Pada musim kemarau panjang, masyarakat suku Lawahing di Kelurahan Kalibai Tengah, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, akan bersiap untuk memanggil hujan. Alam oleh masyarakat suku Lawahing dipercaya sebagai hasil dari kekuatan Dewa Mau Maha-maha (matahari) dan Ul (bulan). Upaya suku Lawahing untuk bernegosiasi dengan kekuatan alam adalah dengan menyelenggarakan upacara, salah satunya upacara memanggil hujan atau yang biasa disebut dengan Elkoil Od.
Para kepala klen (Lengleng Buung), para kepala kampung (Bang Kapal), para kepala adat (Lengleng Bala O Aba Aiy), ketua dewa adat (Aba Aiy Mati) dan kepala kampung besar (Bang Kapal Mati) bermusyawarah dengan masyarakat untuk mempersiapkan upacara.
Penjemput Gong berpayung daun pandan (ami) beranjak ke rumah bendahara negeri untuk memulai upacara. Hanya pemuda pilihan yang boleh menjadi penjemput Gong. Selama perjalanan Gong harus dijaga dan tidak boleh dipukul sebelum sampai di tempat upacara. Pelanggaran akan hal ini akan menyebabkan malapetaka.
Pemimpin upacara dan masyarakat telah berkumpul di suatu tempat yang terdapat mesbah (dol) untuk menyambut datangnya Gong Elkoil dan Gong Telekei, pendamping Gong Elkoil. Ketika regu penjemput Gong tiba di tempat upacara, maka doa dan mantera pun diucapkan.
O o ui fed Lahatala (O,O, Bulan, Matahari dan Tuhan)
A o naminoo o mangsi du A ukarang (Engkau mengasihi manusia ciptaanMu)
A nui med diil butu ta hele (Engkau curahkan hujan ke atas kebun dan ladang)
Duin e sa o naminoo feteng (Agar manusia dapat hidup sejahtera)
O o buid o u karang ni usebung dang (Segala kebaikanmu tetap diingat turun temurun)
Setelah dibacakan mantera "Nui hele so mati e pi butu pi duil ta" (hujan turunlah lebat untuk membasahi kebun dan ladang kami), Gong pun dipukul dengan durasi 3-5 menit dengan interval pemukulan 3 detik.
Apabila dalam waktu 30 menit tidak turun hujan maka mereka akan menyebut nama nenek moyang dan kembali memukul Gong "O Hiliwele Laanawele" (O nenek moyang Hiliwe Lamawele) sebanyak tiga kali.
Upacara diakhiri dengan pemberian sesajen sebagai tanda terima kasih, yang berupa nasi putih, hati ayam jantan berbulu merah, dan hati babi jantan yang masih muda. Sesajen tersebut ditempatkan di atas permukaan batu ceper yang besar (fui palolo) dan diletakkan di mesbah (dol/altar).
0 komentar:
Posting Komentar