Kamis, 11 Desember 2014

Suku Osing, Banyuwangi – Jawa Timur

rumah-osing.jpg
Suku Osing atau disebut juga sebagai “wong Blambangan” ini berawal sejak berakhirnya masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Jatuhnya kekuasaan Majapahit ini membuat beberapa warganya berlari ke beberapa tempat, diantaranya menuju Gunung Bromo, Bali, dan Blambangan (tempat suku Osing) salah satunya. Hingga lahirlah kerajaan Hindu-Budha terakhir di sana.
Kepercayaan
Jika diperhatikan dari sejarahnya, suku Osing awalnya memeluk ajaran Hindu-Budha yang diyakini sebagai agama mereka seperti halnya kerajaan Majapahit. Sampai pada berkembangnya agama Islam di sekitaran Pantura, suku Osing perlahan jadi memeluk Islam. Bahkan Kyiai memiliki otritas utama dalam hal iman. Namun tidak hanya itu, pada suku Osing sebagian maysarakatnya juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan yang kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina dan Pamu. Sistem kepercayaan di suku Osing pun masih mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.
Bahasa
Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa suku Osing adalah penduduk asli Jawa Timur akibat dari berakhirnya kerajaan Majapahit, tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Meski begitu, mereka menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Ada penekanan khusus pada kata-kata yang didahului konsonan (B, D, G) dan diberi sisipan (Y). Contohnya jika ingin menyebutkan kata “Abang” maka berubah menjadi “Abyang”.

Sosial-Ekonomi
Dilihat dari letak Demografi, suku Osing ini berdekatan dengan Jawa, Madura, dan Bali. Kedekatan letak demografi ini memengaruhi beberapa sistem organisasi, kebudayaan, juga kesenian di sana. Pola kekeluargaan dan kemasyarakatan suku Osing sama dengan suku-suku di Jawa yang lain, mulai dari perumahan, makanan, dan kesehatan yang sangat bersifat kejawaan. Suku Osing sering dibandingkan dengan kebudayaan Bali, seperti  baju adat, gaun pengantin, dan lainnya. Namun pada hal ini stratifikasi sosial, sistem kasta yang lekat dengan kebudayaan Bali tidak berlaku di suku Osing. Ini terjadi karena pengaruh Islam sangat kuat di sana.
Pola kekerabatan yang terbentuk di suku Osing adalah bilateral yang lebih mengarah pada pola patrilineal, sesuai dengan pola pada umumnya masyarakat yang menganut agama Islam. Di suku Osing kini, lembaga masyarakat yang terbentuknya mulai dari kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.
Apabila diperhatikan dari letak topografi, secara umum suku Osing yang berada di lereng gunung berapi memiliki mata pencaharian sebagai petani dan pekebun. Macam-macam jenis hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing. Ada pula masyarakat yang berternak juga berdagang, sehingga mata pencaharian di suku Osing ini beragam. Bahkan dari hasil industri saja, terdapat banyak hasil tenu, plismet, ukiran, dan kerajinan barang lainnya. Jika kita tarik ke daerah Kemiren maka mata pencaharian masyarakatnya banyak yang menuju pada kepemerintahan, seperti ABRI, guru, pekerja swasta, buruh tani, buruh biasa, dan buruh jasa.
Pada dasarnya sebagai petani dan peternak, orang-orang Osing memiliki kemampuan yang tiak terlalu mahir bahkan masih sangat tradisional. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pelatihan dan pengenalan teknologi berskala kecil yang tepat untuk meningkatkan produktivitas mereka. Adapun beberapa perlengkapan yang kini telah digunakan adalah sebagai berikut:
  1. Perlengkapan alat mata pencaharian: teter, singkal, patuk sangkan, boding, parang, kilung.
  2. Perlengkapan berlindung: jenis rumah tikel balung, baresan, serocokan dengan dilengkapi amperan, bale, dan pawon.
  3. Senjata: pedang, keris, cundik, tolop, tolop sekop.
Suku Osing adalah suku yang memiliki campuran kebudayaan, kesenian yang beragam, ditambah dengan kultur masyarakat di sana yang begitu ramah, gotong royong yang masih terjaga,kerja bakti, silaturahmi, bahkan saling berkunjung dan sumbang menyumbang masih dilakukan. Keragaman ini membuat daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren dijadikan sebagai tujuan wisata yang masih menjaga nilai-nilai budaya suku Osing oleh pemerintah setempat. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa Kemiren.

0 komentar:

Posting Komentar