Kata
Lampung sendiri berasal dari kata "anjak lambung" yang berarti berasal
dari ketinggian dan seperti diketahui bahwa kaki gunung Pesagi dan
dataran tinggi Sekala brak, Lampung Barat yang menjadi tempat asal mula
suku Lampung atau Ulun Lampung adalah puncak tertinggi di tanah
Lampung. Karena kebutuhan untuk memenuhi hidup yang sudah tidak
terpenuhi lagi di dataran tinggi Sekala Brak, maka kelompok demi
kelompok meninggalkan Sakala Berak menurun ke lembah dengan mengikuti
aliran sungai. Kelompok atau kaum tersebut kemudian membentuk buwai.
Catatan
lain menyebutkan bahwa perpindahan suku asli lampung disebabkan adanya
penyerangan dari luar, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Kuntara Raja
Niti, bahwa orang-orang Bajau (perompak laut) datang menyerang,
akhirnya Keratuan Pemanggilan menjadi pecah. Sedangkan warganya beralih
tempat meninggalkan Skala Berak menuju ke daerah dataran rendah Lampung
sekarang.
Sejak saat itu, Ulun Lampung menjadi beberapa buwai
yang kemudian menjadi Sub-suku Lampung seperti sekarang ini, yaitu
Komering, Peminggir Teluk/ Semangka/ Pemanggilan, Melinting/ Meninting,
Way Kanan, Sungkai, Pubian, Abung, dan Tulang bawang. Termasuk juga
Ranau dan Lampung Cikoneng. Catatan asal usul ini masih sangat perlu
didukung data-data autentik dan tersurat dalam catatan/ dokumen yang
tertulis di kulit-kulit pohon yang mungkin banyak tersimpan seantero
kampung tua yang ada di Lampung. Termasuk di daerah Ranau maupun
Komering.
Di Lampung juga mengenal sebutan masyarakat adat Saibatin atau Pesisir,
yaitu pribumi suku Lampung yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa
menggunakan kursi Pepadun. Sebagian besar dari mereka berdiam ditepi
pantai, maka masyarakatnya disebut adat Pesisir. Sementara, masyarakat
beradat Pepadun, yakni pribumi suku Lampung yang melaksanakan
musyawarah adatnya menggunakan kursi Pepadun. Adat Pepadun, adat
istiadat pribumi Lampung Abung Siwo Mego; Abung Siwo Megou, Pubian Telu
Suku (termasuk Pubian Dua Suku di Pesawaran) dan Megou Pak Tulang
Bawang. Pepadun, tahta kedudukan penyimbang atau tempat seorang duduk
dalam kerajaan adat. Pepadun biasanya digunakan saat pengambilan gelar
kepenyimbangan (pimpinan adat).
Pertumbuhan
penduduk asli atau Ulun Lampung terhitung sangat lambat, bukan oleh
karena kesehatan yang kurang baik, tapi karena adanya peraturan
perkawinan yang ketat. Wanita asli Lampung akan dikawinkan ketika telah
berumur 18 tahun, sedangkan pria ketika sudah melebihi usia 21 tahun.
Kecuali dalam keadaan khusus yang disebabkan adanya kepentingan
kekerabatan adat yang mendesak, kehilangan punyimbang / sebatin, atau karena persoalan waris.
Selain
karena adanya peraturan perkawinan harus cukup umur, dalam masyarakat
Lampung jarang terjadi perceraian atau mengawini janda, jika tidak
karena terpaksa. Misalnya di lingkungan masyarakat beradat pepadun,
penceraian merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum adat.
Perkawinan lebih dari satu atau poligami pun sangat jarang terjadi,
hanya terjadi di kalangan orang yang mampu atau pemuka adat.
Dalam menjalin hubungan sosial, Ulun Lampung, sekali pun masih anak-anak, mereka memakai nama besar yang disebut juluk. Setelah berumah tangga, ia memakai nama tua atau gelar yang disebut adok bagi laki-laki dan inai bagi
perempuan. Secara kehidupan orang Lampung sebenarnya sangat sederhana,
namun mereka suka mendapat pujian dan gemar menerima tamu atau nemui, juga gemar memberi hadiah pada kerabat atau nyimah. Selain pada sesama kerabat, mereka pun suka melakukan kunjung mengunjung atau negah, suka berkenalan satu sama lain atau nyapur, serta berbincang-bincang dan bermusyawarah hingga lupa waktu. Intinya Ulun Lampung sangat solider dan suka bersosialisasi.
Sifat suka bersosialisasinya bisa kita temukan dalam pandangan hidupnya yang kuat. Dicerminkan dalam bahasa daerah yang disebut Pi-il Pesenggiri, urutan pengertiannya seperti berikut: Pi-il Pesenggiri (rasa harga diri), Jutuk adek (bernama bergelam), Memui nyimah (terbuka tangan), Nengah nyampur (hidup bermasyarakat), Sakai Sambayan (tolong menolong).
Dalam menghadapi masalah, orang Lampung berpegang pada; “ulah pi-il jadai wawai” dan “ulah pi-il menguwai jahlel”
yang berarti; “karena pi-il menjadi baik” dan “karena pi-il membuat
jahat”. Jadi jika suatu masalah diselesaikan secara baik-baik dengan
orang Lampung, maka mereka akan bertoleransi tinggi, namun jika suatu
masalah tidak diselesaikan dengan baik, orang Lampung akan sekuat tenaga
mempertahankan harga dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar