Sabtu, 13 Desember 2014

Masjid Tua Palopo - Luwu, Sulawesi Selatan

masjidtuapalopo_1374043862.png
Masjid Tua Palopo terletak di Kelurahan Kota Palopo, Kecamatan Ware, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Bangunannya terletak di tepi jalan, tepatnya di sudut perempatan jalan. Tidak jauh dari masjid ini berdiri Istana Raja Luwu.
Deskripsi Bangunan
Masjid Palopo beratap tumpang tiga seperti masjid Demak, Banten, Kota Gede dan masjid kuno di Indonesia lainnya. Atap tumpang teratas terdapat sebuah mustaka yang terbuat dari keramik Cina yang diperkirakan jenis Ming berwarna biru. Mustaka tersebut secara teknis sebagai pengunci puncak atap untuk menjaga masuknya air, tetapi juga secara filosofis berarti menunjukkan ke Esaan Tuhan.
Atap terbuat dari sirap. Tumpang tengah dan bawah masing-masing ditopang oleh empat buah pilar (tiang kayu). Sedang tumpang paling atas ditopang oleh sebuah tiang utama (saka guru) yang langsung menopang atap. Di dalam ruangan masjid terdapat mimbar dari kayu dengan atap kala parang atau kulit kerang. Gapura mimbar berbentuk paduraksa, memiliki hiasan kala makara yang distilir dengan daun-daunan yang keluar dari kendi.
Sebagian masyarakat Luwu beranggapan bahwa tepat dibawah mimbar terdapat makam Puang Ambe Monte yang berasal dari Sangalla Tana Toraja. Ia adalah arsitek yang dipercayakan oleh Sultan Abdullah untuk membuat dan membangun Masjid Tua Palopo pada tahun 1604 M.
Sejarah
Masjid yang memiliki luas 15 m2 ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.
Diperkirakan berdiri pada tahun 1604 M. merupakan masjid kerajaan yang didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya dibawah kekuasaan Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Ketika ia naik tahta menggantikan ayahnya tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam. Jika pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut juga menandakan bahwa pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan Luwu.
Hal ini bisa dilihat dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak pusat pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama menjadi Palopo.
Sebagian masyarakat percaya bahwa bagi orang yang datang ke Kota Palopo, belum dikatakan resmi menginjakkan kaki di kota ini apabila belum menyentuh tiang utama Masjid Tua Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri, serta dinding tembok yang menggunakan bahan campuran dari putih telur. Oleh karena itu, masjid ini tidak pernah sepi dari jemaah, khususnya pada bulan Ramadhan. Pada bulan tersebut, setiap selesai shalat dhuhur hingga menjelang berbuka puasa, biasanya para jamaah tetap tinggal di masjid untuk mengaji, tadarrus Alquran, dan berzikir. Jamaah yang datang bukan hanya warga Kota Palopo, tetapi banyak juga yang datang dari kabupaten tetangga, seperti Luwu, Luwu Utara, Sidrap, dan Wajo.      

0 komentar:

Posting Komentar