Kamis, 11 Desember 2014

Aksara Jawa

aksara-jawa.jpg
AKSARA JAWA
HANCARAKA ATAU CARAKAN
Aksara Jawa (kadang disebut Hancaraka atau Carakan) adalah aksara yang dipakai atau pernah dipakai untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makasar, bahasa Sunda, dan bahsa Sasak. Aksara ini merupakan aksara jenis abugdia turunan dari aksara Brahmi, yang merupakan turunan dari aksara Assyiria. Bentuk aksara Jawa yang dikenal hari ini (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17). Urutan aksara Jawa dikenal unik, karena merangkai sebuah “cerita”: Hana Caraka (Terdapat Pengawal), Data Sawala (Berbeda Pendapat), Padha Jayanya (Sama kuat/hebatnya), Maga Bathanga (Keduanya mati).
Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, 5 aksara swara (huruf vokal depan), 5 aksara rekan dan 5 pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tatapenulisan (pada).
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa telah berkembang dalam beberapa tahapan, yakni fase aksara Jawa-Hindu, aksara Jawa-Islam, aksara Jawa-Kolonial, dan aksara Jawa Modern. Dalam priode Aksara Jawa-Hindu, aksara Jawa mengikuti sistem Panini, yaitu mengikuti urutan ka-ga-nga (yang hari ini digunakan dalam Unicode aksara Jawa). Dalam susunan abjadnya, belum ada penggolongan serta pemisahan aksara murda, seperti yang dikenal hari ini dalam tiap susunan abjad Jawa. Selain itu, ditemukan juga sejumlah aksara yang keberadaannya wajib hadir untuk menuliskan kata-kata Jawa kuna.
Pada periode aksara Jawa-Islam, aksara Jawa berkembang pada dekade awal kedatangan Islam ke tanah Jawa, yakni di masa Jawa masih bebas dari dominasi politik pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, yang kurang lebih berlangsung pada era kesultanan Demak. Pada fase ini, aksara Jawa diurutkan menggunakan urutan ha-na-ca-ra-ka, yang disusun untuk mempermudah penghafalan, seperti yang telah disinggung di awal tulisan. Pada fase ini, pengertian aksara murda masih belum disamakan dengan huruf kapital, seperti halnya dalam tulisan Latin, namun sudah dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar. Pada fase ini juga, mulai digunakan aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang mulai banyak dikenal seiring semakin masifnya dakwah Islam.
Pada priode aksara Jawa-Kolonilal, yakni pada zaman dominasi pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, diterbitkan tatatulisan aksara Jawa dengan ejaan Sriwedari, sebagai hasil dari lokakarya yang diselenggarakan di Sriwedari, Surakarta, pada 1926, dalam rangka menyeragamkan tatapenulisan aksara Jawa. Perbedaan yang paling jelas dalam fase ini adalah sebagian aksara murda sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital, layaknya pada aksara Latin. Kemudian, perubahan lainnya adalah dikikisnya penggunaan taling-tarung pada bunyi /o/ (“o” Jawa). Sebagai dampak, misalnya penulisan “Ronggawarsita” menjadi “Ranggawarsita”.
Periode aksara Jawa-Modern, adalah periode perkembangan aksara Jawa sejak zaman kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Beberapa penanda dalam fase ini, yakni diterbitkannya buku Karti Basa oleh Kementrian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1946, yang isinya mengenai pedoman penulisan kata, aksara, dan angka Jawa, serta tentang pedoman penulisan kata Jawa dengan huruf Latin. Penanda lain dalam fase ini adalah diselenggarakannya Kongres Bahasa Jawa I hingga III, pada 1991, 1996, dan 2001, yang masing-masing menghadirkan kebaruan dalam aksara Jawa. Pada Kongres Bahasa Jawa II, diterbitkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur, yakni gubernur Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, yang merupakan upaya penyelarasan tatacara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di tiga provinsi tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar