Kultur
suku Sumbawa merupakan suku sudah memasuki tahap modern, hal ini
dilihat dari perlatan yang mereka gunakan untuk bercocok tanam yang
menjadi menjadikan sumber penghidupan yang utama bagi suku Sumbawa
walaupun perlata yang mereka gunakan masih tradisional berupa cangkul
atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan
memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau.
Pola
bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa
Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi
pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada
sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat
modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan
lahan-lahan pertanian.
Untuk menggarap ladangnya atau merau
cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar
lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami
beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari para
petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya
beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini
mendapatkan pemeliharaan.
Cara
mendapatkan lahan-lahan pertanian ini pun bagitu mudah, suku Sumbawa
dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan
menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam
pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama
dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah
menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang
lain.
Konsep ini bagi suku Sumbawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng,
artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk
pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi
miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang
(berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada
pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto
(jenis tumbuhan menjalar). Bagi suku Sumbawa yang melanggar pantangan
ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan
pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa.
Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo
atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang
bagi suku Sumbawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbang, dapat
pula memanfaatkan para atau loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan
pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah
panggungnya.
0 komentar:
Posting Komentar