Jumat, 12 Desember 2014

Mumone, Sistem Perladangan Di Mentawai

MUMONE_SISTEM PERLADANGAN DI MENTAWAI4.jpg
Sistem Perladangan Di Mentawai
Masyarakat Mentawai adalah masyarakat yang memegang teguh kehidupan adat dan tradisi. Salah satu pelaksanaan prinsip-prinsip adat tersebut adalah mata pencaharian mereka. Berladang atau dalam bahasa Mentawai mumone merupakan salah satu upaya yang dilakukan masyarakat Mentawai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pembukaan lahan untuk ladang biasanya dilakukan oleh beberapa keluarga yang tergabung dalam satu uma.
Dalam sistem berladang masyarakat Mentawai, alam lingkungan harus dijaga. Masyarakat Mentawai tidak mengenal tentang “slash and burn” (tebang dan bakar) yang menimbulkan polusi udara bahkan memicu kebakaran hutan. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Mentawai, membakar pohon di hutan akan mengakibatkan kemarahan roh-roh penjaga hutan dan akan mendatangkan penyakit bagi si pembakar atau keluarganya.
Masyarakat Mentawai memiliki kearifan tradisi sendiri dalam mengolah ladang, ada ritual khusus yang tak boleh ditinggalkan agar hasil ladang yang diinginkan maksimal. Berikut tata cara pembukaan ladang di Muntei, Siberut Selatan, hasil penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Tahap pertama dalam rencana pembukaan ladang adalah musyawarah di tingkat uma. Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh anggota uma, yaitu para tetua umadan anggota-angota yang lebih muda, terutama dari keluarga yang ingin membuka ladang. Musyawarah ini dipimpin oleh sikebukkat uma (kepala uma). Musyawarah tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai lokasi dan luas lahan yang akan dibuka.
Tahap kedua melakukan survei lapangan untuk mengetahui hal-hal seperti areal mana yang cocok, bagaimana kesuburan tanahnya, berapa luas lahan yang akan dibuka serta batas-batasnya Survei ini bisa makan waktu dua minggu.
Tahap selanjutnya musyawarah lagi. Hasil survei dibicarakan di uma, terutama untuk memfinalkan lokasi, luas ladang dan kejelasan batas-batas lahan, sekaligus membicarakan kapan punen pasibuluake’ atau panaki, serta proses pembersihan semak belukar dilakukan.  
Sebelum mulai membuka hutan atau menebang pohon-pohon, harus terlebih dahulu dilakukan upacara “Panaki yaitu sebuah ritual meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan. Masyarakat adat Mentawai meyakini bahwa ada sebuah kekuatan di luar manusia yang telah menjaga hutan dan alam di sekitarnya. Oleh sebab itu, setiap akan melakukan aktivitas di hutan termasuk menebang pohon harus terlebih dahulu meminta izin sebagai bentuk penghargaan manusia terhadap kekuatan di luar diri mereka yang telah ikut membantu menjaga alam bagi kelangsungan hidup manusia.
Berladang merupakan aktivitas penting sebab merupakan salah satu cara pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Di Siberut, perladangan dibuka  di sekitar kawaan hutan, dapat pada lokasi yang berbukit-bukit (leleu) dan juga pada lokasi yang datar (su’suk). Namun meskipun demikian berdasarkan pengetahuan tradisional, ada beberapa kriteria atau pertimbangan yang harus dipenuhi ketika akan membuka kawasan perladangan antara lain:
  1. Tidak boleh membuka perladangan di lokasi yang curam, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya longsor.
  2. Perladangan baru juga tidak akan dibuka di kawasan yang banyak terdapat pohon-pohon kayu yang bermanfaat untuk bahan bangunan atau rumah, sampan dan peralatan rumah tangga, dll.

0 komentar:

Posting Komentar