Kamis, 11 Desember 2014

Masyarakat Batak Karo


Masyarakat Batak Karo

Masyarakat Batak Karo mendiami wilayah Kabupaten Karo di Kota Kabanjahe. Orang Karo memiliki pedoman sikap perilaku dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut dengan:
 - Merga si Lima
Terdiri atas lima merga terbesar yakni Peranginangin, Karo-karo, Ginting, Sembiring dan Tarigan. Merga adalah organisasi kekerabatan orang Batak Karo. Merga diperhitungkan dari garis keturunan ayah melalui satu nenek moyang laki-laki. Merga tersebut sangat dijunjung tinggi dan merupakan penentu kekerabatan, keturunan, dan jodoh.
 - Tutur si Waluh
Merupakan delapan tutur yang menjadi pedoman bagi masyarakat Batak Karo untuk berkomunikasi antarsesama dari lima merga besar. Tutur si Waluh menata bagaimana cara bersikap, bertutur, menyapa, memanggil dan sopan santun secara keseluruhan.
 - Rakut si Telu
Adalah tiga unsur kekerabatan yang saling berkaitan, yakni Kalibumbu, Sanina dan Anak Beru. Tiga unsur kekerabatan yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan masyarakat Batak Karo disebut Sangkep nggeluh. Kalibumbu adalah merga ibu atau merga istri dan saudaranya yang merupakan pihak kerabat pemberi gadis. Senina adalah kelompok kerabat semerga. Anak Beru adalah kelompok kerabat yang menerima gadis.

Harapan dan idaman yang ingin diwujudkan masyarakat Karo adalah pencapaian 3 hal pokok, yaitu tuah, sangab, dan menjuah-juah. Tuah berarti menerima berkat dari Tuhan Yang Maha Esa, memiliki keturunan, banyak kawan, kecerdasan dan kelestarian sumber daya alam untuk generasi mendatang. Sangab berarti mendapat rezeki dan kemakmuran, sementara mejuah-juah artinya sehat sejahtera, aman dan damai.
Salah satu ciri khas masyarakat Karo adalah sifat kekeluargaan. Hal ini terlihat dalam acara ertutur (pertautan hubungan seseorang dengan orang lain) yang dilanjutkan dengan pertanyaan “sudah makan atau belum?”. Apabila orang yang ditanyakan belum makan, maka tuan rumah wajib mengajaknya makan, atau jika belum berumah tangga maka akan dibawa ke rumah orangtua untuk makan bersama.
Jenjang keturunan keluarga pun menentukan tinggi rendahnya tutur kata seseorang, yaitu:
(1) Tutur Meganjang (tingkat tutur tinggi), orang yang mempunyai panggilan dari ayah ke atas.
(2) Tutur Sitengah (tingkat tutur menengah), orang yang mempunyai hubungan panggilan setingkat senina (saudara) atau setimpal.
(3) Tutur Meteruh (tingkat tutur paling rendah), orang yang mempunyai panggilan tingkat anak ke bawah.
Tradisi orang Karo mengharuskan untuk bertindak atau bersikap sopan, yang disebut mehamat. Sebelum agama Islam dan Kristen datang ke Tanah Karo, mereka menganut kepercayaan Pamena. Pamena mengenal adanya Dewa Dibata, yang terdiri atas: (1) Batara Guru sebagai pencipta alam semesta, (2) Benua Holing sebagai dewa yang berkuasa di muka bumi, dan (3) Paduka ni Aji sebagai dewa yang berkuasa di benua bawah. Kepercayaan Pamena meyakini adanya tiga jenis alam yang memiliki makhluk tersendiri, mereka juga memercayai roh nenek moyang dan roh orang mati sadawari (satu hari).
Orang Batak Karo pun mengenal istilah serayaan atau gotong royong. Nilai gotong royong masyarakat Batak Karo berbunyi “Ersada ole bagi singerintak tekang”, artinya bersatu aba-aba seperti orang yang menarik tekang. Tekang adalah tiang agung pada bangunan tradisional rumah adat Karo. Tekang ditarik oleh laki-laki dan perempuan, baik tua atau muda.
Kampung pada masyarakat Batak Karo biasa disebut “kuta” atau “huta”.
Rumah tradisional masyarakat Batak Karo terdiri atas dua macam, yaitu “siwaluh jabu” (rumah biasa) dan “rumah adat siwaluh jabu” (rumah adat). Biasanya penghuni yang menempati rumah siwaluh jabu tidak terikat oleh merga dan peraturan adat.
Masyarakat Batak Karo umumnya bekerja sebagai petani dengan menanam padi dan sayur-sayuran. Dikenal ungkapan tradisional “Bagi Aronku juma” artinya mereka berganti-ganti mengerjakan tanah miliki anggota aron. Aron ialah kelompok kerja yang merupakan sistem gotong royong ketika mengelola tanah persawahan.

0 komentar:

Posting Komentar