Kamis, 11 Desember 2014

Museum Sebelum dan Setelah Kemerdekaan

Sebelum_Gedung_Merdeka_Sekarang_1377595099.jpg
1. Museum Sebelum Kemerdekaan
Sejarah museum di Indonesia dirunut dari awalnya dapat dikatakan yang paling tua dalam arti kegiatan mengumpulkan benda-benda aneh dan ilmu pengetahuan, menyimpan dan memamerkannya kepada masyarakat telah dilakukan oleh GE Rumphius di Ambon pada tahun 1662 dengan nama De Amboinsch Rariteitenkaimer. Sayangnya museum itu telah lenyap ditelan waktu.
Selanjutnya sejarah museum di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia pada 24 April 1778. Dengan semboyan “untuk kepentingan umum” dan status badan setengah resmi. Berdirinya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen itu adalah berkaitan erat dengan berdirinya lembaga penelitian De Holland Maatschkappij der Wetenschappen di Kota Haarlem, negeri Belanda pada tahun 1752, yang semula akan membuka cabangnya di Batavia. Akan tetapi para ilmuwan di Batavia yang didukung orang-orang penting pemerintah Kolonial memilih untuk mendirikan perkumpulan sendiri, terpisah dengan lembaga penelitian. De Holland Maatschkappij der Wetenschappen itu. Salah seorang tokoh pendiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) itu adalah J.C.M Rademacher, dan dalam pendirian BGKW itu sudah temasuk pendirian museum J.C.M Rademacher juga menyumbangkan sebuah rumah di Kalibesar di Kota lama Batavia dan sejumlah peralatan ilmu alam, batu-batuan, hasil pertambangan, alat-alat musik, serta buku-buku.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Inggris (1811-1816) yang dipimpin oleh Letnan Jendral Sir Thomas Raffles, nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, diganti namanya menjadi Literary Society dan Raffles sendiri bertindak selaku ketua direksinya dengan membangun gedung baru di jalan Majapahit No.3 Jakarta. Raffles yang mempunyai perhatian terhadap sejarah, peninggalan arkeologi itu sempat menerbitkan bukunya yang sangat berharga yang berjudul History of Java, dan mendirikan di Kebun Raya Bogor, serta Benteng Malborough di Bengkulu.
Setelah pemerintah Kolonial Belanda kembali berkuasa nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, dikembalikan seperti semula dan sehubungan dengan gedung di Jalan Majapahit no.3 itu sudah tidak dapat menampung banyaknya koleksi maka pada tahun 1862 pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun gedung baru yang selesai dibangun pada tahun 1868 berlokasi di Jalan Merdeka Barat No.12 sekarang. Karena sangat berjasa dalam penelitian ilmu pengetahuan, maka lembaga itu oleh pemerintah Belanda diberi gelar Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen bertahan sampai tahun 1950, dan sejak 29 Februari 1950 diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia yang dipimpin oleh Hoesein Djajadiningrat. Adapun tujuan dari Lembaga Kebudayaan Indonesia itu adalah meningkatkan penelitian kebudayaan untuk dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang kebudayaan nusantara dan negara sekitar. Lembaga Kebudayaan Indonesia pada tahun 1962 dibubarkan dan diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia, dan namanya diubah menjadi Museum Pusat berada di bawah Jawatan Kebudayaan. Selanjutnya dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.060/1971, tanggal 12 Maret 1971, nama museum Pusat diganti menjadi Museum Nasional sampai sekarang.
Pertumbuhan museum pada masa sebelum Kemerdekaan dapat diuraikan sebagai berikut :
  • Pada tanggal 28 oktober 1890 didirikan Museum Radya Pustaka di Solo.
  • Pada tahun 1894 didirikan Museum Zoologi di Bogor oleh Von Koningswold.
  • Pada tahun 1894 pula JJ Mandelar mendirikan Museum Zoologi di Bukittinggi.
  • Pada tahun 1912 didirikan Museum Mojokerta atas prakarsa Bupati Mojokerto pada saat itu, yakni R.A.A. Kromodjojo Adinegoro.
  • Pada tahun 1915 Pemerintah Militer Belanda mendirikan Museum Rumoh Aceh. Museum Rumoh Aceh itu adalah cikal bakal Museum Negeri Propinsi Aceh.
  • Pada tahun 1918 didirikan Museum Mangkunegaran di Solo oleh Mangkunegoro VII.
  • Pada tahun 1920 didirikan Museum Trowulan oleh Maclaine Pont.
  • Pada tahun 1922 didirikan Stedelijk Historish museum di Surabaya oleh Von Faber. Museum itu menjadi cikal bakal museum Negeri Propinsi Jawa Timur “Mpu Tantular”.
  • Pada tahun 1929 didirikan Museum Geologi di Bandung.
  • Pada tanggal 8 Desember 1932 didirikan museum dengan nama Bali Museum. Bali Museum itu adalah cikal-bakal dari Museum Negeri Propinsi Bali.
  • Pada tahun 1933 didirikan Museum Rumah Adat Banjuang di Bukit tinggi.
  • Pada tahun 1935 didirikan Museum Sonobudoyo di Yogyakarta, museum itu merupakan bagian dari lembaga yang bernama Javaansche Instituut yang berdiri pada tanggal 4 Agustus 1919 di Surakarta. Museum Sonobudoyo itu merupakan cikal-bakal Museum Negeri Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • Pada tahun 1938 didirikan Museum Simalungun di Pematang Siantar, Sumatera Utara atas prakarsa Raja Simalungun.
  • Pada tahun 1941 Pemerintah Kolonioal Belanda mendirikan Museum Herbarium di Bogor.
Museum-museum yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial, betapapun itu semua adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang menunjang Politik Kolonial dalam rangka usaha mempertahankan wilayah jajahannya melalui aspek kebudayaan.
2. Museum Setelah Kemerdekaan
Pada masa setelah kemerdekaan, pemerintah yang baru saja dibentuk memperhatikan dengan seksama terhadap lembaga yang bernama museum itu, karena dianggap museum menjadi urusan yang perlu ditangani pembinaan, pengarahan, dan pengembangannya oleh pemerintah sebagai sarana pelaksanaan kebijakan politik dibidang kebudayaan. Pada tahun 1948 pada struktur Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan itu terdapat Jawatan Kebudayaan, dan selanjutnya pada tahun 1957 di dalam Jawatan Kebudayaan itu dibentuk Bagian Urusan Museum. Bagian Urusan Museum itu pada tahun 1965 ditingkatkan menjadi lembaga Museum-Museum Nasional. Pada tahun 1966 Lembaga Museum-Musem Nasional diganti menjadi Direktorat Museum dalam Lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan Direktorat Museum, kemudian disempurnakan menjadi Direktorat Permuseuman pada tahun 1975.
Pembangunan permuseuman di Indonesia diawali dengan adanya Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Pusat (Museum Nasional) dan museum Bali pada Pelita I (1969/1970-1973/1974). Proyek Permuseuman itu berkembang menjadi Proyek Pengembangan Permuseuman di Indonesia dan terakhir menjadi Proyek Pembinaan Permuseuman. Memasuki Pelita II ditetapkan suatu kebijakan untuk memugar dan memperluas museum-museum daerah warisan Kolonial diarahkan menjadi jenis museum, umum, dan bagi Propinsi yang belum memiliki museum didirikan museum baru dengan jenis museum umum pula.
Pada Pelita II (1974/1975-1978/1979) pembangunan Permuseuman telah meliputi 11 Propinsi di Indonesia. Melalui Direktorat Permuseuman pemerintah tidak saja memperhatikan dan mengembangkan museum dilingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja, tetapi juga membina dan mengembangkan museum yang berada di luar Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, museum yang dikelola oleh swasta dan pemerintah daerah.
Pada Pelita III (1979/1980-1983/1984) dan Pelita IV (1984-1989) pembangunan Permuseuman telah menjangkau 26 propinsi. Penyempurnaan pembangunan museum Negeri Propinsi di Indonesia dapat diselesaikan pad akhir Pelita V (1989/1990-1993/1994). Kegiatan Proyek masih berlanjut sampai dengan Pelita VI (1994/1995-1998/1999). Di samping membangun museum Propinsi yang berjumlah 26 itu (DKI Jakarta diwakili oleh Museum Nasional) Direktorat Permuseuman juga mendirikan 4 museum yang ada di DKI Jakarta dan 1 museum khusus yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tujuan didirikan museum setelah Kemerdekaan adalah untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa, dan sebagai sarana pendidikan nonformal. Di samping itu Museum Negeri Propinsi yang merupakan jenis museum umum itu diharapkan dapat menyajikan suatu gambaran yang konprehensif mengenai, baik warisan budaya, aspek-aspek kesejarahan yang utama pada suatu Propinsi, maupun sejarah alamnya, juga penyajian wawasan Nusantara dalam suatu tata pameran khusus sebagai pencerminan kesatuan bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar