Di
Poso Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat berbagai macam suku. Namun suku
yang mendominasi wilayah Poso adalah suku Pamona. Makanya, kadang suku
Pamona disebut juga dengan suku Poso atau orang Poso. Padahal suku Poso
tidak ada, yang ada hanyalah wilayah Poso yang didiami oleh sebagian
besar suku Pamona.
Selain
di Poso, suku Pamona juga mendiami wilayah Kabupaten Tojo Una-Una,
sebagian wilayah Kabupaten Morowali, bahkan provinsi Sulawesi Selatan
yakni di wilayah Luwu Timur. Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di
berbagai daerah di Indonesia.
Nenek
Moyang Suku Pamona berasal dari dataran Salu Moge (luwu Timur). Karena
berada di atas gunung yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga mereka
diturunkan oleh Macoa Bawalipu mendekati pusat pemerintahan, yaitu di
sekitaran wilayah Mangkutana (luwu Timur).
Hingga
terjadinya pemberontakan DI/TII, mereka menyebar sampai ke Sulawesi
Tengah dan daerah lainnya. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona,
biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang
sesuku untuk melakukan berbagai kegiatan di daerah tersebut.
Asal
kata Pamona diambil dari nama bukit bernama Pamona di Tentena, suatu
desa di pesisir utara danau Poso. Bukit tersebut dinamai Pamona karena
banyak ditumbuhi pohon Pamona. Di atas bukit tersebut dibangun sebuah
istana kerajaan. Raja yang berkuasa di daerah tersebut diberi nama Raha
Pamona, sesuai dengan nama bukit yang ditumbuhi banyak pohon Pamona.
Pohon ini juga tumbuh di sekitar istana raja. Lama-lama kerajaan ini
besar hingga meliputi negeri yang berada di sekitar danau Poso.
Suku
Pamona memiliki lembaga adat. Keberadaan lembaga Adat Pamona saat ini
terbagi menjadi dua, yakni untuk di daerah Poso bernama Majelis Adat
Lemba Pamona Poso sedangkan untuk di tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur
dan Kabupaten Luwu Utara) dinamakan Lembaga Adat lemba Pamona Luwu.
Suku
Pamona menggunakan Bahasa Pamona (Bare'e) dan Bahasa Indonesia dengan
gaya bahasa setempat. Bahasa ini juga kadang disebut dengan Bahasa Poso,
yang digunakan oleh sekitar 200.000 orang dari suku Pamona di
Indonesia. Pamona hanya memiliki ragam bahasa lisan saja, tidak memiliki
ragam tulisan atau aksara.
Meskipun
suku Pamona memiliki bebebarapa subsuku seperti suku Wingkendano,
Onda'e, Pebato, Lage, Lamusu, dan sebagainya, tetapi bahasa yang
digunakan sama. Hanya saja perbedaannya terletak pada intonasi setiap
kata yang digunakan. Bahasa Pamona juga mengenal strata dalam penuturan
dengan tingkat kesopanan Namun secara umum, masing-masing subsuku dapat
mengerti satu sama lain ketika bercakap-cakap.
Suku
Pamona sebagian besar menganut agama Kristen. Agama ini masuk daerah
sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama
rakyat. Saat ini semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini
bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Dalam
hal kebudayaan, suku Pamona masih mempertahankannya. Ada dua kebudayaan
yang masih dilestarikan, yaitu adat perkawinan dan syukuran setelah
masa panen. Dalam adat perkawinannya, diatur mahar yang mesti ditanggung
oleh mempelai pria.
Dalam adat ini juga ada tradisi gotong royong atau membantu dalam perkawinan yang disebut dengan Posintuwu. Bantuan yang diberikan berupa bantuan bahan-bahan makanan, uang, dan sebagainya. Posintuwu pasti akan terus terjaga karena setiap orang yang sudah diberi posintuwu harus membalasnya di kemudian hari kepada pemberi bila saat berlangsung pernikahan.
Sementara
ucapan syukur setelah panen disebut dengan Padungku. Setelah panen
masyarakat Pamona pasti melaksanakan ucapan syukur pada Tuhan pencipta
(Pue mPalaburu) atas berkat kesuksesan panen. Walaupun masyarakat di
sana sebagian bukan petani, tetapi harus tetap melaksanakannya juga
sebagai ucapan syukur tahunan. Pada hari Padungku ini semua rakyat dapat saling berkunjung satu sama lain tanpa merasa keberatan. Tidak ada pembatasan untuk siapapun.
Ada
lagi upacara pemindahan mayat yang disebut dengan Ndatabe. Jenazah
tersebut disimpan pada tambea (tempat penyimpanan jenazah) sampai
menjadi tulang belulang yang bersih dan letaknya agak jauh terpisah dari
penduduk. Bila jenazah tersebut tinggal tulang belulang, diadakan
upacara Mompemate (memindahkan tulang belutang tersebut ke gua-gua).
Dalam
hal kesenian, masyarakat Pamona memiliki tarian tradisional bernama
tarian Dero atau Madero. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat.
Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan
dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik
ceria.
Menurut
iramanya, madero dibedakan atas tiga macam gerakan yakni ende
ntonggola, ditarikan saat menyambut bulan purnama. Kedua, ende ngkoyoe
ditarikan saat mengantar panen atau perayaan hari besar atau pesta.
Sedangkan yang ketiga ende ada untuk penyambutan hari-hari adat atau
perayaan.
Seperti
halnya dengan suku-suku lain seperti Batak, Toraja dan lainnya, suku
Pamona juga menggunakan marga untuk mengikat kekerabatan satu darah.
Misalnya marga Torau, Awundapu, Banumbu, Bali'e, Baloga, Belala,
Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Dike,
Dongalemba, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kambodji,
Kalembiro, Kalengke, Karape, Karebungu, Kayori, Kayupa, dan masih banyak
lagi.
0 komentar:
Posting Komentar