Dalam
tradisi dan budaya masyarakat Mentawai terdapat sistem/aturan yang
membahas mengenai garis keturunan atau sistem kekerabatan masyarakat
Mentawai. Sistem kekerabatan dalam keluarga yang dianut oleh masyarakat
Mentawai adalah sistem adat virilokal yaitu
suatu keluarga yang terdiri dari inti senior dengan keluarga-keluarga
inti dari anak laki-laki. Semua tinggal dalam suatu area perumahan
sebagai wilayah suku. Hal tersebut juga disebut dengan patrilokal.Meski
masyarakat Mentawai terdiri dari suku yang masing-masing patrilokal,
hal itu bukan berarti mereka adalah satu kelompok, artinya satu
keturunan yang berasal dari satu keturunan di zaman dahulu kala, baik
sebagai kelompok kecil maupun kelompok besar. Sebab suku bangsa Mentawai
hanya menghitung keturunan mereka atau mengenal keturunan mereka dari
tujuh generasi yaitu tiga generasi di atas Ego dan tiga generasi di
bawah Ego.
Suku-suku di Mentawai (penduduk asli) menghitung garis keturunan dari orang laki-laki yaitu mulai dari teteu (kakek Ego) seterusnya sampai kepala Togatteteu (cucu laki-laki Ego). Hal tersebut yang menyebabkan mereka masuk pada kategori menganut prinsip Patrileneal.
Alasanya adalah karena kaum wanita sukubangsa Mentawai adalah “orang
dari luar” dan orang yang “akan keluar” dari kelompok suku. Pengertian
ini mengandung arti bahwa wanita sebagai orang luar adalah wanita yang
dibawa masuk ke dalam lingkungan suku laki-laki karena berstatus istri.
Wanita yang akan keluar adalah anak dan cucu perempuan mereka yang telah
menjadi istri dari suaminya yang beresal dari suku lain. Namun demikian
wanita yang keluar dari lingkungan suku karena perkawinan tadi bukan
berarti suku asalnya melebur atau berganti menjadi suku suaminya,
melainkan sukunya tetap disandang karena di suatu waktu wanita tersebut
akan kembali kepada sukunya sendiri.
Selain
itu, masyarakat Mentawai memiliki tradisi yang khas dalam melaksanakan
upacara pernikahan. Mereka tidak melaksanakan pernikahan di Mesjid atau
Gereja tapi mereka melakukan pernikahan di Uma (rumah adat suku
Mentawai). Dalam proses pernikahan adat Mentawai, kepala suku menjadi
wali. Acara pernikahan dilaksanakan dalam waktu 5 hari 5 malam. Saat
seorang laki-laki Mentawai akan melaksanakan pernikahan maka pertama
kali yang akan dilakukan adalah meminang calon istri. Kakak perempuan si
laki-laki (biasanya laki-laki) akan datang ke rumah perempuan yang
datang ke rumah si perempuan. Saat datang ke rumah perempuan, kakak
perempuan laki-laki membawa kain sebagai tanda meminang, apabila calon
perempuan telah menerima kain tersebut maka baik perempuan atau
laki-laki tidak boleh selingkuh. Jika melanggar maka akan mendapatkan
sanksi, misal denda sebuah ladang.
Dalam
kurun waktu satu atau dua bulan setelah pernikahan maka akan ada acara
pembelian. Pihak perempuan akan mendatangi pihak laki-laki untuk
membicarakan pembelian. Dalam proses pembelian ditunjuk seorang wali
dari pihak perempuan, hal tersebut merupakan bentuk kedua belah pihak
tidak boleh saling berhadapan. Setelah ada kesepakatan maka pihak
perempuan datang mengambil barang dan kemudian oleh orang tua diberi
nasehat-nasehat. Kemudian diselenggarakan acara Pangurei yaitu
acara adat dimana kedua suami istri memakai pakaian adat atau disebut
juga pesta pernikahan dan pihak perempuan yang menyiapkan pesta. Setelah
2-3 hari pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk mengantarkan
pakaian yang dipakai saat Pangurei. Kegiatan ini disebut Parurut mungu. Beberapa hari setelah itu mereka pulang ke rumah laki-laki.
Apabila
ada perceraian, seorang istri akan mengadu kepada kedua orang tuanya.
Kemudian, orang tuanya akan mendatangi sang suami dan akan dikenakan
denda. Sang istri akan pulang ke rumah orang tuanya. Apabila mereka
mempunyai anak, maka anak laki-laki ikut ayah dan anak perempuan akan
ikut ibu. Jika sudah terjadi perceraian tidak ada lagi kata rujuk dan
masing-masing dari mereka boleh menikah lagi. Laki-laki boleh memiliki
istri lebih dari satu orang.
0 komentar:
Posting Komentar