Bali Shell Museum
Bali Shell Museum
di Kuta didirikan dengan tujuan melestarikan berbagai jenis kerang
serta menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap laut. Koleksi yang
dipamerkan di museum ini merupakan koleksi pribadi dari pemilik museum
yang telah dikumpulkan lebih dari 25 tahun. Kecintaannya berawal pada
saat sang pemilik berjalan di tepi Pantai Nusa Dua dan menemukan kerang
yang terlihat berkilau yang terdampar di pasir (Cypraea tigris).
Ia lalu mulai mencari dan mempelajari lebih dalam mengenai
kerang-kerang tersebut serta mengoleksinya sampai hari ini. Akhirnya,
pada tahun 2009 ia memberanikan diri untuk membuka museum ini karena
merasa bahwa Indonesia yang merupakan negara bahari seharusnya memiliki
setidaknya satu museum yang dapat mengekspresikan kekayaan dan keindahan
laut Indonesia, terutama jenis moluska.
Lantai
2 dari museum ini dipamerkannya berbagai koleksi fosil binatang laut
dari seluruh penjuru dunia. Fosil yang banyak dipajang antara lain fosil
Ammonoidea yang telah punah. Umur fosil tersebut berkisar antara 100 sampai 300 juta tahun. Ada pula fosil scallop atau Pectenidae yang membantu di batuan putih, seperti batu kapur, yang satu dengan lainnya saling bertumpuk dengan artistik.
Ternyata,fosil-fosil
binatang laut ini banyak ditemukan di daerah perbukitan, pegunungan,
ataupun gurun. Misalnya, fosil cumi-cumi purba, Orthoceras,
yang ditemukan di Gurun Sahara dan fosil ikan yang ditemukan di
Pegunungan Alpen, Prancis. Fosil paling tua yang dimiliki oleh museum
ini adalah fosil Trilobita, jenis crustacean yang
hidup di dasar laut. Fosil yang berusia 490 juta tahun ini ditemukan di
Gunung Boutshafrin, Maroko. Ada pula fosil-fosil kerang dari Indonesia
(Jawa Tengah) yang umurnya relatif masih muda (20-40 juta tahun).
Begitu memasuki lantai 3, pengunjung disuguhi pameran Gastropoda (kerang satu cangkang) dan Bivalvia (kerang dua cangkang) yang masih bisa ditemukan di laut sampai hari ini. Pengunjung dapat melihat dua spesies (Syrinx aruanus dan Melo amphora)
yang dipamerkan dari yang kecil hingga yang paling besar. Hal ini
dimaksudkan untuk memperlihatkan perkembangan kerang jenis moluska yang
cangkangnya dapat membesar sesuai dengan pertumbuhan sang penghuni.
Biasanya kerang bertumbuh searah jarum jam, namun ada juga kerang yang
pertumbuhan cangkangnya berlawanan arah dengan jarum jam (Busycon contrarium).
Di lantai 3 museum ini dipamerkan juga kerang yang diberi nama sesuai dengan nama pemilik museum (Tonna oentoengi dari Laut Arafura) dan nama anak beliau (Cymbiola tamariskae dari Laut Jawa-Pulau Bawean). Setelah konsultasi dengan conchologist
(ahli kerang) dan dipastikan bahwa kerang-kerang tersebut belum
memiliki nama, maka nama-nama kerang itu baru resmi didaftarkan ke
museum yang berwenang di Paris.
Beberapa koleksi yang dianggap adiluhung oleh sang pemilik di lantai 3, antara lain Nodipecten magnificus dan Pleurotomaria rumphi. Nodipecten magnificus adalah kerang berwarna merah marun yang sangat langka dari Kepulauan Galapagos, sedangkan Pleurotomaria rumphi
yang dimiliki museum berukuran sangat besar untuk kerang sejenisnya.
Kerang ini hidup di kedalaman 100 – 200 m di Laut Cina Selatan.
Selain
cangkang dari moluska (hamper 10.000 spesies), di museum ini juga
dipamerkan berbagai jenis binatang laut yang ditata apik dan menjadikan
museum lebih hidup. Di bagian akhir rute alur pengunjung museum,
dipamerkan pula benda-benda etnografi dan pajangan yang terbuat dari
kerang. Ada patung Rama dan Sita yang pakaiannya dibuat dari koin
kerang, terompet kerang dari Tibet, serta perhiasan (kalung) kerang dari
Papua. Kalung-kalung dari kerang ini merupakan maskawin yang dibuat
oleh pengantin perempuan di Papua untuk pengantin laki-laki. Pengunjung
juga dibolehkan untuk mencoba hiasan kepala dengan ornament burung dan
kerang-kerang dari Papua. Museum ini istimewa karena merupakan museum
kerang pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menambah wawasan
tentang kekayaan biota laut dan kebudayaan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar