Tari Telek sampai saat ini masih dipentaskan secara
teratur oleh sejumlah banjar/desa adat di Bumi Serombotan, Klungkung,
seperti Banjar Adat Pancoran Gelgel dan Desa Adat Jumpai. Jenis tari
wali ini merupakan tetamian (warisan) leluhur yang pantang untuk tidak dipentaskan. Warga setempat meyakini pementasan Telek sebagai sarana untuk meminang
keselamatan dunia, khususnya di wawengkon (wilayah) banjar/desa adat
mereka. Jika nekat tidak mementaskan Telek, itu sama artinya dengan
mengundang kehadiran merana (hama-penyakit pada tanaman dan ternak),
sasab (penyakit pada manusia) serta marabahaya lainnya yang mengacaukan
harmonisasi dunia.
Keyakinan itu begitu mengkristal di hati krama Banjar Adat Pancoran,
Gelgel dan Desa Adat Jumpai. Mereka melestarikan jenis kesenian ini dari
tahun ke tahun, dari generasi ke generasi sehingga tak sampai tergerus
arus zaman. Begitu kuatnya mereka menjaga tetamian leluhur ini,
sampai-sampai seluruh pakem pada pementasan Telek dipertahankan secara
saklek. Niki nak sampun ilu lan tetamian leluhur deriki. Sampun napetang. Tiang tan uning, ngawit pidan Telek deriki masolah (Kesenian Telek ini sudah ada sejak lama dan merupakan warisan leluhur.
Pantang tak Dipentaskan Di
Banjar Adat Gelgel, kata Pageh, Telek dipentaskan dua kali setahun
yakni pada Buda Umanis Perangbakat (wali Ida Batara di Pura Dalem Guru,
Pancoran) dan pada Buda Kliwon Paang (wali Ida Batara Gede). Kedua
pementasan itu mengambil lokasi di jaba sisi Pura Dalem Guru. Setiap
kali Telek dipentaskan, seluruh krama dipastikan menyaksikannya
sekaligus memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pementasan Telek di Banjar Adat Pancoran, Gelgel sempat terputus
beberapa tahun sebelum Gunung Agung meletus hingga tragedi berdarah
G-30-S pecah. Dua tragedi besar itu sempat meluluhlantakkan kedamaian
masyarakat di seluruh Bali. Guna mengembalikan kedamaian yang
tercabik-cabik itu, para tetua di Banjar Adat Pancoran sepakat menggelar
serangkaian upacara tolak bala. Salah satunya, menghidupkan kembali
kesenian Telek yang mereka yakini sebagai sarana memohon keselamatan
dunia-akhirat. Sejak saat itu, Telek kembali masolah (dipentaskan)
hingga kini. Bahkan, pengempon Pura Dalem Guru sudah punya bhisama
(kesepakatan) bahwa tari wali itu tetap harus masolah sampai kapan pun
untuk menghindari kabrebehan (marabahaya). Sementara di Desa Adat
Jumpai, Telek dipentaskan setiap rahinan Kajeng Kliwon (lima belas hari
sekali-red) serta piodalan di Pura Penataran Dalem Cangkring, Pura Taman
Sari dan Pura Dalem Katulampa. Ini berarti, paling tidak tari wali ini
dipentaskan sekitar 27 kali setiap tahunnya.
Sama dengan di Banjar Adat Pancoran Gelgel, krama Desa Adat Jumpai
juga meyakini pementasan Telek ini sebagai sarana untuk memohon
keselamatan segala makhluk bernyawa di dunia ini dari marabahaya.
Ditegaskannya, pihaknya pantang tidak mementaskan tarian ini pada
hari-hari yang telah ditentukan. Kecuali, jika di desa itu dalam waktu
bersamaan sedang mengalami kecuntakan karena ada krama yang meninggal
dunia. Krama tidak berani tidak mementaskan tarian ini. Jika
itu dilanggar, kami yakin akan terjadi suatu bencana yang membuat
ketenteraman kami terusik. Misalnya, berjangkit wabah penyakit dan
sebagainya, katanya seraya menambahkan, pementasan Telek di Jumpai tidak pernah terputus, terus berlangsung dari generasi ke generasi.
Bertopeng Putih Menurut
Pageh dan Tabig, tarian Telek ini dibawakan oleh empat penari pria yang
masih berusia anak-anak sampai memasuki masa truna bunga (akil
balik-red). Keempat penari itu memakai topeng berwarna putih dengan
karakter wajah yang lembut dan tampan serta diiringi gong kebyar tabuh
bebarongan. Baik di Banjar Adat Pancoran maupun Desa Adat Jumpai, tarian
ini tidak berdiri sendiri. Tetapi senantiasa dirangkaikan dengan tari
Jauk, topeng Penamprat, Batara Gede (barong), Rarung dan Batara Lingsir
(rangda). Seluruh unsur tarian itu berpadu membangun satu-kesatuan
cerita yang utuh dengan durasi sekitar dua jam. Akhir pertunjukan
diwarnai dengan atraksi narat/ngunying yaitu menusukkan keris ke dada
penarat bersangkutan maupun ke dada Batara Lingsir. Pageh maupun
Tabig menuturkan, saat atraksi narat itu berlangsung, baik penarat dan
pemunut rangda dalam kondisi kerawuhan (trance). Telek bukan merupakan
tarian lepas. Seluruh pertunjukan itulah yang difungsikan untuk memohon
keselamatan dan kesejahteraan,\\\\\\\" ujar kedua tokoh sepuh itu.
Menurut Pageh, tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas batasan
usia penari itu. Namun, Telek di Banjar Pancoran senantiasa dibawakan
penari anak-anak sejak turun-menurun. Pasalnya, topeng dan gelungan
(hiasan kepala-red) Telek itu memang dirancang seukuran wajah dan kepala
anak-anak, sehingga orang dewasa tidak pas memakainya. Bahan baku
topeng Telek menggunakan kayu pule yang juga lazim digunakan sebagai
bahan baku tapakan (topeng) barong dan rangda. Topeng Telek ini
merupakan tetamian leluhur dan tidak ada krama yang tahu pasti kapan
topeng itu dibuat. Topeng Telek tidak berubah ataupun diganti, misalnya
dengan membuat topeng yang berukuran lebih besar sehingga bisa digunakan
orang dewasa. Jika warna topeng itu sudah buram, masyarakat hanya
sebatas ngodakin (pengecatan ulang). Bukan topengnya yang diganti. Hal
yang sama juga berlaku untuk tapakan barong dan rangda. Sebelum tari
Telek dipentaskan, seluruh penari wajib mengikuti persembahyangan di
pura agar pementasan yang dilakoninya direstui Tuhan.
Tanpa Pelatih Khusus Klian
Pura Dalem Guru Banjar Adat Pancoran I Nyoman Suana mengatakan pihaknya
sadar betul bahwa kesenian telek beserta tarian lain yang menyertainya
tidak boleh punah dari wilayahnya. Pasalnya, tarian ini sudah diyakini
oleh seluruh krama sebagai sarana memohon keselamatan. Kesadaran itu
akhirnya mewajibkan mereka secara terus-menerus mencetak penari-penari
Telek. Uniknya, proses alih generasi ini tanpa melibatkan pelatih
khusus. Artinya, penari Telek sebelumnya punya kewajiban moral untuk
mewariskan keterampilannya kepada generasi berikutnya.
Sambung-menyambung.
Dalam satu generasi, ada delapan anak yang dipilih untuk mendalami
tari Telek. Kendati penari yang terpakai hanya empat orang. Empat penari
bertindak sebagai penari inti, sementara empat penari lainnya sebagai
penari pengganti jika salah satu di antara penari inti berhalangan
tampil karena sakit dan sebagainya. Proses regenerasinya sangat
sederhana. Pailetan, gerak tari maupun teknik pementasan yang tersaji
dalam Telek yang ada saat ini semuanya tidak mengalami perubahan. Telek
tetap lestari di Banjar Adat Pancoran karena keyakinan bahwa tarian ini
akan menghadirkan keselamatan dan kedamaian bagi warga tetap tertanam
kuat.
Curhat Pendek - Itu Susu?
-
Ketika kamu memiliki banyak pengalaman, melihat banyak hal yang terjadi di
dunia maka biasanya semakin sulit kamu untuk terkejut pada sesuatu yang
tida...
0 komentar:
Posting Komentar