Sistem Perladangan Di Mentawai
Masyarakat
Mentawai adalah masyarakat yang memegang teguh kehidupan adat dan
tradisi. Salah satu pelaksanaan prinsip-prinsip adat tersebut adalah
mata pencaharian mereka. Berladang atau dalam bahasa Mentawai mumone merupakan
salah satu upaya yang dilakukan masyarakat Mentawai untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Pembukaan lahan untuk ladang biasanya dilakukan
oleh beberapa keluarga yang tergabung dalam satu uma.
Dalam sistem berladang masyarakat Mentawai, alam lingkungan harus dijaga. Masyarakat Mentawai tidak mengenal tentang “slash and burn” (tebang
dan bakar) yang menimbulkan polusi udara bahkan memicu kebakaran hutan.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Mentawai, membakar pohon di hutan
akan mengakibatkan kemarahan roh-roh penjaga hutan dan akan mendatangkan
penyakit bagi si pembakar atau keluarganya.
Masyarakat
Mentawai memiliki kearifan tradisi sendiri dalam mengolah ladang, ada
ritual khusus yang tak boleh ditinggalkan agar hasil ladang yang
diinginkan maksimal. Berikut tata cara pembukaan ladang di Muntei,
Siberut Selatan, hasil penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang.
Tahap pertama dalam rencana pembukaan ladang adalah musyawarah di tingkat uma. Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh anggota uma, yaitu para tetua umadan anggota-angota yang lebih muda, terutama dari keluarga yang ingin membuka ladang. Musyawarah ini dipimpin oleh sikebukkat uma (kepala uma). Musyawarah tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai lokasi dan luas lahan yang akan dibuka.
Tahap
kedua melakukan survei lapangan untuk mengetahui hal-hal seperti areal
mana yang cocok, bagaimana kesuburan tanahnya, berapa luas lahan yang
akan dibuka serta batas-batasnya Survei ini bisa makan waktu dua minggu.
Tahap selanjutnya musyawarah lagi. Hasil survei dibicarakan di uma,
terutama untuk memfinalkan lokasi, luas ladang dan kejelasan
batas-batas lahan, sekaligus membicarakan kapan punen pasibuluake’ atau
panaki, serta proses pembersihan semak belukar dilakukan.
Sebelum mulai membuka hutan atau menebang pohon-pohon, harus terlebih dahulu dilakukan upacara “Panaki” yaitu
sebuah ritual meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan. Masyarakat
adat Mentawai meyakini bahwa ada sebuah kekuatan di luar manusia yang
telah menjaga hutan dan alam di sekitarnya. Oleh sebab itu, setiap akan
melakukan aktivitas di hutan termasuk menebang pohon harus terlebih
dahulu meminta izin sebagai bentuk penghargaan manusia terhadap kekuatan
di luar diri mereka yang telah ikut membantu menjaga alam bagi
kelangsungan hidup manusia.
Berladang
merupakan aktivitas penting sebab merupakan salah satu cara pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Di Siberut, perladangan dibuka di sekitar
kawaan hutan, dapat pada lokasi yang berbukit-bukit (leleu) dan juga
pada lokasi yang datar (su’suk). Namun meskipun demikian berdasarkan
pengetahuan tradisional, ada beberapa kriteria atau pertimbangan yang
harus dipenuhi ketika akan membuka kawasan perladangan antara lain:
- Tidak boleh membuka perladangan di lokasi yang curam, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya longsor.
- Perladangan baru juga tidak akan dibuka di kawasan yang banyak terdapat pohon-pohon kayu yang bermanfaat untuk bahan bangunan atau rumah, sampan dan peralatan rumah tangga, dll.
0 komentar:
Posting Komentar