini untuk penumpang dan barang. Pada bagian depan dan belakang runcing dan tipis dengan maksud agar dapat bergerak cepat. Sampan atau biasanya di Sulawesi Selatan disebut lepa-lepa digunakan untuk menangkap ikan (memancing atau menjala) dan hanya dinaiki oleh dua atau tiga orang. Jenis inilah yang banyak dijumpai di gua-gua dalam bentuk lukisan.
Soppe, jenis perahu yang sudah lama berkembang dan digunakan oleh masyarakat sejak jaman pra sejarah. Jenis perahu inilah yang diduga para ahli sebagai perahu tua yang digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dalam usahanya untuk bermigrasi mencari daerah yang lebih aman. Perahu soppe biasanya disebut juga dengan perahu bercadik. Bentuknya menerupai jenis perahu sampan, tetapi dibuat  lebih panjang dan lebih besar. Pada bagian sisi kanan dan kirinya dibuat alat keseimbangan yang disebut dengan cadik dan dibuat dari batang bambu. Untuk penyangga cadik biasanya dibuat dari kayu agar lebih tahan lama. Perahu soppe biasanya dilengkapi dengan layar berbentuk segitiga untuk penggerak laju perahu. Perahu-perahu semacam ini dapat disaksikan hampir di seluruh Indonesia tetapi tentunya dengan nama-nama yang berbeda-beda.
Jarangka, perahu ini bentuknya seperti perahu soppe tetapi lebih besar dan dinding kanan kiri terdapat dinding yang lebih tinggi disertai atap yang terbuat dari daun atau papan sebagai tempat berteduh. Perahu ini mempergunakan sebuah layar yang berbentuk segi empat da nada juga yang mempergunakan dua buah layar lebar.
Sande atau Sandeq, yaitu perahu yang merupakan milik orang Mandar. Bentuk dari perahu ini hampir sama dengan jenis soppe, tetapi lambungnya agak ramping sehingga gerakannya  lebih cepat dan lincah. Pada bagian kanan dan kirinya terdapat cadik yang panjang . bagian haluan dan buritannya mencuat ke atas dan layar perahu jenis ini berbentuk segitiga.

Pa’dewakang, perahu jenis ini diduga muncul pada masa awal perkembangan Islam, atau paling lambat pada abad ke-18 dan merupakan tipe utama dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Perahu ini merupakan cermin teknologi baru dalam pembuatan perahu. Perahu Pa’dewakang tidak dibuat dari satu batang kayu tetapi dibuat dari papan-papan dengan memakai lunas. Pada perahu ini terdapat dua buah layar yaitu layar yang berbentuk segi empat, lebar dibagian tengah, sedangkan di bagian depan dipasang layar berbentuk segi tiga yang lebih kecil. Daya angkut perahu jenis ini mencapai 10 ton. Dengan perahu niliah kira-kira abad ke-16 digunakan oleh orang Makassar untuk mencapai benua Australia dalam usahanya mencari tripang, kerang dan mutiara. Pada perkembangan kerajaan Goa, Somba Opu, orang-orang Makassar telah menggunakan perahu jenis ini untuk berdagang ke timur dan barat.

Lambok, perahu jenis ini adalah perahu khas milik orang Mandar dan orang Buton. Bentuknya seperti sekoci dengan buritan bulat, sedangkan haluanya runcing dan mencuat ke atas. Perahu ini mempunyai daya angkut 15 - 60 ton.
Pajala dan Patorani, kedua perahu ini mempunyai bentuk yang hampir sama. Perahu ini berlayar dengan menggunakan layar segi empat dengan sebuah tiang layar yang besar. Daya angkut dari perahu jenis ini adalah sekitar 4 ton.
Salompong, adalah sejenis perahu berukuran besar dengan layar berbentuk persegi empat besar dengan tiang penyangga layar berada di depan perahu.
Pinisi, jenis perahu ini pada dasarnya tidak hanya semata sebagai alat transportasi untuk mengangkut orang dan barang, akan tetapi lebih kearah pada simbol keperkasaan, kemajuan dan kebanggaan bagi masyarakat sukubangsa Bugis. Sehingga pembuatan perahu ini harus  disertai dengan segala macam mitos dan ritual. Semangat dari orang Bugis ini terpampang pada suatu pepatah yang telah mendarah daging bagi masyarakat, yaitu “kualleangi tallang na towella” yang berarti “lebih baik tenggelam daripada surut kembali sebelum tujuan tercapai (mencapai tujuan).”
Beberapa tahapan dalam proses pembuatan perahu menjadi sangat penting bagi proses pembuatan perahu itu sendiri, dan tahapan ini akan selalu diikuti untuk menghasilkan sebuah perahu yang baik dan laik berlayar. Disini diuraikan beberapa tahapan dalam proses pembuatan perahu Pinisi bagi orang Bugis.
1. Persiapan awal pembuatan perahu adalah penebangan pohon yang sudah dipilih sesuai dengan peruntukkannya dan yang terpenting adalah mencari pohon untuk pembuatan lunas perahu serta dua buah penyambungnya untuk ke depan dan ke belakang. Penebangan ohon dilakukan pada saat-saat yang tepat, baik hari maupun jam (saat) penebangan, dan biasanya dilakukan sebelum ada tengah hari, karena ketika tengah hari menurut keyakinan orang Bugis adalah sangat dipantangkan untuk memotong kayu. Untuk bagian-bagian tertentu dari perahu biasanya dipilih kayu yang telah terbentuk secara alami. Pohon-pohon yang melengkung merupakan pilihan utama untuk membuat rangka perahu. Kemudian dilakukan pembuatan konstruksi bawah perahu.
2. Pembuatan lunas (kalabisiang) merupakan bagian yang terpenting karena bagian ini merupakan yang rawan terhadap kebocoran. Lunas terbuat dari balok kayu jati yang berukuran sekitar 30 – 40 cm. setelah lunas selesai dibuat kemudian dilakukan persiapan untuk penyambungan. Teknik penyambungan ada dua macam yaitu teknik laso (sambungan masuk) dan teknik jembatan (teknik tumpuk). Untuk memperkuat sambungan dipergunakan pasak kayu, tetapi sekarang pasak kayu diganti dengan pasak dari besi (baut dan mur). Kemudian juga disiapkan pengepak (merupakan suatu bagian yang mempertemukan dinding perahu bagian kanan dan kiri yang terletak miring pada lunas), uru sangkara (papan pertama), sotting (dasar perahu bagian depan dan belakang) dan kanjai.
3. Pemasangan papan dasar (terasal). Papn termasuk bagian dasar perahu. Ketebalannya akan berbeda satu dengan  lainnya, dan papan-papan yang berada dibagian bawah harus lebih tebal daripada papan yang ada di atasnya. Papan terasal  dipasang setelah selesai pemasangan pengepak, pemasangan mula sangkara (papan pertama) dan papan kanjai. Papan-papan terasal  disambung dengan system pen dan setiap pen berjarak 15-20 cm.
4. Pemasangan rangka. Pemasangan rangka perahu bertujuan untuk memperkuat dinding perahu yang terdiri dari balok-balok dan papan kayu di bagian bawah dengan berbagai ukuran. Tahap pemasangan rangka ini dimulai dari bawah dan semakin ke atas semakin tipis. Kegiatan yang penting dalam tahap ini adalah:
    1. Kelu, yaitu balok (tulang yang paling bawah) yang berbentuk sebagai pengikat papan terasal.
    2. Penyambung kelu (gading)
    3. Saloro (balok rangka di antara kelu, tulang atau penguat pada bagian kiri dan kanan perahu) penyambung saloro
    4. Lepe (galar, kayu yang merangkai gading-gading)
    5. Lepe kalang (tempat kalang bertumpu)
    6. Lepe batang (lepe pada bagian perut perahu)
    7. Taju (tempat pengikat kawat dan tali-tali perahu), pengikat lunas (depan, belakang dengan papan terasal)
 5. Setelah dilakukan pemasangan rangka perahu dan diding perahu, selanjutnya dikerjakan bagian belakang perahu. Pada bagian ini penting karena di tempat itu terdapat bagian kemudi yang merupakan ‘jantung’ perahu. Setelah bagian belakang selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan bagian yang menghubungkan lamma (papan lemah, dinding perahu bagian atas) dengan lunas depan dan belakang. Lalu dilanjutkan dengan pembuatan anjungan, pembuatan bagian tiang agung dan pembuatan sambungan-sambungan papan dan mendempulnya.
 
Pembuatan perahu pinisi tentunya tidak akan lepas dari bahan pembuatan perahu itu sendiri yang berupa kayu-kayu yang telah dibuat papan-papan dengan ukuran panjang dan lebar yang telah ditentukan. Dalam pembuatan perahu ini diperlukan 126 papan kayu jati yang pemasangannya dapat dirinci sebagai berikut:
  1. Susunan pertama dua lembar
  2. Susunan kedua enam lembar
  3. Susunan ketiga delapan lembar
  4. Susunan keempat terdiri dari papan-papan penghubung ada yang ukuran panjang dan papan-papan pendek yang dipergunakan sebagai penghubung antara papan dengan sotting (linggi).
  5. Susunan kelima sepuluh lembar
  6. Susunan keenam sepuluh lembar
  7. Susunan ketujuh sepuluh lembar
  8. Susunan kedelapan dua belas lembar
  9. Susunan kesembilan empat belas lembar
  10. Susunan kesepuluh enam belas lembar
  11. Susunan kesebelas delapan belas lembar
  12. Susunan keduabelas sepuluh lembar

0 komentar:

Posting Komentar