Masjid
Tua Palopo terletak di Kelurahan Kota Palopo, Kecamatan Ware, Kabupaten
Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Bangunannya terletak di tepi jalan,
tepatnya di sudut perempatan jalan. Tidak jauh dari masjid ini berdiri
Istana Raja Luwu.
Deskripsi Bangunan
Masjid
Palopo beratap tumpang tiga seperti masjid Demak, Banten, Kota Gede dan
masjid kuno di Indonesia lainnya. Atap tumpang teratas terdapat sebuah
mustaka yang terbuat dari keramik Cina yang diperkirakan jenis Ming
berwarna biru. Mustaka tersebut secara teknis sebagai pengunci puncak
atap untuk menjaga masuknya air, tetapi juga secara filosofis berarti
menunjukkan ke Esaan Tuhan.
Atap
terbuat dari sirap. Tumpang tengah dan bawah masing-masing ditopang
oleh empat buah pilar (tiang kayu). Sedang tumpang paling atas ditopang
oleh sebuah tiang utama (saka guru) yang langsung menopang atap. Di
dalam ruangan masjid terdapat mimbar dari kayu dengan atap kala parang
atau kulit kerang. Gapura mimbar berbentuk paduraksa, memiliki hiasan
kala makara yang distilir dengan daun-daunan yang keluar dari kendi.
Sebagian
masyarakat Luwu beranggapan bahwa tepat dibawah mimbar terdapat makam
Puang Ambe Monte yang berasal dari Sangalla Tana Toraja. Ia adalah
arsitek yang dipercayakan oleh Sultan Abdullah untuk membuat dan
membangun Masjid Tua Palopo pada tahun 1604 M.
Sejarah
Masjid
yang memiliki luas 15 m2 ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah
tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan
Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari
campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang
tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses
pembangunan Masjid Tua Palopo ini.
Diperkirakan
berdiri pada tahun 1604 M. merupakan masjid kerajaan yang didirikan
ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya dibawah
kekuasaan Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah
Matinroe. Ketika ia naik tahta menggantikan ayahnya tahun 1604 M, ia
memindahkan ibukota kerajaan dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware
berada di pantai dan lebih dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas
ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang
mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk
penyebaran Islam. Jika pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut
juga menandakan bahwa pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan
Luwu.
Hal
ini bisa dilihat dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru,
di mana masjid dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek
kerajaan. Satu unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu
adalah lapangan luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak
pusat pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak
kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan
Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah
Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama
menjadi Palopo.
Sebagian
masyarakat percaya bahwa bagi orang yang datang ke Kota Palopo, belum
dikatakan resmi menginjakkan kaki di kota ini apabila belum menyentuh
tiang utama Masjid Tua Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri, serta
dinding tembok yang menggunakan bahan campuran dari putih telur. Oleh
karena itu, masjid ini tidak pernah sepi dari jemaah, khususnya pada
bulan Ramadhan. Pada bulan tersebut, setiap selesai shalat dhuhur hingga
menjelang berbuka puasa, biasanya para jamaah tetap tinggal di masjid
untuk mengaji, tadarrus Alquran, dan berzikir. Jamaah yang datang bukan
hanya warga Kota Palopo, tetapi banyak juga yang datang dari kabupaten
tetangga, seperti Luwu, Luwu Utara, Sidrap, dan Wajo.
0 komentar:
Posting Komentar