
Suku Osing atau disebut juga sebagai “wong Blambangan”
ini berawal sejak berakhirnya masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun
1478 M. Jatuhnya kekuasaan Majapahit ini membuat beberapa warganya
berlari ke beberapa tempat, diantaranya menuju Gunung Bromo, Bali, dan
Blambangan (tempat suku Osing) salah satunya. Hingga lahirlah kerajaan
Hindu-Budha terakhir di sana.
Kepercayaan
Jika
diperhatikan dari sejarahnya, suku Osing awalnya memeluk ajaran
Hindu-Budha yang diyakini sebagai agama mereka seperti halnya kerajaan
Majapahit. Sampai pada berkembangnya agama Islam di sekitaran Pantura,
suku Osing perlahan jadi memeluk Islam. Bahkan Kyiai memiliki otritas
utama dalam hal iman. Namun tidak hanya itu, pada suku Osing sebagian
maysarakatnya juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma,
yaitu kepercayaan yang kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti
orang Cina dan Pamu. Sistem kepercayaan di suku Osing pun masih
mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.
Bahasa
Seperti
yang telah dijelaskan di awal, bahwa suku Osing adalah penduduk asli
Jawa Timur akibat dari berakhirnya kerajaan Majapahit, tentu bahasa yang
digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Meski begitu, mereka menggunakan
dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Ada penekanan
khusus pada kata-kata yang didahului konsonan (B, D, G) dan diberi
sisipan (Y). Contohnya jika ingin menyebutkan kata “Abang” maka berubah
menjadi “Abyang”.
Sosial-Ekonomi
Dilihat
dari letak Demografi, suku Osing ini berdekatan dengan Jawa, Madura,
dan Bali. Kedekatan letak demografi ini memengaruhi beberapa sistem
organisasi, kebudayaan, juga kesenian di sana. Pola kekeluargaan dan
kemasyarakatan suku Osing sama dengan suku-suku di Jawa yang lain, mulai
dari perumahan, makanan, dan kesehatan yang sangat bersifat kejawaan.
Suku Osing sering dibandingkan dengan kebudayaan Bali, seperti baju
adat, gaun pengantin, dan lainnya. Namun pada hal ini stratifikasi
sosial, sistem kasta yang lekat dengan kebudayaan Bali tidak berlaku di
suku Osing. Ini terjadi karena pengaruh Islam sangat kuat di sana.
Pola
kekerabatan yang terbentuk di suku Osing adalah bilateral yang lebih
mengarah pada pola patrilineal, sesuai dengan pola pada umumnya
masyarakat yang menganut agama Islam. Di suku Osing kini, lembaga
masyarakat yang terbentuknya mulai dari kepala desa, sekretaris desa,
LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.
Apabila
diperhatikan dari letak topografi, secara umum suku Osing yang berada
di lereng gunung berapi memiliki mata pencaharian sebagai petani dan
pekebun. Macam-macam jenis hasil pertanian yang terdiri dari atas padi,
jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang
panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil
perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga,
durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing. Ada pula
masyarakat yang berternak juga berdagang, sehingga mata pencaharian di
suku Osing ini beragam. Bahkan dari hasil industri saja, terdapat banyak
hasil tenu, plismet, ukiran, dan kerajinan barang lainnya. Jika kita
tarik ke daerah Kemiren maka mata pencaharian masyarakatnya banyak yang
menuju pada kepemerintahan, seperti ABRI, guru, pekerja swasta, buruh
tani, buruh biasa, dan buruh jasa.
Pada
dasarnya sebagai petani dan peternak, orang-orang Osing memiliki
kemampuan yang tiak terlalu mahir bahkan masih sangat tradisional. Oleh
karena itu, mereka membutuhkan pelatihan dan pengenalan teknologi
berskala kecil yang tepat untuk meningkatkan produktivitas mereka.
Adapun beberapa perlengkapan yang kini telah digunakan adalah sebagai
berikut:
- Perlengkapan alat mata pencaharian: teter, singkal, patuk sangkan, boding, parang, kilung.
- Perlengkapan berlindung: jenis rumah tikel balung, baresan, serocokan dengan dilengkapi amperan, bale, dan pawon.
- Senjata: pedang, keris, cundik, tolop, tolop sekop.
Suku
Osing adalah suku yang memiliki campuran kebudayaan, kesenian yang
beragam, ditambah dengan kultur masyarakat di sana yang begitu ramah,
gotong royong yang masih terjaga,kerja bakti, silaturahmi, bahkan saling
berkunjung dan sumbang menyumbang masih dilakukan. Keragaman ini
membuat daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren dijadikan sebagai tujuan
wisata yang masih menjaga nilai-nilai budaya suku Osing oleh pemerintah
setempat. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering
diadakan di desa Kemiren.
0 komentar:
Posting Komentar