Tengger
adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo
Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang
beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang
dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Setelah Islam mulai
masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak
maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang)
yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk
kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).
Bagi
masyarakat Tengger melaksanakan ajaran dan pandangan yang secara turun
temurun ada adalah sebuah kewajiban. Pandangan-pandangan yang akan
membawa masyarakat Tengger dalam keselamatan dan keberkahan. Dalam
budaya masyarakat Tengger ada prinsip-prinsip yang harus menjadi acuan
dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak
lama, masyarakat Tengger sudah menjunjung tinggi nilai persamaan,
demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Sosok seorang pemimpin spiritual
seperti duun lebih disegani dari pada pemimpin administratif. Masyarakat
Tengger mepunyai hukum sendiri diluar hukum formal yang berlaku dalam
negara. Dengan hukum itu mereka sudah bisa mengatur dan mengendalikan
berbagi persoalan dalam kehidupan masyarakatnya
Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger memiliki kebiasaan hidup
sederhana, rajin dan damai. Selain itu, masyarakat Tengger hidup
sederhana dan hemat. Hidup masyarakat Tengger penuh dengan
kedamaian dan aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas
peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem
musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh petinggi
(Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak berhasil
maka pelaku pelanggaran akan disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh
penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah
yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.
Sikap
dan pandangan hidup masyarakat Tengger terlihat dari harapan masyarakat
tersebut yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki
pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya
(menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Selain itu,
mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut kawruh buda
(pengetahuan tentang watak), yaitu:
- Prasaja yaitu jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
- Prayoga yaitu senantiasa bersikap bijaksana
- Pranata yaitu senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah
- Prasetya yaitu setya
- prayitna yaitu waspada
Lima
pandangan hidup tersebut dijalankan oleh masyarakat Tengger.
Pembangunan karakter masyrakat Tengger yang postif lainnya adalah sikap
rasa malu dalam arti positif yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta
dalam kegiatan sosial. Sikap toleransi tercermin dari pergaulan
masyarakat Tengger dengan orang yang berbeda keyakinan. pergaulan yang
luas masyarakat Tengger tanpa membedakan keyakinan berakar dari sikap
mereka yang berorientasi pada tujuan. Tujuan bagi masyarakat Tengger
adalah mencapai Tuhan.
Sikap
hidup lain masyarakat Tengger adalah tata tentram (tidak banyak
risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja
keras, dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap
terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan
sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur. Masyarakat
Tengger menjauhkan diri dari sikap nyadhang (mengadahkan telapak tangan
ke atas). Secara turun temurun pandangan hidup yang baik dan positif
masyarakat Tengger disampaikan kepada generasi muda agar mampu mandiri
seperti ksatria Tengger yang bersikap tat twam asi dan mikul dhuwur
mendhem jero, yaitu memuliakan orangtuanya.
Dalam tradisi dan adat masyarakat Tengger, ada 3 (tiga) tahap penting dalam siklus kehidupan yaitu:
- Umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan.
- Usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk membangun rumah dan mandiri.
- 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.
Pada
masa griasta, ada ungkapan yang menyatakan bahwa kalau masih mentah
sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang memiliki arti agar
manusia itu pada waktu muda bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan
dirinya untuk masa tua dan hari akhir.
0 komentar:
Posting Komentar