Sabtu, 06 Desember 2014

Pohon Kayu Wangi

Seorang hartawan yang sudah tua, sangat khawatir akan masa depan anaknya yang sejak kecil terbiasa dimanja. Meskipun ia mempunyai harta sangat banyak, ia takut kalau hartanya diwariskan justru akan membawa bencana bagi anaknya. Karena itu, daripada meninggalkan warisan, lebih baik ia melatih anaknya untuk berjuang dan mandiri.

Ia memanggil anaknya, menceritakan bagaimana ia dulu memulai usaha dari nol, melalui berbagai pengalaman dan perjuangan sampai bisa seperti saat ini. Cerita sang ayah menggerakkan hati si anak yang belum pernah pergi jauh dari rumah. Pemuda ini berjanji, tidak akan pulang ke rumah sebelum menemukan harta.

Kemudian ia pergi berlayar. Kapalnya melewati berbagai macam badai dan pulau, sampai akhirnya tiba di sebuah hutan tropis. Ia menemukan sejenis pohon yang tingginya mencapai sepuluh meter. Di seluruh hutan, hanya ada dua batang pohon jenis tersebut. Ketika pohon ditebang, tampak inti batang pohon yang berwarna kehitaman mengeluarkan wewangian. Dalam hati pemuda berpikir, ini harta yang tak ternilai harganya.

Ia mengangkut kayu-kayu harum itu ke pasar untuk dijual, tetapi tak ada orang yang mau membeli. Di dekat pasar ada warung yang menjual arang. Ia memerhatikan, arang berukuran kecil cepat laku terjual. Pikirnya, kalau arang begitu mudah dijual, mengapa aku tidak mengubah kayu wangi ini menjadi arang?

Ia lalu membawa arang dari kayu wangi ke pasar dan dengan cepat laku terjual. Pemuda itu senang, ia bisa mewujudkan keinginannya. Dengan bangga ia pulang ke rumah dan menceritakan pengalaman tersebut kepada ayahnya. Namun, sang ayah malah sedih. Ternyata, pohon wangi yang dijadikan arang itu termasuk salah satu pohon paling mahal di dunia. Hanya dengan menumbuk sebagian kecil kayunya menjadi bubuk, harganya bisa melebihi harga sekereta arang.

Di setiap manusia ada "pohon kayu wangi," tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui nilainya. Mereka malah mengagumi milik orang lain, sehingga justru kehilangan harta paling berharganya.

0 komentar:

Posting Komentar