Sabtu, 13 Desember 2014

Suku Pamona Poso


Di Poso Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat berbagai macam suku. Namun suku yang mendominasi wilayah Poso adalah suku Pamona. Makanya, kadang suku Pamona disebut juga dengan suku Poso atau orang Poso. Padahal suku Poso tidak ada, yang ada hanyalah wilayah Poso yang didiami oleh sebagian besar suku Pamona.
Selain di Poso, suku Pamona juga mendiami wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, sebagian wilayah Kabupaten Morowali, bahkan provinsi Sulawesi Selatan yakni di wilayah Luwu Timur. Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia.
Nenek Moyang Suku Pamona berasal dari dataran Salu Moge (luwu Timur). Karena berada di atas gunung yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga mereka diturunkan oleh Macoa Bawalipu mendekati pusat pemerintahan, yaitu di sekitaran wilayah Mangkutana (luwu Timur).
Hingga terjadinya pemberontakan DI/TII, mereka menyebar sampai ke Sulawesi Tengah dan daerah lainnya. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan berbagai kegiatan di daerah tersebut.
Asal kata Pamona diambil dari nama bukit bernama Pamona di Tentena, suatu desa di pesisir utara danau Poso. Bukit tersebut dinamai Pamona karena banyak ditumbuhi pohon Pamona. Di atas bukit tersebut dibangun sebuah istana kerajaan. Raja yang berkuasa di daerah tersebut diberi nama Raha Pamona, sesuai dengan nama bukit yang ditumbuhi banyak pohon Pamona. Pohon ini juga tumbuh di sekitar istana raja. Lama-lama kerajaan ini besar hingga meliputi negeri yang berada di sekitar danau Poso.
Suku Pamona memiliki lembaga adat. Keberadaan lembaga Adat Pamona saat ini terbagi menjadi dua, yakni untuk di daerah Poso bernama Majelis Adat Lemba Pamona Poso sedangkan untuk di tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) dinamakan Lembaga Adat lemba Pamona Luwu.
Suku Pamona menggunakan Bahasa Pamona (Bare'e) dan Bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Bahasa ini juga kadang disebut dengan Bahasa Poso, yang digunakan oleh sekitar 200.000 orang dari suku Pamona di Indonesia. Pamona hanya memiliki ragam bahasa lisan saja, tidak memiliki ragam tulisan atau aksara.
Meskipun suku Pamona memiliki bebebarapa subsuku seperti suku Wingkendano, Onda'e, Pebato, Lage, Lamusu, dan sebagainya, tetapi bahasa yang digunakan sama. Hanya saja perbedaannya terletak pada intonasi setiap kata yang digunakan. Bahasa Pamona juga mengenal strata dalam penuturan dengan tingkat kesopanan Namun secara umum, masing-masing subsuku dapat mengerti satu sama lain ketika bercakap-cakap.
Suku Pamona sebagian besar menganut agama Kristen. Agama ini masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Saat ini semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Dalam hal kebudayaan, suku Pamona masih mempertahankannya. Ada dua kebudayaan yang masih dilestarikan, yaitu adat perkawinan dan syukuran setelah masa panen. Dalam adat perkawinannya, diatur mahar yang mesti ditanggung oleh mempelai pria.
Dalam adat ini juga ada tradisi gotong royong atau membantu dalam perkawinan yang disebut dengan Posintuwu. Bantuan yang diberikan berupa bantuan bahan-bahan makanan, uang, dan sebagainya. Posintuwu pasti akan terus terjaga karena setiap orang yang sudah diberi posintuwu harus membalasnya di kemudian hari kepada pemberi bila saat berlangsung pernikahan.
Sementara ucapan syukur setelah panen disebut dengan Padungku. Setelah panen masyarakat Pamona pasti melaksanakan ucapan syukur pada Tuhan pencipta (Pue mPalaburu) atas berkat kesuksesan panen. Walaupun masyarakat di sana sebagian bukan petani, tetapi harus tetap melaksanakannya juga sebagai ucapan syukur tahunan. Pada hari Padungku ini semua rakyat dapat saling berkunjung satu sama lain tanpa merasa keberatan. Tidak ada pembatasan untuk siapapun.
Ada lagi upacara pemindahan mayat yang disebut dengan Ndatabe. Jenazah tersebut disimpan pada tambea (tempat penyimpanan jenazah) sampai menjadi tulang belulang yang bersih dan letaknya agak jauh terpisah dari penduduk. Bila jenazah tersebut tinggal tulang belulang, diadakan upacara Mompemate (memindahkan tulang belutang tersebut ke gua-gua).
Dalam hal kesenian, masyarakat Pamona memiliki tarian tradisional bernama tarian Dero atau Madero. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria.
Menurut iramanya, madero dibedakan atas tiga macam gerakan yakni ende ntonggola, ditarikan saat menyambut bulan purnama. Kedua, ende ngkoyoe ditarikan saat mengantar panen atau perayaan hari besar atau pesta. Sedangkan yang ketiga ende ada untuk penyambutan hari-hari adat atau perayaan.
Seperti halnya dengan suku-suku lain seperti Batak, Toraja dan lainnya, suku Pamona juga menggunakan marga untuk mengikat kekerabatan satu darah. Misalnya marga Torau, Awundapu, Banumbu, Bali'e, Baloga, Belala, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Dike, Dongalemba, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kambodji, Kalembiro, Kalengke, Karape, Karebungu, Kayori, Kayupa, dan masih banyak lagi.

0 komentar:

Posting Komentar