Kota
Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat yang terletak di
garis khatulistiwa memiliki sejarah unik, khususnya wilayah di tepian
Sungai Kapuas. Pontianak pada awalnya merupakan sebuah kesultanan yang
didirikan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri sebagai sultan pertama pada
abad ke-17. Saat mencari daerah baru untuk dijadikan kesultanan, Sultan
Syarif bersama rombongannya mendapat gangguan dari makhluk halus yang
berada di sana, konon sejenis kuntilanak. Kemudian sultan memerintahkan
rombongannya untuk menembakkan meriam guna mengusir makhluk halus.
Jatuhnya tembakan meriam tersebut juga sebagai penentu daerah mana yang
akan dihuni dan dijadikan kesultanan. Berdasarkan sejarah tersebut, kota
diberi nama Pontianak yang dalam bahasa melayu berarti kuntilanak.
Meriam
tersebut jatuh di simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai
Kapuas Kecil, dan Sungai Landak. Maka daerah yang sekarang bernama
Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur inilah
yang menjadi daerah pertama kesultanan. Sebagai tanda kesultanan islam,
di daerah tersebut dibangun istana Qadriah dan Masjid Jami’ Pontianak
yang hingga saat ini masih dapat dilihat keberadaanya. Berdasarkan
sejarah tersebut, peristiwa penembakkan meriam menjadi salah satu
lambang Kota Pontianak yang hingga saat ini menjadi warisan budaya
terjaga. Penembakkan meriam dapat dilihat pada saat Hari Raya Umat Islam
(Idul Fitri dan Idul Adha) dan saat ulangtahun Kota Pontianak.
Meriam
Pontianak ini terbuat dari kayu gelondongan yang memiliki panjang 5 - 8
meter dengan diamter 30 - 100 centimeter. Di dalamnya diisi air dan
karbit sebagai pengganti mesiu yang akan disulut dengan api. Oleh karena
itu, masyarakat menyebutnya meriam karbit . Suara dentuman meriam dapat
menggelegar hingga radius 5 km, bahkan lebih. Meriam karbit ini
digunakan untuk perang bunyi antara kelompok-kelompok yang berada di
salah satu tepi Sungai Kapuas dengan kelompok-kelompok lain yang berada
di tepian sebrang. Setiap satu kelompok bisa memiliki beberapa meriam.
Maka ketika perang meriam karbit dimulai, akan sangat terlihat gegap
gempita Pontianak dalam menyambut Hari Kemenangan Idul Fitri. Tradisi
ini sempat dihentikan dan dilarang karena mengganggu. Akan tetapi sejak
13 tahun terakhir masyarakat bisa bebas melanjutkan tradisi unik meriam
karbit.
Meriam
karbit mulai dipasang pada panggung-panggung yang dibuat di tepian
Sungai Kapuas sejak minggu kedua Ramadhan. Masyarakat bergotong-royong
untuk menaikkan kayu meriam dan biasanya dilakukan pada saat air sungai
sedang pasang. Pada bagian tengah meriam diberi lubang. Lubang tersebut
digunakan sebagai tempat menyulut api. Dimana secara ilmiah, karbit
(CaC2) yang bereaksi dengan air (H2O) ditempat yang sempit akan
menghasilkan gas dan jika disulut api akan menghasilkan ledakan. Meriam
karbit mulai diledakan sejak tiga hari sebelum lebaran hingga tiga hari
setelah lebaran. Kemeriahannya tidak hanya menarik perhatian masyarakat
setempat, tetapi juga wisatawan dari berbagai daerah, bahkan
mancanegara.
0 komentar:
Posting Komentar